Cerpen Indonesia

Kumpulan Cerita Pendek dan Bersambung Yang Menarik Berbahasa Indonesia

Iklan Atas Artikel

Burung Putih dan Hitam (Part 31)

Author
Published Minggu, Juli 01, 2018
Burung Putih dan Hitam (Part 31)
Aku memperhatikan langit. Cuaca memang mulai mendung. Angin berembus. Sepertinya gelap akan lebih cepat datang, berserta tetesan hujan. Mobil polisi sudah pergi. Suasana di sini mulai sepi. Aku melihat Yena hanya diam. Aku menanyakan hal lain.
"Tentang burung Merpati yang dipelihara Sanja, kamu tahu!"
"Aku tidak tahu. Saat aku masih kuliah, aku mengunjungi rumah Sanja dan melihat Merpati itu tanpa menanyakannya." Jawab Yena sambil memperhatikan sesuatu di belakangku.
"Apa yang kamu lihat?" Aku menoleh kebelakang. Terlihat Sanja berbicara dengan Aya dari kejauhan. Tiba-tiba Aya pingsan dan jatuh dipelukan Sanja.

Aku segera menghampiri mereka berdua. Saat aku mempercepat langkahku, Aya kembali siuman. Aku memperlambat langkahku, tapi tiba-tiba Aya menampar pipi Sanja. Aku kaget dan segera berlari ke arah mereka. Dua kali Aya melakukannya tapi Sanja tidak menghindar.
"Apa yang kamu lakukan Aya?" Teriakku.
"Kamu baru datang, Lina?" Ucap Aya seakan menganggap aku tidak ada di sini dari tadi.
"Sanja, dia pasti mengambil keuntungan dari ku, saat aku pingsan." Lanjut Aya.
"Aku sudah lama di sini dan memperhatikan kalian berdua. Sanja tidak melakukan apa-apa terhadapmu." Jelasku ke Aya.
"Kamu juga, Sanja! Kenapa tidak menghindar?" Tanyaku emosi ke Sanja.
"Aku coba menjelaskannya tapi tidak diberi kesempatan." Balas Sanja.
"Perasaan, aku ada di rumah. Terus kenapa aku ada di sini? Saat aku bangun, Sanja memelukku." Ucap Aya lagi sepertinya dia melupakan kejadian barusan.
"Kamu yang pingsan dan jatuh dipelukan Sanja. Aku melihatnya." Jelasku tapi Aya terlihat ragu.
"Aku juga melihatnya." Ucap Yena yang tiba-tiba datang.
"Siapa dia? Kenapa aku pingsan?" Tanya Aya tidak mengenal Yena dan terlihat kebingungan.
"Kalau itu, biar Sanja yang jelaskan." Ucapku.
Saat Sanja mau menjelaskan, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Kami berlari menuju mobil Sanja dan berteduh di dalamnya.

Di dalam mobil. Aya terlihat panik.
"Apa? sudah jam 6 sore dan aku masih keluyuran di luar rumah. Sanja cepat antar aku pulang. Ibuku pasti akan marahi aku lagi." Ucap Aya melihat jam tangannya.
"Bukannya kamu ingin dengar penjelasan Sanja." Ucapku ingin tahu apa yang diketahui Sanja.
"Sudah kamu jelaskan. Aku udah percaya." Balas Aya tidak mau ambil pusing.

Sanja langsung melajukan mobilnya. Aku duduk di samping Sanja, sedangkan Aya dan Yena di belakang.
"Bisa ceritakan kenapa kamu memelihara burung Gagak dan Merpati, Sanja?" Tanyaku.
"Dulu aku melempari burung Gagak yang berada di dekatku dengan makananku untuk mengusirnya. Ia tidak lari justru memakan makanan yang ku lempar. Semenjak itu ia selalu mengikutiku, jadi aku pelihara." Jawab Sanja. Diam sejenak.
"Maaf ya, apa pipimu sakit?" Potong Aya.
"Lumayan sakit, tapi akan sembuh sendiri tanpa harus diobati." Balas Sanja, sepertinya dia benar tidak bisa berbohong.
"Lanjutkan Sanja!" Ucapku.
Sanja kemudian melanjutkan bicara.
"Di waktu yang berbeda aku melihat seekor burung Merpati berada di samping pasangannya yang telah mati di tengah jalan. Pengendara hanya melewati dan pejalan kaki cuma menonton. Aku mengambilnya lalu menguburkan di halaman rumahku. Semenjak itu pasangannya yang masih hidup selalu mampir ke rumahku. Jadi aku memeliharanya."

Tidak beberapa lama kami sampai di rumah Aya. Karena hujan sudah berhenti segera Aya bergegas keluar mobil dan masuk ke rumahnya.
"Itu anak, bukannya pamit dulu, langsung pergi saja." Ucapku kesal.
Tiba-tiba seekor burung Gagak datang menghampiri Sanja lewat kaca mobil yang terbuka. Langsung hinggap di tangan Sanja, cuma sebentar kemudian pergi terbang lagi.
"Itu peliharaanmu?" Tanyaku.
"Bukan, mungkin temannya peliharaanku." Ucap Sanja. Apa dia becanda apa memang jujur. Jika jujur itu aneh, dia bisa membedakan yang mana burung Gagaknya dan yang mana teman burung Gagaknya.
"Maksudmu?" Tanyaku lagi pusing.
"Burung Gagak hidup berkelompok. Tidak seperti burung Merpati yang hidup berpasangan, jika pasangannya mati, ia akan tetap setia dan rela sendiri sampai kematian menjemput bukan menjemput kematiannya sendiri. Bisa-bisa di akhirat tidak bakalan bertemu nanti ." Jelas Sanja panjang lebar.
"Apa sih? Maksudmu jika pasangan mati jangan ikut mati dengan bunuh diri gitu. Nanti pasangan masuk surga, eh kamunya malah masuk neraka." Aku malah menanggapinya pakai panjang kali lebar juga.
"Eh, ayo kita pergi juga, Sanja." Ucapku lagi.
Tapi Sanja tidak menjalankan mobilnya.
"Apa yang kamu tunggu Sanja?" Tanyaku heran. Pasti ada sesuatu.

Aku memperhatikan ke arah pintu rumah Aya. Masih terbuka. Tiba-tiba Aya di dorong keluar hingga jatuh oleh ibunya. Sebuah tas juga dilempar. Ibunya terlihat memarahi Aya. Kemudian menutup pintu dengan membantingnya. Aku melihatnya langsung keluar mobil untuk menghampiri Aya. Lalu menuntunnya ke arah mobil Sanja.
"Aya di usir ibunya." Kataku ke Sanja.
Yena keluar mobil dan memayungi kami karena gerimis mulai turun.
"Masuklah ke dalam mobil, sepertinya hujan susulan akan turun lagi." Ucap Sanja.
Aku lalu duduk di belakang bersama Aya sedangkan Yena beralih duduk di samping Sanja.

Di dalam mobil terlihat Aya menahan tangisannya tapi tetap air matanya mengalir.
"Aya, bisa tinggal di rumahku. Aku cuma tinggal sendiri." Ucap Yena.
"Kamu kenapa di usir. Apa karena kami lambat membawamu pulang." Ucapku merasa bersalah.
"Bukan salah kalian." Jawab Aya.
"Terus, katakanlah biar kami bisa carikan solusinya." Tanyaku penasaran tapi Aya cuma diam.
"Jika dia tidak mau mengatakan. Biarkan saja." Ucap Sanja.
"Tidak bisa begitu, Sanja. Kalau dia diam, berarti benar kita yang salah. Kita harus jelaskan ke orang tua Aya." Balasku.
"Tidak perlu jelaskan apa-apa ke orang tuaku." Ucap Aya dengan nada keras.
"Malam tadi. Ayah masuk kamarku tanpa izin. Ibu mermergoki. Menuduhku yang menggoda Ayah. Mungkin ibu termakan kata-kata Ayah. Lalu marah denganku." Terang Aya, emosi dan terus menangis.
"Maafkan aku. Membuatmu harus menceritakannya."Balasku menyesal.
"Tidak apa. Jika bukan karena suara burung Gagak waktu itu yang tiba-tiba berbunyi mungkin ibuku tidak terbangun dan tidak akan memergoki ayah yang ingin berniat jahat denganku. Mungkin hidupku sudah hancur saat ini." Balas Aya.

Sanja seakan-akan sudah tahu atau karena burung Gagak tadi yang memberitahunya. Aku menelpon Sintia. Berbicara berbisik.
"Jadi kamu tidak marah lagi denganku." Sapa Sintia langsung.
"Aku tidak marah jika kamu mau membantuku."
"Apapun itu akan aku lakukan."

"Sanja, aku mau ke toilet." Ucapku.
"Bentar. Aku carikan yang terdekat." Balas Sanja.

Sanja menghentikan mobilnya di taman kota. Aku langsung keluar mobil mau menuju toilet taman.
"Mau aku temenin?" Ucap Yena.
"Tidak perlu." Balasku.
"Bawa payungnya." Ucap Sanja sambil memberikan payung ke aku.
Setelah mengambil payungnya segera aku pergi. Di dalam toilet aku kembali bicara dengan Sintia lewat telpon.
"Coba lihat di sekelilingmu. Apa ada burung Gagak?"
"Iya ada. Aku sering melihatnya." Jawab Sintia.
Jadi dugaanku benar. Sepertinya Sanja mengawasi semua yang dia kenal melalui burung Gagak. Jika aku tanya langsung, pasti Sanja cuma diam. Aku harus mengancam Sanja, agar tahu rahasia dirinya.
"Pergi ke ruang tengah. Jauh dari jendela." Ucapku ke Sintia agar di luar jangkauan pengawasan burung gagal itu.
"Sudah." Ucap Sintia
"Bagaimana kamu mengambil gambar Sanja secara diam-diam?"
"Menggunakan kamera tersembunyi." Jawab Sintia dengan nada takut.
"Kamu bisa memasangnya di boneka. Mau aku kasih ke Sanja buat di pasang di kaca depan mobilnya."
"Aku akan persiapkan." Balas Sintia.

(Bersambung)

Posting Komentar