Langkah Untuk Mengakhiri Semuanya (Part 10)
Aku tahan rasa sakit di lututku dan kembali bangun mengejar mereka berdua ke dalam hutan.
"Jaya tunggu!" Teriakku.
Jaya tetap mengikuti Yena. Aku benar-benar khawatir. Aku berlari secepat yang kubisa dan menyentuh bahu Jaya.
"Ziah." sapa Jaya.
"Ini bukan jalan ke rumah Yena. Cepat hentikan dia." perintahku.
Jaya langsung menghalangi Yena. Saat Yena terdiam aku menarik tangan kanannya. Terasa dingin. Aku menjadi takut.
''Jay, pegangi Yena. Aku arahkan ke rumahnya."
Sesampainya di rumah Yena. Kedua orang tuanya sudah menunggu.
Ayah Yena terlihat kesal melihat Jaya.
"Kamu apakan anakku?" Teriak ayah Yena sambil menarik baju Jaya dan memukulnya. Tapi Jaya tidak membalas. Itu membuatku syok.
Belum sempat aku menjelaskan Jaya bicara, "Saya akan bertanggung jawab om."
Tentu aku marah, "Apa-apa'an kamu Jay. Kamu tidak melakukan apapun. Kenapa harus bertanggung jawab."
Aku berikan penjelasan kepada ayah Yena, "Dia cuma menemaniku mencari Yena, tidak lebih dari itu."
"Ziah bohong Om." Bantah Jaya.
Aku menatap Jaya, "Jangan bilang kau suka dengan Yena?"
Jaya berjalan dan berhenti di dekat telinga kananku, lalu bicara pelan, "Yena, butuh seseorang untuk menjaganya."
Aku balas dengan suara pelan juga, "Tapi, kau bisa dapatkan yang lebih baik dari dia."
Brakkk, suara berisik terdengar dari dalam rumah. Yena membuat barang-barang berantakan. Dia di dalam kamarnya dan berteriak, "Jangan masuk! Jangan ganggu aku lagi."
Terlihat ada darah dari balik pintu yang tidak tertutup rapat. Jaya langsung masuk dan menenangkan Yena yang duduk sambil menangis dengan telapak tangan yang berdarah. Sepertinya Yena menggesekan telapak tangannya sendiri ke pintu. Meski Yena aneh tapi Jaya tetap menyukainya dan justru menenangkannya. Membuatku cemburu. Lalu aku memilih pergi meninggalkan tempat itu dengan perasaan sakit.
Itu hari terakhir aku melihat Jaya dan keluarga Yena. Setelah kejadian itu mereka ke luar kota. Aku menghabiskan waktu di rumah hanya dengan berbaring tidur menunggu orang tuaku datang tiga hari lagi.
Terlalu lama aku berbaring di kasur membuatku merasa lapar. Aku bermaksud ingin bangun tapi tubuhku terasa berat. Aku tidak bisa bangun. Ada apa ini. Aku hanya bisa menangis. Aku pasrah. Hingga terdengar suara memanggil namaku berkali-kali lalu diikuti suara dobrakan pintu. Aku cemas napasku mulai sesak.
Pintu kamarku terbuka. Sosok misterius berdiri. Saat dia mendekat terlihat mulai jelas, itu Jaya.
"Jaya, tolong aku. Rasanya berat, aku terus mengantuk dan sulit bangun." Ucapku.
Jaya membangunkanku.
Aku mulai bisa bernafas lega. Mataku yang sangat ngantuk mulai mendingan. Tubuhku terasa tidak nyaman mungkin gara-gara kelamaan tidur.
Awalnya aku senang melihat Jaya. Tapi ku kemudian merasa kesal.
"Kenapa kamu ke sini? Bukannya bersama Yena."
Jaya menjawab, "Hasil visum Yena menunjukan dia tidak mengalami pelecehan seksual. Aku dibebaskan dari tuduhan. Sekarang dia di rawat Rumah Sakit Jiwa Mahakam."
Itu membuatku bahagia.
(Tamat)
"Jaya tunggu!" Teriakku.
Jaya tetap mengikuti Yena. Aku benar-benar khawatir. Aku berlari secepat yang kubisa dan menyentuh bahu Jaya.
"Ziah." sapa Jaya.
"Ini bukan jalan ke rumah Yena. Cepat hentikan dia." perintahku.
Jaya langsung menghalangi Yena. Saat Yena terdiam aku menarik tangan kanannya. Terasa dingin. Aku menjadi takut.
''Jay, pegangi Yena. Aku arahkan ke rumahnya."
Sesampainya di rumah Yena. Kedua orang tuanya sudah menunggu.
Ayah Yena terlihat kesal melihat Jaya.
"Kamu apakan anakku?" Teriak ayah Yena sambil menarik baju Jaya dan memukulnya. Tapi Jaya tidak membalas. Itu membuatku syok.
Belum sempat aku menjelaskan Jaya bicara, "Saya akan bertanggung jawab om."
Tentu aku marah, "Apa-apa'an kamu Jay. Kamu tidak melakukan apapun. Kenapa harus bertanggung jawab."
Aku berikan penjelasan kepada ayah Yena, "Dia cuma menemaniku mencari Yena, tidak lebih dari itu."
"Ziah bohong Om." Bantah Jaya.
Aku menatap Jaya, "Jangan bilang kau suka dengan Yena?"
Jaya berjalan dan berhenti di dekat telinga kananku, lalu bicara pelan, "Yena, butuh seseorang untuk menjaganya."
Aku balas dengan suara pelan juga, "Tapi, kau bisa dapatkan yang lebih baik dari dia."
Brakkk, suara berisik terdengar dari dalam rumah. Yena membuat barang-barang berantakan. Dia di dalam kamarnya dan berteriak, "Jangan masuk! Jangan ganggu aku lagi."
Terlihat ada darah dari balik pintu yang tidak tertutup rapat. Jaya langsung masuk dan menenangkan Yena yang duduk sambil menangis dengan telapak tangan yang berdarah. Sepertinya Yena menggesekan telapak tangannya sendiri ke pintu. Meski Yena aneh tapi Jaya tetap menyukainya dan justru menenangkannya. Membuatku cemburu. Lalu aku memilih pergi meninggalkan tempat itu dengan perasaan sakit.
Itu hari terakhir aku melihat Jaya dan keluarga Yena. Setelah kejadian itu mereka ke luar kota. Aku menghabiskan waktu di rumah hanya dengan berbaring tidur menunggu orang tuaku datang tiga hari lagi.
Terlalu lama aku berbaring di kasur membuatku merasa lapar. Aku bermaksud ingin bangun tapi tubuhku terasa berat. Aku tidak bisa bangun. Ada apa ini. Aku hanya bisa menangis. Aku pasrah. Hingga terdengar suara memanggil namaku berkali-kali lalu diikuti suara dobrakan pintu. Aku cemas napasku mulai sesak.
Pintu kamarku terbuka. Sosok misterius berdiri. Saat dia mendekat terlihat mulai jelas, itu Jaya.
"Jaya, tolong aku. Rasanya berat, aku terus mengantuk dan sulit bangun." Ucapku.
Jaya membangunkanku.
Aku mulai bisa bernafas lega. Mataku yang sangat ngantuk mulai mendingan. Tubuhku terasa tidak nyaman mungkin gara-gara kelamaan tidur.
Awalnya aku senang melihat Jaya. Tapi ku kemudian merasa kesal.
"Kenapa kamu ke sini? Bukannya bersama Yena."
Jaya menjawab, "Hasil visum Yena menunjukan dia tidak mengalami pelecehan seksual. Aku dibebaskan dari tuduhan. Sekarang dia di rawat Rumah Sakit Jiwa Mahakam."
Itu membuatku bahagia.
(Tamat)
Posting Komentar
Posting Komentar