Melawan Tanpa Sentuhan (Part 7)
Kami melanjutkan perjalanan dan berbincang di dalam mobil.
"Informasi apa yang kalian dapatkan tadi, saat tanya warga mengenai suara jeritan." Tanyaku kepada Aya dan Sintia.
"Warga gak tahu, ada suara tapi gak ada sumbernya tapi jarak jangkaunya cukup jauh." Jelas Sintia.
"Yang pasti itu bukan suara manusia, iyakan Sanja?" Tanyaku.
"Menurutku juga bukan." Jawab Sanja.
"Tidak salah lagi, itu hantu. Tapi kenapa dia menjerit kesakitan?" Sambung Aya.
"Mungkin, lagi diserang oleh seseorang yang dapat menyentuhnya." Jawabku sambil melihat ke arah Sanja.
Sanja yang menyadari mencoba membuang muka menghadap jendela. Sepertinya dia merasa, yang kumaksud adalah dia.
Sesampainya di rumah Andi, teman-teman keluar mobil. Tapi aku enggak.
"Kenapa gak ikut melayat!" Tanya Aya.
"Aku di mobil saja. Lagi gak enak badan." Ucapku.
Lamaku menunggu. Aku bertanya kepada warga yang lewat dari dalam mobil.
"Maaf, tanya om. Jasad Andi sudah dikuburkan?"
"Iya sudah, setengah jam yang lalu." Jawabnya.
"Makasih om!"
Perasaanku gak enak. Aku lalu ke luar mobil dan melihat sesuatu dari balik pohon. Lalu memberanikan diri mendekati pohon itu.
"Oh. Jadi pacarku sekarang lagi belajar selingkuh, dan sahabatku lagi belajar menusukku dari belakang." Ucapku marah dan kesal melihat Sintia berduaan dengan Sanja.
"Aku bisa jelaskan." Ucap Sintia.
Lama kami saling terdiam.
"Kenapa?, aku sedang menunggu penjelasan kalian!" Tanyaku.
"Kami membicarakan tentang Andi." Jawab Sanja.
"Oh, baguslah. Tidak ada penghianatan di sini." Ucapku tidak mau memperpanjang masalah.
Kami lalu masuk mobil. Di dalam sudah ada Aya.
"Maafkan aku." Ucap Sintia kepadaku.
"Iya, aku maafkan. Sebaiknya kita segera pulang. Udah sore." Ucapku entah kenapa aku merasa sedih dan sakit di dada.
Di rumah, di dalam kamar aku malah nangis. Apa aku jatuh cinta dengan Sanja. Tidak mungkin, aku cuma ingin tahu keanehannya.
Tiba-tiba suara telpon di HPku berbunyi. Dari Sanja. Aku segera mengangkatnya.
"Kemaren kamu bilang ingin menanyakan sesuatu. Sampai janjian di taman. Gak sempat karna temanmu datang. Kamu mau tanya apa?" Ucap Sanja langsung.
"Kemaren kamu bilang, masih jadi orang asing untukku. Biar kamu gak jadi orang asing lagi gimana caranya?" Tanyaku sambil ngusap air mata.
"Kamu gak ada awal kalimat lain? Jadi harus meniruku!" Jawab Sanja.
"Udah jawab aja!" Balasku.
"Perkenalkan aku ke orang tuamu." Jawabnya.
"Ok. Aku SMS alamat rumahku. Jangan tidak datang malam ini juga." Sambungku langsung menutup telpon.
Kemudian menghadap ke ayah.
"Ayah, nanti pacar saya ke sini mau bertemu ayah!" Ucapku.
"Iya, nanti ayah keluar setelah pekerjaan selesai." Balas ayah.
Aku menunggu di teras. Tidak berapa lama ada motor yang berhenti di depan pagar. Aku segera membuka pagar.
"Katanya kamu udah punya pacar." Ucap pria itu sambil memegang lenganku dengan kuat.
Dia lalu melepas helmnya. Ternyata Iwan, mantan pacarku.
"Kamu pikir aku akan melepaskanmu begitu saja." Sambungnya.
"Jika kamu tidak melepaskanku. Aku akan teriak." Ancamku.
"Dan aku akan mematahkan tanganmu." Ancamnya balik.
Tiba-tiba Iwan melepaskan tanganku. Dia tertunduk sambil memegang perutnya.
"Ah sakit." Jeritnya.
Aku memperhatikan kesekeliling. Benar dugaanku. Sanja baru datang. Dia terdiam terpaku. Kemudian menuju ke arahku.
Saat bersamaan Iwan mulai berdiri tegak. Sepertinya rasa sakitnya mulai hilang.
"Tidak ada cewe yang suka cowo kasar." Ucap Sanja di hadapan Iwan.
Iwan hanya terdiam.
"Maaf, Lina memilihku. Perkenalkan namaku Sanja!." Sambung Sanja sambil mengulurkan tangannya.
Iwan tidak menyambut tangan Sanja dan memilih pergi.
Amat aneh Jika Iwan yang berotot takut dengan Sanja yang biasa saja.
"Kamu gunakan rohmu untuk menyakiti Iwan, seperti orang yang gunakan setan untuk menyakiti temanku Via!" Tanyaku penuh rasa penasaran.
"Yang kulihat kamu yang sedang disakiti." Ucap Sanja.
Aku menutupi lenganku yang memerah dengan telapak tangan lainnya.
"Mungkin saja Iwan sakit lambungnnya kambuh." Sambung Sanja.
"Terus, kenapa dia takut melihatmu. Apa saat rohmu kontak fisik dengan Iwan, membuat Iwan dapat melihat wajah rohmu!" Tanyaku menduga-duga.
Sanja kembali terdiam.
(Bersambung)
"Informasi apa yang kalian dapatkan tadi, saat tanya warga mengenai suara jeritan." Tanyaku kepada Aya dan Sintia.
"Warga gak tahu, ada suara tapi gak ada sumbernya tapi jarak jangkaunya cukup jauh." Jelas Sintia.
"Yang pasti itu bukan suara manusia, iyakan Sanja?" Tanyaku.
"Menurutku juga bukan." Jawab Sanja.
"Tidak salah lagi, itu hantu. Tapi kenapa dia menjerit kesakitan?" Sambung Aya.
"Mungkin, lagi diserang oleh seseorang yang dapat menyentuhnya." Jawabku sambil melihat ke arah Sanja.
Sanja yang menyadari mencoba membuang muka menghadap jendela. Sepertinya dia merasa, yang kumaksud adalah dia.
Sesampainya di rumah Andi, teman-teman keluar mobil. Tapi aku enggak.
"Kenapa gak ikut melayat!" Tanya Aya.
"Aku di mobil saja. Lagi gak enak badan." Ucapku.
Lamaku menunggu. Aku bertanya kepada warga yang lewat dari dalam mobil.
"Maaf, tanya om. Jasad Andi sudah dikuburkan?"
"Iya sudah, setengah jam yang lalu." Jawabnya.
"Makasih om!"
Perasaanku gak enak. Aku lalu ke luar mobil dan melihat sesuatu dari balik pohon. Lalu memberanikan diri mendekati pohon itu.
"Oh. Jadi pacarku sekarang lagi belajar selingkuh, dan sahabatku lagi belajar menusukku dari belakang." Ucapku marah dan kesal melihat Sintia berduaan dengan Sanja.
"Aku bisa jelaskan." Ucap Sintia.
Lama kami saling terdiam.
"Kenapa?, aku sedang menunggu penjelasan kalian!" Tanyaku.
"Kami membicarakan tentang Andi." Jawab Sanja.
"Oh, baguslah. Tidak ada penghianatan di sini." Ucapku tidak mau memperpanjang masalah.
Kami lalu masuk mobil. Di dalam sudah ada Aya.
"Maafkan aku." Ucap Sintia kepadaku.
"Iya, aku maafkan. Sebaiknya kita segera pulang. Udah sore." Ucapku entah kenapa aku merasa sedih dan sakit di dada.
Di rumah, di dalam kamar aku malah nangis. Apa aku jatuh cinta dengan Sanja. Tidak mungkin, aku cuma ingin tahu keanehannya.
Tiba-tiba suara telpon di HPku berbunyi. Dari Sanja. Aku segera mengangkatnya.
"Kemaren kamu bilang ingin menanyakan sesuatu. Sampai janjian di taman. Gak sempat karna temanmu datang. Kamu mau tanya apa?" Ucap Sanja langsung.
"Kemaren kamu bilang, masih jadi orang asing untukku. Biar kamu gak jadi orang asing lagi gimana caranya?" Tanyaku sambil ngusap air mata.
"Kamu gak ada awal kalimat lain? Jadi harus meniruku!" Jawab Sanja.
"Udah jawab aja!" Balasku.
"Perkenalkan aku ke orang tuamu." Jawabnya.
"Ok. Aku SMS alamat rumahku. Jangan tidak datang malam ini juga." Sambungku langsung menutup telpon.
Kemudian menghadap ke ayah.
"Ayah, nanti pacar saya ke sini mau bertemu ayah!" Ucapku.
"Iya, nanti ayah keluar setelah pekerjaan selesai." Balas ayah.
Aku menunggu di teras. Tidak berapa lama ada motor yang berhenti di depan pagar. Aku segera membuka pagar.
"Katanya kamu udah punya pacar." Ucap pria itu sambil memegang lenganku dengan kuat.
Dia lalu melepas helmnya. Ternyata Iwan, mantan pacarku.
"Kamu pikir aku akan melepaskanmu begitu saja." Sambungnya.
"Jika kamu tidak melepaskanku. Aku akan teriak." Ancamku.
"Dan aku akan mematahkan tanganmu." Ancamnya balik.
Tiba-tiba Iwan melepaskan tanganku. Dia tertunduk sambil memegang perutnya.
"Ah sakit." Jeritnya.
Aku memperhatikan kesekeliling. Benar dugaanku. Sanja baru datang. Dia terdiam terpaku. Kemudian menuju ke arahku.
Saat bersamaan Iwan mulai berdiri tegak. Sepertinya rasa sakitnya mulai hilang.
"Tidak ada cewe yang suka cowo kasar." Ucap Sanja di hadapan Iwan.
Iwan hanya terdiam.
"Maaf, Lina memilihku. Perkenalkan namaku Sanja!." Sambung Sanja sambil mengulurkan tangannya.
Iwan tidak menyambut tangan Sanja dan memilih pergi.
Amat aneh Jika Iwan yang berotot takut dengan Sanja yang biasa saja.
"Kamu gunakan rohmu untuk menyakiti Iwan, seperti orang yang gunakan setan untuk menyakiti temanku Via!" Tanyaku penuh rasa penasaran.
"Yang kulihat kamu yang sedang disakiti." Ucap Sanja.
Aku menutupi lenganku yang memerah dengan telapak tangan lainnya.
"Mungkin saja Iwan sakit lambungnnya kambuh." Sambung Sanja.
"Terus, kenapa dia takut melihatmu. Apa saat rohmu kontak fisik dengan Iwan, membuat Iwan dapat melihat wajah rohmu!" Tanyaku menduga-duga.
Sanja kembali terdiam.
(Bersambung)
Posting Komentar
Posting Komentar