Menyayangi Diri Sendiri Atau Dia (Part 3)
Aku cemas dan tubuhku lemas. Aku bingung harus apa? Makhluk halus terus menggangguku entah kenapa!
Ini tidaklah adil, keluhku sambil menangis. Pikiranku itu mengingatkan kata-kata Sanja dulu. Pantas saja, Sanja memilih mempertahankan kemampuannya daripada mewujudkan keinginanku. Aku segera menelpon Sanja tapi nomornya sibuk. Aku diamkan hpku dengan resah. Ku berharap Sanja menghubungiku. Seperti biasanya dia selalu ada saat aku butuh. Telponku berbunyi dari Sanja.
"Sanja ada yang menerorku. Aku takut!" Ucapku langsung.
"Dibandingkan jika aku hilang dari kehidupanmu. Kamu lebih takut yang mana!," Balas Sanja bikin aku sedih.
"Kamu mau meninggalkanku? Ku mohon jangan." Ucapku dengan air mata yang semakin deras.
"Jika kamu takut menghadapi keadaan saat ini. Pikirkan apa yang paling membuatmu takut selain itu. Jika sesuatu yang paling kamu takutkan belum terjadi. Kamu tidak perlu takut." Balas Sanja.
Suara aneh terdengar di luar rumah.
"Gak... gak..."
Aku mencoba melihatnya dari balik jendela di samping rumah.
Itu burung Gagak peliharaan Sanja yang baru datang dan bertengger di atas pohon.
Aku membuka jendela dan bicara pada burung itu seakan mengganggapnya mengerti.
"Maafkan aku pernah mengusirmu."
Burung itu malah terbang menuju depan rumah. Tidak beberapa lama. Suara ketukan pintu misterius yang selalu ku dengar mulai berhenti.
"Sanja, kamu ada di mana?" Tanyaku.
"Di rumahku. Bagaimana denganmu. Apa masih merasa takut!" Balas Sanja.
"Tidak lagi, terima kasih atas semuanya."
Setelah gangguan aneh itu berakhir. Aku mulai lega dan tertidur pulas.
Pagi harinya, aku dengar suara keributan di ruang tamu. Saat aku hampiri, ayah baru pulang kerja dan disambut ibu.
"Ada apa ayah?" Tanyaku penasaran.
"Kamu lihat, nak! Ada banyak batu di teras rumah. Kamu tahu sesuatu? Ibumu tertidur nyenyak sekali dan tidak sadar akan hal ini." Ucap ayah terlihat cemas.
Aku langsung keluar rumah. Menuju pagar. Alangkah kagetnya aku melihat seekor burung Gagak yang mati di luar pagar dan tergeletak di jalan aspal.
Aku keluar pagar dengan hati yang teriris melihat burung itu terluka dengan sayatan benda tajam. Di dekatnya juga ada bulu putih yang ku yakin itu juga berasal dari burung Merpati peliharaan Sanja. Tapi aku tidak melihat jasad burung Merpati itu. Aku mencoba menghubungi Sanja tapi tidak aktif. Aku lalu menguburkan burung Gagak itu di halaman rumahku. Kemudian bergegas pergi ke sekolah.
Perasaanku berkecamuk. Aku sudah katakan ke ayah, Sanja ingin bertemu. Tapi aku tidak yakin Sanja akan datang. Sesuatu yang lain juga mengganggu pikiranku, siapa yang menerorku malam tadi jika bukan hantu.
Apa aku punya musuh!
Sebenarnya apa salahku?
Seandainya aku tahu kesalahanku, setidaknya aku bisa memperbaikinya.
"Ahhh..." Saat aku melewati lorong sekolah. Rambut panjangku ditarik oleh seseorang. Aku dipaksa masuk ke dalam WC.
Di sana ada dua siswa yang memegangi kedua tanganku. Sekilas aku melihat tangan salah satu siswa terdapat luka bekas cakaran.
Apa itu cakar burung?
Sial. Aku tahu keadaan sekarang buruk bagiku.
Saat aku ingin berteriak. Aku dikejutkan dengan sosok yang berdiri di depanku. Dia siswi yang ku kenal.
"Sintia? Ada apa ini. Hari ini bukan ulang tahunku, tidak perlu ngerjain aku seperti ini." Ucapku pada sahabatku.
"Seharusnya kamu hargai aku. Aku peduli padamu. Saat kamu tidak turun les siang kemaren. Aku menjengukmu pada malamnya. Ku pikir kamu sakit. Ternyata kamu berduaan dengan Sanja. Kamu tahu aku suka dengannya. Paling tidak jangan bermesraan di depanku." Jelas Sintia.
"Dia kekasihku dan kami malam tadi cuma belajar bersama." Ucapku kesal.
Sintia mendekatkan ujung polpen di dekat mata kiriku.
"Jika kamu cacat, apa Sanja masih mau jadi kekasihmu." Ancam Sintia.
"Jangan main-main Sintia. Aku menyukainya lebih dulu dari kamu." Balasku sambil meneteskan air mata. Aku terlalu cengeng hingga terlihat lemah di depan mereka.
"Ini salahmu. Memamerkan Sanja ke aku. Kalian belum tunangan. Aku ingin kamu putuskan Sanja. Telpon dia." Bentak Sintia.
Tanganku gemetar mengeluarkan HPku sendiri di bawah ancaman Sintia.
Aku dihadapkan dua pilihan sulit, menyayangi tubuhku sendiri atau Sanja. Jantungku berdetak tidak beraturan.
Belum sempat aku menghubungi Sanja. Suara Sanja terdengar. Sintia yang menyaksikan HPku belum terhubung ke Sanja tapi mendengar suara Sanja, membuatnya sangat kaget. Dia juga terlihat panik ketika melihat ke sekeliling ruangan tapi tidak menemukan sosok Sanja.
(Bersambung)
Ini tidaklah adil, keluhku sambil menangis. Pikiranku itu mengingatkan kata-kata Sanja dulu. Pantas saja, Sanja memilih mempertahankan kemampuannya daripada mewujudkan keinginanku. Aku segera menelpon Sanja tapi nomornya sibuk. Aku diamkan hpku dengan resah. Ku berharap Sanja menghubungiku. Seperti biasanya dia selalu ada saat aku butuh. Telponku berbunyi dari Sanja.
"Sanja ada yang menerorku. Aku takut!" Ucapku langsung.
"Dibandingkan jika aku hilang dari kehidupanmu. Kamu lebih takut yang mana!," Balas Sanja bikin aku sedih.
"Kamu mau meninggalkanku? Ku mohon jangan." Ucapku dengan air mata yang semakin deras.
"Jika kamu takut menghadapi keadaan saat ini. Pikirkan apa yang paling membuatmu takut selain itu. Jika sesuatu yang paling kamu takutkan belum terjadi. Kamu tidak perlu takut." Balas Sanja.
Suara aneh terdengar di luar rumah.
"Gak... gak..."
Aku mencoba melihatnya dari balik jendela di samping rumah.
Itu burung Gagak peliharaan Sanja yang baru datang dan bertengger di atas pohon.
Aku membuka jendela dan bicara pada burung itu seakan mengganggapnya mengerti.
"Maafkan aku pernah mengusirmu."
Burung itu malah terbang menuju depan rumah. Tidak beberapa lama. Suara ketukan pintu misterius yang selalu ku dengar mulai berhenti.
"Sanja, kamu ada di mana?" Tanyaku.
"Di rumahku. Bagaimana denganmu. Apa masih merasa takut!" Balas Sanja.
"Tidak lagi, terima kasih atas semuanya."
Setelah gangguan aneh itu berakhir. Aku mulai lega dan tertidur pulas.
Pagi harinya, aku dengar suara keributan di ruang tamu. Saat aku hampiri, ayah baru pulang kerja dan disambut ibu.
"Ada apa ayah?" Tanyaku penasaran.
"Kamu lihat, nak! Ada banyak batu di teras rumah. Kamu tahu sesuatu? Ibumu tertidur nyenyak sekali dan tidak sadar akan hal ini." Ucap ayah terlihat cemas.
Aku langsung keluar rumah. Menuju pagar. Alangkah kagetnya aku melihat seekor burung Gagak yang mati di luar pagar dan tergeletak di jalan aspal.
Aku keluar pagar dengan hati yang teriris melihat burung itu terluka dengan sayatan benda tajam. Di dekatnya juga ada bulu putih yang ku yakin itu juga berasal dari burung Merpati peliharaan Sanja. Tapi aku tidak melihat jasad burung Merpati itu. Aku mencoba menghubungi Sanja tapi tidak aktif. Aku lalu menguburkan burung Gagak itu di halaman rumahku. Kemudian bergegas pergi ke sekolah.
Perasaanku berkecamuk. Aku sudah katakan ke ayah, Sanja ingin bertemu. Tapi aku tidak yakin Sanja akan datang. Sesuatu yang lain juga mengganggu pikiranku, siapa yang menerorku malam tadi jika bukan hantu.
Apa aku punya musuh!
Sebenarnya apa salahku?
Seandainya aku tahu kesalahanku, setidaknya aku bisa memperbaikinya.
"Ahhh..." Saat aku melewati lorong sekolah. Rambut panjangku ditarik oleh seseorang. Aku dipaksa masuk ke dalam WC.
Di sana ada dua siswa yang memegangi kedua tanganku. Sekilas aku melihat tangan salah satu siswa terdapat luka bekas cakaran.
Apa itu cakar burung?
Sial. Aku tahu keadaan sekarang buruk bagiku.
Saat aku ingin berteriak. Aku dikejutkan dengan sosok yang berdiri di depanku. Dia siswi yang ku kenal.
"Sintia? Ada apa ini. Hari ini bukan ulang tahunku, tidak perlu ngerjain aku seperti ini." Ucapku pada sahabatku.
"Seharusnya kamu hargai aku. Aku peduli padamu. Saat kamu tidak turun les siang kemaren. Aku menjengukmu pada malamnya. Ku pikir kamu sakit. Ternyata kamu berduaan dengan Sanja. Kamu tahu aku suka dengannya. Paling tidak jangan bermesraan di depanku." Jelas Sintia.
"Dia kekasihku dan kami malam tadi cuma belajar bersama." Ucapku kesal.
Sintia mendekatkan ujung polpen di dekat mata kiriku.
"Jika kamu cacat, apa Sanja masih mau jadi kekasihmu." Ancam Sintia.
"Jangan main-main Sintia. Aku menyukainya lebih dulu dari kamu." Balasku sambil meneteskan air mata. Aku terlalu cengeng hingga terlihat lemah di depan mereka.
"Ini salahmu. Memamerkan Sanja ke aku. Kalian belum tunangan. Aku ingin kamu putuskan Sanja. Telpon dia." Bentak Sintia.
Tanganku gemetar mengeluarkan HPku sendiri di bawah ancaman Sintia.
Aku dihadapkan dua pilihan sulit, menyayangi tubuhku sendiri atau Sanja. Jantungku berdetak tidak beraturan.
Belum sempat aku menghubungi Sanja. Suara Sanja terdengar. Sintia yang menyaksikan HPku belum terhubung ke Sanja tapi mendengar suara Sanja, membuatnya sangat kaget. Dia juga terlihat panik ketika melihat ke sekeliling ruangan tapi tidak menemukan sosok Sanja.
(Bersambung)
Posting Komentar
Posting Komentar