Pesan Pencegah Akhir (Part 19)
Tidak mungkin Sanja melakukan hal mistis kali ini. Aku berharap mendapatkan jawaban darinya.
"Kok kalian gak jemput aku sih?" Tanya Aya yang muncul tiba-tiba di hadapanku.
"Aya!" Aku terkejut.
"Bukannya kamu diskorsing?" Tanyaku.
"Benarkah? Artinya aku libur donk." Jawab Aya seperti dulu bikin kesal.
"Minggir!" Ucapku sambil melewati Aya.
Sial, Sanja menghilang.
"Kamu itu dihukum." Sambung Sintia.
"Intinya aku boleh gak turun sekolahkan." Jawab Aya.
Mereka bicara di belakangku dan terdengar jelas. Meski aku kesal, aku tidak ingin menunjukannya apalagi bikin persahabatanku retak karena pacar.
Aku melihat wajah Aya.
"Kamu tahu kenapa dihukum?" Tanyaku.
"Gak tahu, emang kenapa?" Tanya Aya balik.
"Kamu gak ingat kejadian kemaren?" Tanyaku lagi.
"Seingatku sih aku pingsan lalu dibawa ke rumah. Kemudian tertidur, sampai pagi baru bangun. Setelah itu aku pergi ke sini." Jawab Aya sambil mengaruk-garuk kepala kayak gak yakin dengan ucapannya sendiri.
"Dia melewati kejadian lainnya." Sambung Sintia heran.
"Buat apa juga masa lalu diingat-ingat. Kita harus menatap masa depan. Aku pulang ke rumah dulu. Jangan lupa mampir setelah sekolah selesai." Ucap Aya yang bergegas mau pergi.
"Apa yang akan kamu katakan pada orang tuamu nanti?" Tanyaku.
"Aku mencuri papan nisan mistis dan membuat murid kerasukan massal. Itu mungkin yang aku katakan. Aku tidak tahu siapa yang memberitahunya ke guru. Tapi aku sudah siap menerima resiko." Balas Aya dengan nada datar.
"Aku sudah terbiasa kok menerima hukuman dari ayahku." Lanjut Aya sambil tersenyum kepada kami.
"Bilang sekolah libur. Ayahmu tidak akan punya waktu buat cari tahu, diakan selalu sibuk." Ucap Sintia.
"Sibuk selingkuh. Aku akan buktikan pada ayah. Aku jauh lebih berani berkata jujur dibandingkan dia." Ucap Aya dengan nada dingin.
"Bersikaplah baik. Jangan keras kepala. Mungkin ayahmu akan memaafkanmu." Pesanku.
Aku senang Aya yang kami kenal, kembali. Saat bersamaan, kami khawatir keadaan Aya nanti jika dia jujur akan di hukum, kalau bohong mungkin dia selamat. Jauh lebih baik jika dia tidak tahu apa-apa seperti kemaren.
Pulang sekolah kami segera ke rumah Aya.
Saat sampai di luar gerbang sekolah, kami bertemu dengan Hita. Dia menghentikan mobil kami.
"Di mana Aya?" Ucapnya langsung.
"Ini kami mau ke rumah Aya. Kamu mau ikut?" Ajak Sintia.
"Temanmu mau gak ajak aku? Gak enak jika didukung sebelah pihak saja." Ucap Hita sok politik.
Sebenarnya aku tidak setuju. Tapi nanti jika aku tolak, Sintia yang suka dengan Hita akan kecewa.
"Kalau mau ikut. Silahkan!." Jawabku.
"Aku ambil mobilku dulu." Balas Hita cepat.
"Bikin macet jalan. Mending numpang mobil Sintia?" Sambungku.
"Benar, aku setuju." Jawab Sintia.
Saat Hita mau masuk, aku keluar.
"Kamu duduk di depan. Biar aku di belakang." Ucapku.
Sintia terlihat sangat senang duduk di samping Hita.
Di tengah perjalanan, Sintia ngerem mendadak beberapa meter sebelum perempatan. Sekelompok burung gagak berterbangan dan menabrakan dirinya ke mobil. Salah satu burung tewas dan darahnya mengotori kaca mobil.
"Apa itu tadi?" Ucapku kaget.
Hita terlihat panik.
"Kamu kenapa Hita?" Tanyaku.
"Aku percaya mitos. Burung gagak, petanda akan datang kematian." Ucap Hita.
Suara klapson mobil tidak berhenti berbunyi di belakang karena lampu lalu lintas menunjukan warna hijau.
"Ayo kita jalan, perintahku." Cemas.
Sintia gemetar.
"Hita, kamu saja yang kendarai." Ucapku.
"Baik." Hita segera keluar dari pintu kiri. Bergegas menuju ke pintu kanan melewati depan mobil untuk menggantikan Sintia.
"Awas Hita." Teriak Sintia menyadari mobil lain di belakang menyalip tiba-tiba dari sisi kanan mobilnya.
Kejadian begitu cepat. Tapi aku dan Sintia menyaksikannya. Kerah baju di leher belakang Hita ditarik dengan cepat oleh seseorang yang muncul tiba-tiba.
Hita selamat.
"Sanja!" Aku kaget setelah sadar seseorang itu adalah Sanja.
Brakkk , suara benturan keras terdengar. Mobil yang menyalip kami ditabrak mobil tronton dari sisi kanan tepat di depan kami.
(Bersambung)
"Kok kalian gak jemput aku sih?" Tanya Aya yang muncul tiba-tiba di hadapanku.
"Aya!" Aku terkejut.
"Bukannya kamu diskorsing?" Tanyaku.
"Benarkah? Artinya aku libur donk." Jawab Aya seperti dulu bikin kesal.
"Minggir!" Ucapku sambil melewati Aya.
Sial, Sanja menghilang.
"Kamu itu dihukum." Sambung Sintia.
"Intinya aku boleh gak turun sekolahkan." Jawab Aya.
Mereka bicara di belakangku dan terdengar jelas. Meski aku kesal, aku tidak ingin menunjukannya apalagi bikin persahabatanku retak karena pacar.
Aku melihat wajah Aya.
"Kamu tahu kenapa dihukum?" Tanyaku.
"Gak tahu, emang kenapa?" Tanya Aya balik.
"Kamu gak ingat kejadian kemaren?" Tanyaku lagi.
"Seingatku sih aku pingsan lalu dibawa ke rumah. Kemudian tertidur, sampai pagi baru bangun. Setelah itu aku pergi ke sini." Jawab Aya sambil mengaruk-garuk kepala kayak gak yakin dengan ucapannya sendiri.
"Dia melewati kejadian lainnya." Sambung Sintia heran.
"Buat apa juga masa lalu diingat-ingat. Kita harus menatap masa depan. Aku pulang ke rumah dulu. Jangan lupa mampir setelah sekolah selesai." Ucap Aya yang bergegas mau pergi.
"Apa yang akan kamu katakan pada orang tuamu nanti?" Tanyaku.
"Aku mencuri papan nisan mistis dan membuat murid kerasukan massal. Itu mungkin yang aku katakan. Aku tidak tahu siapa yang memberitahunya ke guru. Tapi aku sudah siap menerima resiko." Balas Aya dengan nada datar.
"Aku sudah terbiasa kok menerima hukuman dari ayahku." Lanjut Aya sambil tersenyum kepada kami.
"Bilang sekolah libur. Ayahmu tidak akan punya waktu buat cari tahu, diakan selalu sibuk." Ucap Sintia.
"Sibuk selingkuh. Aku akan buktikan pada ayah. Aku jauh lebih berani berkata jujur dibandingkan dia." Ucap Aya dengan nada dingin.
"Bersikaplah baik. Jangan keras kepala. Mungkin ayahmu akan memaafkanmu." Pesanku.
Aku senang Aya yang kami kenal, kembali. Saat bersamaan, kami khawatir keadaan Aya nanti jika dia jujur akan di hukum, kalau bohong mungkin dia selamat. Jauh lebih baik jika dia tidak tahu apa-apa seperti kemaren.
Pulang sekolah kami segera ke rumah Aya.
Saat sampai di luar gerbang sekolah, kami bertemu dengan Hita. Dia menghentikan mobil kami.
"Di mana Aya?" Ucapnya langsung.
"Ini kami mau ke rumah Aya. Kamu mau ikut?" Ajak Sintia.
"Temanmu mau gak ajak aku? Gak enak jika didukung sebelah pihak saja." Ucap Hita sok politik.
Sebenarnya aku tidak setuju. Tapi nanti jika aku tolak, Sintia yang suka dengan Hita akan kecewa.
"Kalau mau ikut. Silahkan!." Jawabku.
"Aku ambil mobilku dulu." Balas Hita cepat.
"Bikin macet jalan. Mending numpang mobil Sintia?" Sambungku.
"Benar, aku setuju." Jawab Sintia.
Saat Hita mau masuk, aku keluar.
"Kamu duduk di depan. Biar aku di belakang." Ucapku.
Sintia terlihat sangat senang duduk di samping Hita.
Di tengah perjalanan, Sintia ngerem mendadak beberapa meter sebelum perempatan. Sekelompok burung gagak berterbangan dan menabrakan dirinya ke mobil. Salah satu burung tewas dan darahnya mengotori kaca mobil.
"Apa itu tadi?" Ucapku kaget.
Hita terlihat panik.
"Kamu kenapa Hita?" Tanyaku.
"Aku percaya mitos. Burung gagak, petanda akan datang kematian." Ucap Hita.
Suara klapson mobil tidak berhenti berbunyi di belakang karena lampu lalu lintas menunjukan warna hijau.
"Ayo kita jalan, perintahku." Cemas.
Sintia gemetar.
"Hita, kamu saja yang kendarai." Ucapku.
"Baik." Hita segera keluar dari pintu kiri. Bergegas menuju ke pintu kanan melewati depan mobil untuk menggantikan Sintia.
"Awas Hita." Teriak Sintia menyadari mobil lain di belakang menyalip tiba-tiba dari sisi kanan mobilnya.
Kejadian begitu cepat. Tapi aku dan Sintia menyaksikannya. Kerah baju di leher belakang Hita ditarik dengan cepat oleh seseorang yang muncul tiba-tiba.
Hita selamat.
"Sanja!" Aku kaget setelah sadar seseorang itu adalah Sanja.
Brakkk , suara benturan keras terdengar. Mobil yang menyalip kami ditabrak mobil tronton dari sisi kanan tepat di depan kami.
(Bersambung)
Posting Komentar
Posting Komentar