Terus Menjalani Hidup (Part 3)
Hidup di kota besar seorang diri memaksaku harus berusaha keras. Bermula dari keinginan hidup bahagia yang kutuangkan dalam cerita hingga menjadi karya yang kemudian ku tawarkan semuanya ke seluruh perusahaan media cetak hingga rumah produksi film di kota itu. Bahkan aku bersedia tidak mencantumkan namaku untuk karya yang ingin diambil.
Sekian banyak perusahaan yang ku tawarkan pasti ada salah satunya yang tertarik dengan karyaku. Seperti yang ku harapkan HP murah yang baru ku beli berbunyi. Dari salah satu yang tertarik dengan ceritaku.
Semenjak itu aku terikat kontrak dengan suatu perusahaan. Setiap harinya aku harus menyediakan sebuah cerita untuk mereka.
Meski bukan sebagai karyawati, aku masih bisa menghasilkan uang. Hinggaku dapat mempunyai rumah sendiri.
Keinginan untuk bertemu kembali dengan orang tuaku disaat berguna. Itulah yang memotivasiku selama ini.
Aku kembali ke kota kelahiranku di mana keluargaku berada. Aku mengunjungi perusahaan ayah. Di sana aku dicegat oleh penjaga keamanan, "Pak, aku ingin bertemu dengan ayahku. Pemimpin perusahaan ini." sapaku.
Betapa sakit hatinya aku saat dia berkata, "Bos di sini tidak mempunyai seorang putri."
Aku bisa melihat dari jauh di lantai dua, ayah sedang memandangiku. Sebenarnya seberapa buruknya aku hingga ayahku sendiri tidak mengakuiku sebagai putri kandungnya.
Lamunanku terhenti saat si penjaga bilang, "Dik, kamu cantik. Pasti banyak pekerjaan lain selain menipu seperti ini."
"Maaf pak, kalau begitu saya pergi." Ucapku sambil meneteskan air mata.
Saatku pergi, dia memanggilku.
"Nona, tunggu. Bos ingin bertemu denganmu."
Aku berikan senyumanku kepada ayah yang memperhatikanku dari jauh.
Di sebuah jurang, aku menunggu kedatangan ayah. Di tempat ini, ayah ingin bertemu. Jauh dari jam perjanjian aku sudah tiba. Karena dia pantas kutunggu.
Akhirnya ayah tiba dengan mobilnya di hadapanku. Dia keluar, "Ayah tidak pernah melupakan wajahmu, nak!"
Aku kembali meneteskan air mata, "Bagaimana dengan ibu dan kakak!" tanyaku.
"Ibu sudah meninggal, dan kakakmu sedang sekarat karena kecelakaan!" jawab ayah sambil kembali ke dalam mobilnya.
"Kenapa ayah tidak mengabariku!" teriakku.
"Seharusnya dari awal kau tidak hidup. Semenjak lahir di saat gerhana. Kau telah membuat sial keluarga kita. Kelahiranmu tidak diharapkan!" balas ayah sambil menyalakan mobilnya.
Cahaya lampu mobil ayah menyilaukanku, "Aku sayang ayah. Berikanlah aku kesempatan untuk hidup. Aku akan menjadi anak yang berguna bagi ayah. Silahkan hukum aku ayah. Tapi jangan ambil nyawaku!" mohonku. Tapi itu sia-sia. Ku melihat mobil ayah melaju kencang ke arahku.
Aku pasrah, ku tetap berdiri di hadapannya. Kututup mataku. Seakan menerima apa yang akan terjadi nanti.
(Tamat)
Sekian banyak perusahaan yang ku tawarkan pasti ada salah satunya yang tertarik dengan karyaku. Seperti yang ku harapkan HP murah yang baru ku beli berbunyi. Dari salah satu yang tertarik dengan ceritaku.
Semenjak itu aku terikat kontrak dengan suatu perusahaan. Setiap harinya aku harus menyediakan sebuah cerita untuk mereka.
Meski bukan sebagai karyawati, aku masih bisa menghasilkan uang. Hinggaku dapat mempunyai rumah sendiri.
Keinginan untuk bertemu kembali dengan orang tuaku disaat berguna. Itulah yang memotivasiku selama ini.
Aku kembali ke kota kelahiranku di mana keluargaku berada. Aku mengunjungi perusahaan ayah. Di sana aku dicegat oleh penjaga keamanan, "Pak, aku ingin bertemu dengan ayahku. Pemimpin perusahaan ini." sapaku.
Betapa sakit hatinya aku saat dia berkata, "Bos di sini tidak mempunyai seorang putri."
Aku bisa melihat dari jauh di lantai dua, ayah sedang memandangiku. Sebenarnya seberapa buruknya aku hingga ayahku sendiri tidak mengakuiku sebagai putri kandungnya.
Lamunanku terhenti saat si penjaga bilang, "Dik, kamu cantik. Pasti banyak pekerjaan lain selain menipu seperti ini."
"Maaf pak, kalau begitu saya pergi." Ucapku sambil meneteskan air mata.
Saatku pergi, dia memanggilku.
"Nona, tunggu. Bos ingin bertemu denganmu."
Aku berikan senyumanku kepada ayah yang memperhatikanku dari jauh.
Di sebuah jurang, aku menunggu kedatangan ayah. Di tempat ini, ayah ingin bertemu. Jauh dari jam perjanjian aku sudah tiba. Karena dia pantas kutunggu.
Akhirnya ayah tiba dengan mobilnya di hadapanku. Dia keluar, "Ayah tidak pernah melupakan wajahmu, nak!"
Aku kembali meneteskan air mata, "Bagaimana dengan ibu dan kakak!" tanyaku.
"Ibu sudah meninggal, dan kakakmu sedang sekarat karena kecelakaan!" jawab ayah sambil kembali ke dalam mobilnya.
"Kenapa ayah tidak mengabariku!" teriakku.
"Seharusnya dari awal kau tidak hidup. Semenjak lahir di saat gerhana. Kau telah membuat sial keluarga kita. Kelahiranmu tidak diharapkan!" balas ayah sambil menyalakan mobilnya.
Cahaya lampu mobil ayah menyilaukanku, "Aku sayang ayah. Berikanlah aku kesempatan untuk hidup. Aku akan menjadi anak yang berguna bagi ayah. Silahkan hukum aku ayah. Tapi jangan ambil nyawaku!" mohonku. Tapi itu sia-sia. Ku melihat mobil ayah melaju kencang ke arahku.
Aku pasrah, ku tetap berdiri di hadapannya. Kututup mataku. Seakan menerima apa yang akan terjadi nanti.
(Tamat)
Posting Komentar
Posting Komentar