Menyembunyikan Kesedihan  (Part 5)

Menyembunyikan Kesedihan (Part 5)

Saat aku berlutut. Tiba-tiba ada yang lewat dari belakangku dan berdiri di hadapanku. Dengan mengadah ke atas aku melihatnya. Ternyata Dinda. Dia melihatku dengan amarah. Aku takut menatapnya. Saatku melihat ke samping ada Hesa yang memegang kedua pundakku.

Dinda menjambak rambutku, ''Awww!" Sakit tapi aku berusaha menahan jeritanku. Aku tahu dia melakukan itu agar aku melihat ke arahnya saat mau diajak bicara.

"Maafkan aku, bukan maksudku tidak sopan denganmu." Ucapku.

Dinda menghembuskan nafasnya, "Sepertinya, Agi terus mendekatimu karena kamu tidak menjauh saat dia dekati."

Sambil tersenyum aku bicara, "Aku janji akan menjauh jika dia mendekatiku nanti."

"Kamu butuh dorongan agar dapat memegang kata-katamu itu." Ucap Dinda. Apa dia mau memberikan kata-kata motivasi padaku?

Brakkk, ''Aduh!" Hesa mendorongku hinggaku tersungkur di lantai. Dia lalu melepaskan sepatu dan kaos kakiku dengan paksa.

Dinda menendang tubuhku biar aku berbalik. Aku segera melihat ke arahnya sambil memegangi dadaku yang nyeri.

"Jika kamu ingin sepatumu kembali, lakukan yang kuperintahkanku tadi." Teriak Dinda.

Sepertinya Dinda membutuhkan sepatuku, "Jika kamu ingin. Sepatuku itu untukmu." Ucapku sambil tersenyum.

Dinda dan Hesa pergi begitu saja.

Akhirnya aku pulang tanpa sepatu dan hanya dengan kaki telanjang. Jalan di aspal membuat kakiku seperti melepuh. Mau jalan ke samping banyak bebatuan tajam yang bisa membuat kakiku terluka. Jadi aku tahan rasa panas saat jalan di aspal.

Kaki yang memar ditambah telapak kaki yang melepuh membuat perjalanan pulang terasa lama. Memang jaraknya juga sangat jauh.

Aku kesakitan hingga membuatku selalu tertunduk. Hal itu membuatku menabrak seseorang.

"Maafkan aku. Maafkan aku."

Saat aku melihat siapa yang ku tabrak. Segeraku menjauh ke belakang. Dia malah mendekatiku. Aku lalu mundur dan dia berhenti. Segera aku menjelaskan takut dia tersinggung.

"Maaf Agi, aku perempuan dan kamu laki-laki lebih baik kita jangan dekat-dekat." Ucapku membuat alasan.

Tanpa mengucapkan sepatah katapun. Agi melemparkan sendal dan jatuh tepat di ujung jari kakiku. Lalu bersiap pergi. Aku segera mengambil sendalnya. Ketika mau mengembalikan sendalnya. Dia berhenti dan memalingkan badannya ke aku. Seketika aku juga berhenti untuk menjaga jarak darinya. Terlihat wajahnya yang pucat, dia kemudian mengadahkan tangannya, "Jika kamu tidak butuh, kembalikan."

Ingin aku mengembalikannya tapi aku sudah janji dengan Dinda, tidak mendekati Agi.

Mau melempar sendalnya juga takut tidak sopan.

Melihat aku terdiam dia kemudian bicara, "Kalau begitu, pakailah." Ucapnya lalu pergi.

Aku segera memakai sendal pemberian Agi. Kakiku terasa nyaman. Aku tersenyum dan pulang dengan bahagia.

Saat aku memasuki hutan. Aku merasa ada yang mengikutiku. Ketika aku berpaling. Tidak ada siapa-siapa. Aku merinding dan mempercepat langkahku. Sesampainya di rumah di tengah hutan. Aku langsung masuk. Lalu mengintip di sela-sela lubang dinding di rumahku. Kebetulan rumahku banyak lubangnya. Meskipun tidak layak huni tapi rumah ini peninggalan nenekku. Hanya saja karena aku perempuan. Jadi kurang bisa memperbaikinya. Beberapa aku perbaiki, tapi kembali rusak.

Lama aku mengintip, tidak ada tanda-tanda orang di luar rumah. Membuatku tenang.

Karena terlalu lelah menahan sakit. Saat aku berbaring di lantai, aku langsung tertidur.

Aku terbangun saat malam tiba. Ketika aku menyalakan lilin. Tiba-tiba terdengar suara berisik di luar. Membuatku ketakutan.

(Bersambung)

Download Wallpaper