Takut Dengan Yang Romantis (Part 4)
Sabtu, Agustus 24, 2019
Dinda memukul Hesa, "Makanya kalau dipanggil cepat datang. Kemarin saat kamu datang. Agi udah pergi setelah selesai deketin Ambun."
Hesa cuma mengelus-elus bahunya. Aku kagum sama Dinda, perempuan yang berani pada laki- laki seperti Hesa.
Aku mengakui kesalahanku, "Maafkan aku, kemarin didekati Agi tanpa sempat aku cegah."
Dinda memarahiku, "Seharusnya kamu menjauh saat dia dekati."
Aku jujur, "Aku takut melukai perasaannya."
Dinda semakin emosi, "Kamu suruh dia menjauh. Lukai aja perasaannya."
Aku takut, ''Aku gak berani. Dia terus dekati aku."
Dinda terdiam memikirkan sesuatu sejenak, "Kita harus bikin Ambun cacat biar Agi tidak mau lagi dekatinya. Mana polpen, aku mau bikin dia buta?"
Hesa terlihat panik, "Kalau Ambun berdarah nanti sekolah heboh."
Aku gemetar, "Ku mohon jangan. Bikin aku pincang saja. Aku butuh mataku untuk cari buah-buhan di hutan."
Dinda tersenyum. Aku membalasnya dengan senyuman karena senang dia bahagia.
"Hesa, tarik kaki kanan Ambun." Perintah Dinda.
Tanpa permisi Hesa menariknya dengan kasar, "Aw!"
Dinda menginjak kakiku membabi buta, "Aaahm"
Aku menjerik kesakitan. Segeraku menutup mulutku sendiri dengan tangan. Dan terpaksa menahan rasa sakitnya.
Sampai Hesa menghentikan Dinda, "Sudah cukup. Kakinya sudah memar."
Mereka meninggalkanku di gudang.
Aku menghapus air mataku yang tidak bisa ku cegah keluar. Lalu berusaha berdiri, "Aduh!" Rasa sakit sangat terasa.
Dengan terpincang-pincang aku berjalan. Aku menghampiri danau untuk duduk di kursi yang di sana.
Aku meluruskan kakiku yang memar.
Tiba-tiba ada tangan yang muncul di hadapanku, "Kamu mau minum es?"
Itu Agi dengan wajah pucatnya. Kenapa dia selalu ada.
"Maaf, aku tidak membutuhkannya."
Dengan cepatnya Agi menyentuhkan minuman esnya ke kakiku yang memar.
Aku segera melihat ke sekeliling. Takut Dinda dan Hesa melihatku. Untung mereka tidak ada.
"Bagaimana rasa sakitnya sudah mendingan?" Tanya Agi.
Aku cemas. Tapi rasa sakitku benar-benar hampir menghilang.
"Terima kasih. Kamu tidak cepat pergi seperti biasanya?" Tanyaku memastikan kemaren-kemaren itu adalah dia sekaligus mengusirnya secara halus.
"Kamu sudah baca kebiasaanku ya. Aku gak bisa pergi kayak dulu. Karena lagi megang es."
Jadi benar itu dia, "Boleh, aku aja yang pegang."
Aku memegang minuman esnya. Kemudian dia langsung pergi.
Aku ke kelas dengan berjalan sedikit pincang karena rasa sakitnya sudah mulai berkurang walaupun nyeri saat diinjakan ke lantai. Agar siswa-siswi tidak menyadari keadaanku. Aku masuk kelas lebih awal sebelum waktu istirahat pertama usai. Takut mereka nanti direpotkan olehku dengan membawaku ke UKS.
Istirahat kedua. Aku hanya berdiam diri di dalam kelas. Tidak masalah bagiku yang tidak punya teman. Sehingga tidak ada satupun yang menanyakan, kenapa aku cuma berdiam diri di kelas. Saat waktu pulang tiba aku berusaha untuk menjadi yang terakhir pulang dengan berdiam diri dulu lebih lama.
Setelah cuma aku sendiri yang ada. Aku berusaha berjalan pulang walaupun dengan susah payah. Ketika di luar kelas dan melewati lorong. Tiba-tiba suasana menjadi gelap. Suasana mencekam seketika. Aku mempercepat langkahku tapi itu malah membuat kakiku semakin sakit melangkah.
Tiba-tiba bahuku terasa berat. Bahkan membuatku tertunduk hinggat berlutut. Aku ketakutan.
(Bersambung)
Hesa cuma mengelus-elus bahunya. Aku kagum sama Dinda, perempuan yang berani pada laki- laki seperti Hesa.
Aku mengakui kesalahanku, "Maafkan aku, kemarin didekati Agi tanpa sempat aku cegah."
Dinda memarahiku, "Seharusnya kamu menjauh saat dia dekati."
Aku jujur, "Aku takut melukai perasaannya."
Dinda semakin emosi, "Kamu suruh dia menjauh. Lukai aja perasaannya."
Aku takut, ''Aku gak berani. Dia terus dekati aku."
Dinda terdiam memikirkan sesuatu sejenak, "Kita harus bikin Ambun cacat biar Agi tidak mau lagi dekatinya. Mana polpen, aku mau bikin dia buta?"
Hesa terlihat panik, "Kalau Ambun berdarah nanti sekolah heboh."
Aku gemetar, "Ku mohon jangan. Bikin aku pincang saja. Aku butuh mataku untuk cari buah-buhan di hutan."
Dinda tersenyum. Aku membalasnya dengan senyuman karena senang dia bahagia.
"Hesa, tarik kaki kanan Ambun." Perintah Dinda.
Tanpa permisi Hesa menariknya dengan kasar, "Aw!"
Dinda menginjak kakiku membabi buta, "Aaahm"
Aku menjerik kesakitan. Segeraku menutup mulutku sendiri dengan tangan. Dan terpaksa menahan rasa sakitnya.
Sampai Hesa menghentikan Dinda, "Sudah cukup. Kakinya sudah memar."
Mereka meninggalkanku di gudang.
Aku menghapus air mataku yang tidak bisa ku cegah keluar. Lalu berusaha berdiri, "Aduh!" Rasa sakit sangat terasa.
Dengan terpincang-pincang aku berjalan. Aku menghampiri danau untuk duduk di kursi yang di sana.
Aku meluruskan kakiku yang memar.
Tiba-tiba ada tangan yang muncul di hadapanku, "Kamu mau minum es?"
Itu Agi dengan wajah pucatnya. Kenapa dia selalu ada.
"Maaf, aku tidak membutuhkannya."
Dengan cepatnya Agi menyentuhkan minuman esnya ke kakiku yang memar.
Aku segera melihat ke sekeliling. Takut Dinda dan Hesa melihatku. Untung mereka tidak ada.
"Bagaimana rasa sakitnya sudah mendingan?" Tanya Agi.
Aku cemas. Tapi rasa sakitku benar-benar hampir menghilang.
"Terima kasih. Kamu tidak cepat pergi seperti biasanya?" Tanyaku memastikan kemaren-kemaren itu adalah dia sekaligus mengusirnya secara halus.
"Kamu sudah baca kebiasaanku ya. Aku gak bisa pergi kayak dulu. Karena lagi megang es."
Jadi benar itu dia, "Boleh, aku aja yang pegang."
Aku memegang minuman esnya. Kemudian dia langsung pergi.
Aku ke kelas dengan berjalan sedikit pincang karena rasa sakitnya sudah mulai berkurang walaupun nyeri saat diinjakan ke lantai. Agar siswa-siswi tidak menyadari keadaanku. Aku masuk kelas lebih awal sebelum waktu istirahat pertama usai. Takut mereka nanti direpotkan olehku dengan membawaku ke UKS.
Istirahat kedua. Aku hanya berdiam diri di dalam kelas. Tidak masalah bagiku yang tidak punya teman. Sehingga tidak ada satupun yang menanyakan, kenapa aku cuma berdiam diri di kelas. Saat waktu pulang tiba aku berusaha untuk menjadi yang terakhir pulang dengan berdiam diri dulu lebih lama.
Setelah cuma aku sendiri yang ada. Aku berusaha berjalan pulang walaupun dengan susah payah. Ketika di luar kelas dan melewati lorong. Tiba-tiba suasana menjadi gelap. Suasana mencekam seketika. Aku mempercepat langkahku tapi itu malah membuat kakiku semakin sakit melangkah.
Tiba-tiba bahuku terasa berat. Bahkan membuatku tertunduk hinggat berlutut. Aku ketakutan.
(Bersambung)