CERBUNG: KKN Horor Versi Lengkap Widya (Part 2)

CERBUNG: KKN Horor Versi Lengkap Widya (Part 2)

Mereka berangkat, menembus jalan setapak, lalu sampai di jalan raya besar, menyusurinya, jauh, sangat jauh, sampai akhirnya mereka tiba di kota B, disana mereka berhenti di sebuah pasar, Wahyu dan Widya mulai mencari segala keperluan mereka.



kurang lebih setelah 2 jam,

mencari kesana kemari dan setelah mendapatkanya, mereka langsung cepat kembali.



Wahyu berhenti di pom bensin, ia harus mengembalikan motornya dalam keadaan bensin full, etika ketika meminjam barang orang lain.



jam sudah menunjukkan pukul 4, sudah terlalu sore,

sejenak ia melihat Widya dari jauh, ia berhenti tepat di samping penjual cilok, ketika Wahyu sampai disana, ia membeli beberapa cilok, untuk Widya dan dirinya sendiri, saat itulah, si penjual cilok, melihatnya seperti ingin menyampaikan sesuatu.

"Mas nya pendatang?" kata orang asing itu.



"mboten pak" "kulo KKN ten mriki" (tidak pak, saya hanya KKN disini)



"tetep ae, wong joboh to" (tetap saja, orang luar kan?) kata si penjual, masih melihat Widya dan Wahyu bergantian.



"nek oleh takon, masnya sama mbaknya KKN dimana?"

Wahyu menceritakan semuanya, termasuk tempat KKN nya, saat itu juga terlihat jelas sekali perubahan wajah si penjual.



"Loh, sampeyan berarti mari iki liwat Alas D.........??" (berarti sebentar lagi anda akan lewat di hutan ..........??)



"nggih pak" (iya pak)

"loh loh, halah dalah" "wes yangmene mas, opo ra isok mene ae mas, sampeyan golek penginapan ae, soale nek jam yangmene, jarang onok sing liwat" (sudah jam segini mas, apa gak bisa besok saja mas, cari saja penginapan, soalnya jam segini sudah jarang ada yang lewat) kata si bapak

"mboten pak, kulo bablas mawon" (tidak pak, saya lanjut saja) kata Wahyu,



"ngeten mas, isok kulo nyuwun waktu'ne sampeyan??" (gini mas, bisa saya minta waktunya sebentar)



si penjual cilok, tiba-tiba mengatakan hal itu dengan wajah tegang.

"nggih pak" kata Wahyu.



Widya yang sedari tadi memilih diam, hanya mendengarkan saja saat penjual cilok itu menceritakan apa yang harus mereka lakukan saat masuk ke Alas ...........



"ngeten mas" (begini mas) "engken, bade sampun mlebet nang Alas'e sampeyan mlaku ae teros"

(nanti setelah kalian sampai dan masuk ke jalanan hutanya, jalan saja ya terus)



"ora usah mandek, utowo ngeladeni opo ae, ngerti ya mas"(gak usah berhenti, apalagi mengurusi hal apapun, sampai sini paham ya mas)



"ojok lali, moco dungo'e sing katah"(jangan lupa doanya yg banyak)

(sing paling penting, nek sampeyan krungu suoro ra onok wujud'e, tetep lanjut, bade sampeyan sampe di gawe ciloko, nek isok lanjut, lanjut ae, ra usah di urus mas, sampeyan percoyo ae, dungo nggih" (yang paling penting, jika kalian dengar suara tanpa wujud, tetap lanjut saja)

(jika sampai kalian di bikin celaka, lalu kalian masih bisa melanjutkan, lanjutkan saja, jangan pernah berhenti disana, yang penting tidak usah di perdulikan, kalian percaya saja, doanya juga utamakan)

Widya tidak pernah mendengar ada orang yang sampai bercerita dengan mimik wajah yang tegang, bahkan bibirnya gemetar saat menceritakan.



"kulo dongakno sampeyan sampeyan selamet sampai nang Tujuan"(saya doakan kalian selamat sampai tujuan)



tepat ketika langit sudah kemerahan,

mereka melanjutkan perjalanan, di belakang, Widya mulai merasakan angin dingin, melewatinya begitu saja. tidak pernah di sangka, jalan masuk hutan, lebih gelap ketika petang sudah mulai menjelang.

cahaya motor yang dikendarai Wahyu menembus kegelapan malam, kilasan pohon hutan di samping kiri kanan jalan menjadi pemandangan tak terelakan, hanya suara motor yang mampu menghidupkan sepi senyap di sepanjang jalan, karena benar saja, tak di temui satupun pengendara lain disini

Wahyu mencoba mencairkan suasana dengan berandai-andai bagaimana bila motor mogok atau ban meletus di tengah antara hutan ini sementara belum di temui satupun pengendara yang lewat, Widya hanya menanggapi kecut, takut bila pengandaian wahyu terjadi pada mereka, dan benar saja.

Motor mereka ngadat tepat setelah Wahyu mengatakan itu.



Widya, diam seribu bahasa, hal kurang pintar dari manusia sejak dulu kala adalah memikirkan sesuatu yang buruk di kondisi yang buruk yang bahkan tidak seharusnya mereka lakukan manakala Doa bisa saja di kabulkan sewaktu2

"mlaku o disek, ben aku isok nyawang awakmu" (jalan saja dulu, biar aku bisa tetap memantau kamu) kata Wahyu, sudah tidak tahan mendengar berapa kali kata "Goblok" keluar dari mulut Widya, sepanjang mereka berjalan sendirian menyusuri jalan ini.



sembari mencoba menstarter motor

entah berapa lama mereka berjalan, dan masih belum di temui satupun pengendara yang di mintai pertolongan, Wahyu masih melihat Widya, berjalan sendirian didepan, tak sekalipun wajahnya menengok Wahyu seolah Wahyu sudah melakukan kesalahan paling fatal, yang pernah Wahyu buat.

sampai, langkah kakinya berhenti.



Widya, menghentikan langkah kakinya, Wahyu yang melihat itu, tiba-tiba merasa ada sesuatu yang salah. pasti.



"nek sampek awakmu kesurupan, bener-bener parah awakmu, gak isok ndelok sikonku nyurung montor ket mau" (kalau sampai kamu kesurupan,

bener-bener keterlaluan kamu, apa gak bisa lihat kondisiku dari tadi sudah capek dorong motor dari tadi)



Widya melihat Wahyu, mata mereka saling memandang satu sama lain.



"yu, krungu ora?? suara mantenan??" (Yu, dengar tidak? ada suara hajatan??)

bukan mau mengatakan Widya sinting, tapi, Wahyu juga mendengarnya, dan suara itu tidak jauh dari tempat mereka.



"Wid, eleng gak, jare wong dodol cilok, nek onok opo-opo lanjut ae" (Wid, inget gak kata penjual cilok, jangan berhenti walau ada apapun, kita lanjut saja)

seperti kata Wahyu, Widya pun melanjutkan perjalanan, semakin mereka berjalan, semakin keras suara itu, dan semakin lama, di iringi suara tertawa dari orang-orang yang sedang melangsungkan hajatan, sampai, di lihatnya, terdapat jenur kuning melengkung, disana, Widya melihatnya

sebuah pesta, tepat di sebuah tanah lapang samping jalan raya, seperti sebuah area perkampungan, disana, lengkap dengan orang-orangnya, juga panggung tempat musik di dendangkan.



Wahyu dan Widya, terdiam cukup lama, seperti termenung memastikan bahwa yang mereka lihat, manusia.

tidak ada angin, tidak ada hujan, Wahyu dan Widya tercekat saat ada orang tua bungkuk bertanya tiba-tiba tepat di samping mereka.



"Nopo le" (ada apa nak?) suaranya halus sekali, sangat halus, "sepeda'e mblodok?" (motornya mogok?)



Wahyu dan Widya hanya mengangguk, pasrah.

si orang tua memanggil anak-anak yang lebih muda, kemudian menuntun sepeda, menepi dari jalan raya, tidak lupa, si orang tua mempersilahkan Wahyu dan Widya istirahat sebentar, sembari menunggu motornya di betulkan.



suanasanya ramai, semua orang sibuk dengan urusanya sendiri2

ada yang bercanda, ada yang mengobrol satu sama lain, ada yang menikmati alunan gamelan yang di tabuh seirama, lengkap dengan si pengantin yang terlihat jauh dari tempat Wahyu dan Widya duduk.



"aku ra eroh nek onok kampung nang kene?" (aku tidak tau ada kampung disini?)

Widya hanya diam saja, matanya fokus pada panggung, didepan penabuh gamelan masih ada ruang, acara apa yang akan mereka adakan dengan ruang seluas itu.



rupanya, pertanyaan Widya segera terjawab, dari jauh, tiba-tiba tercium aroma melati. aroma yang familiar bagi Widya.

di ikuti serombongan orang, dihadapanya ada seorang penari, ia di tuntun naik ke atas panggung, kemudian, semua orang memandang pada satu titik, tempat penari mulai berlenggak lenggok di atas panggung, semua mata, seperti terhipnotis melihatnya

"Ayu'ne curr!!"(cantik sekali anj.ng!!) kata Wahyu



bingung, apakah hanya perasaan saja, mata si penari beberapa kali mencuri pandang pada Widya, ia seperti mengenal penari itu, tapi, tidak ada yang tau siapa si penari, sampai si bapak tua kembali, menawarkan makanan pada mereka

Wahyu yang mungkin lapar, melahap habis mulai dari lemper sampai apem di hadapanya, sembari bercakap-cakap sama si bapak tua, namun Widya lebih suka melihat si penari, ia mampu membuat semua orang tertuju melihatnya, menatapnya dengan tatapan yang menghipnotis.

setelah si penari turun dari panggung, si bapak mengatakan, motor mereka sudah selesai, bisa di naikin lagi, benar saja.



motor mereka sudah bisa di pakai lagi, sebelum pergi, Wahyu dan Widya berpamitan, mereka berterimakasih sudah mau menolong mereka yang kesusahan,

si bapak mengangguk, mengatakan mereka harus hati-hati, tidak lupa si bapak memberi bingkisan, menunjukkan isinya pada Wahyu dan Widya, itu adalah jajanan yang di hidangkan tadi, membungkusnya dengan koran, Widya menerimanya, mengucap terimakasih lagi, lalu lanjut pergi.

tidak ada yang seheboh Wahyu, yang terus berbicara tentang cantiknya paras si penari, kisaran usianya mungkin lebih tua dari mereka, namun, cara dia berdandan, bisa menutupi usianya sehingga dari jauh, kecantikanya terlihat begitu sulit di gambarkan.

Widya, lebih tertarik dengan kampung itu. demi apapun, sewaktu perjalanan, tidak di temui satu kampung pun, jangankan kampung, warung saja tidak ada sama sekali.



namun, motor Wahyu benar-benar mereka betulkan, dan mereka tulus membantu tanpa meminta apapun,

jadi, apa mungkin, hantu bisa membetulkan motor.



satu yang coba Widya yakini, mungkin, mereka tidak melihat kampung tadi saja, yang terpenting, di jalan setapak ini, Desa KKN mereka sudah semakin dekat.

sesampainya di kampung, Wahyu pergi mengembalikan motor, sedangkan Widya sudah di tunggu oleh semua anak, mereka khawatir, berdiri menunggu di teras rumah.



"tekan ndi seh?? kok suwe'ne" (darimana sih? kok lama sekali) kata Ayu,



"tekan Kota, belonjo keperluan kene" (dari kota)

(belanja keperluan kita)



Nur membuang muka melihat Widya, sudah biasa, kadang Nur memang seperti itu, setelah dia menceritakan kejadian kemarin, ia tidak lagi mau membicarakan itu, sekarang, dia sedikit menjauhi Widya, dan ia merasakan itu, sangat terasa.

di suasana tegang itu, hanya Bima yang mencoba mencairkan suasana, "wes ta lah, kok kaku ngene seh"(sudahlah, kok canggung gini)



Bima menggandeng Widya, menyuruhnya masuk rumah, "awakmu pegel kan" (kamu pasti capek kan)



tidak beberapa lama, Wahyu sudah datang, ia masuk ke rumah

tanpa membuang2 waktu, alih-alih ia istirahat, Wahyu dengan suara menggebu-gebu bercerita kalau baru saja mengalami kejadian tidak mengenakan atas insiden motor, sampai dibantu, orang kampung, tidak lupa, ia bercerita tentang penari yang ia temui, kecantikanya, ia ceritakan semua

bukan sambutan yang Wahyu dapat, tapi tatapan kebingungan lah yang pertama Wahyu lihat.



"ra onok Deso maneh nang kene" (tidak ada desa lagi disini) kata Bima, Wahyu yang mendengar itu tidak terima.



"eroh tekan ndi awakmu" (tau darimana kamu)



"aku wes sering nang kota yu,"

(aku sudah sering ke Kota Yu) "Prokerku onok hubungane ambek program hasil alam, dadi sering melu nang kota mabek wong-kene" (Prokerku berhubungan sama program hasil alam, jadi sering ikut ke kota sama orang sini) "sampe sak iki, aku rong eroh onok deso maneh nang kene"

(sampai sekarang, aku belum nemuin satu lagi kampung di dekat sini)



"ngomong opo, mbujuk" (bicara apa, nipu) kata Wahyu geram.



"Mas" kata Nur, "pancen ra onok Deso maneh nang kene, kan wes tau di bahas" (Mas, memang gak ada lagi desa disini, kan sudah pernah di bahas dulu)

"koen kabeh nek ra percoyo, tak dudui bukti, nek aku ketemu wong deso liane" (kalian kalau gak percaya tak kasih bukti kalau ada desa lain di sekitar sini)



Widya yang sedari tadi diam, tiba-tiba di tarik oleh Wahyu. "takono ambek Widya nek ra percoyo"

(tanya sama Widya kalau tidak percaya)



Widya masih diam, lama, sementara yang lain menunggu Widya berbicara, hal yang membuat Widya bingung adalah, kopi.



sadar atau tidak, Widya sempat merasakan aroma kopi yang manis itu di jajanan yang ia cicipi, rasanya sama persis.

karena tidak sabar, Wahyu membuka paksa tas Widya dan mengambil bingkisan itu, bukan koran lagi yang Wahyu temuin, namun, daun pisang yang terbungkus di jajanan pemberian bapak tua itu.

tepat ketika Wahyu membuka bingkisan itu.



Semua orang melihat isi di dalam bingkisan itu, berlendir, dan aromanya sangat amis, tidak salah lagi, di dalam bingkisan itu adalah kepala monyet yang masih segar dengan darah di daun pisangnya.

setelah kejadian malam itu. Wahyu mengurung diri dalam kamar, 3 hari lamanya, kadang, ia masih tidak percaya dengan hal itu, namun, bila mengingat bagaimana kepala-kepala monyet itu jatuh dari tanganya, rasa mualnya akan kembali, membuat wahyu harus memuntahkan isi perutnya..

Widya hanya mengulang kalimat mbah Buyut "jangan menolak pemberian tuan rumah" sejatinya, Wahyu dan Widya sudah benar, meski ia tahu semua itu ganjil, namun mereka harus tetap mencicipinya, yang jadi masalahnya, hanya Widya yang sadar, bahwa yang menemani mereka bukanlah manusia

seandainya saja, Widya mengatakan keganjilan itu kepada Wahyu, menolak pertolongan mereka, menolak pemberian mereka, mungkin jalan cerita semua ini akan benar-benar berbeda, bisa saja, justru, penolakan seperti itu akan mendatangkan balak (bencana) bagi mereka,

apapun itu, Widya sudah mengerti satu hal, ada hubungan yang secara tidak langsung, tentang dirinya dan sang Penari.

Malam itu, Widya baru selesai melihat prokernya yang di bantu beberapa warga desa, ketika langit sudah gelap gulita, Widya menyusuri jalan setapak desa, seperti biasa, suara binatang malam mulai terdengar, ia terus berjalan sampai melihat rumah tempat mereka menginap.

seharusnya yang lain sudah ada di rumah, entah mencicil laporan proker atau mungkin sejenak beristirahat, namun anehnya, lampu petromax yang seharusnya menyala di depan rumah, mati. membuat rumah itu terlihat lebih sunyi, kelam, dan mengerikan. seolah rumah itu memanggil namanya.

"wes biasa" batin Widya, memantapkan hatinya. rumah ini memang masih terbilang baru bagi Widya dan yang lainya, namun, tempo hari, mendengar bahwa ada penunggu di belakang rumah, membuat Widya kadang tidak tenang, dan beberapa kejadian ganjil hampir pernah Widya alami, hanya saja

apa yang Widya alami, apakah juga mereka alami, hanya saja mereka menutupi dan lebih memilih diam.



kini, Widya sudah ada di depan pintu, mengetuknya, mengucap salam, dan kemudian melangkah masuk, dilihatnya ruang tengah, tempat biasa Ayu ada disana, menulis laporan, sayangnya-

tidak ada Ayu disana. hanya ruangan kosong.



di teras rumah pun sama, seharusnya Wahyu dan Anto ada disana, sedang bercanda seputar apa yang mereka lakukan hari ini di temani asap rokok dari mulut mereka, atau suara Nur yang sedang mengaji, dan Bima yang entah apa yang ia lakukan

selama tinggal di rumah ini. hanya Bima, yang masih terasa asing bagi Widya.

sayangnya, malam itu, tak di temui satupun penghuni rumah ini, apakah Widya terlalu sore untuk pulang, sedangkan yang lain masih sibuk mengurus proker mereka masing-masing bersama warga.



entahlah. Widya bersiap masuk ke kamar, saat, sekelebat perasaan tak nyaman itu muncul.

perasaan seolah ada yang mengawasi entah darimana, dan menimbulkan rasa berdebar di dada, ketika, suara tawa ringkik terdengar dari Pawon (dapur) rumah, saat itulah, Widya yakin, sesuatu ada disana.



sesuatu yang bukan lagi hal baru, ia harus memeriksanya.

ketika Widya menyibak tirai, ia melihat Nur, duduk di sebuah kursi kayu, matanya menatap lurus tempat Widya berdiri, ia masih mengenakan mukenah putihnya seolah-olah, ia baru menunaikan sholat dan belum menanggalkan mukenahnya, hanya saja, kenapa ia duduk diam seperti itu.

"Nur" "ngapain?" kata Widya.



Nur masih diam, matanya seperti mata orang yang kosong.



saat itulah, Widya melihat Nur menundukkan kepalanya dengan posisi duduk itu, seakan-akan ia tertidur di atas kursi kayunya. membuat Widya panik, mendekatinya.

Widya menggoyang badanya, namun Nur tidak bergeming, saat Widya mencoba menyentuh kulit wajahnya yang dingin, Nur terbangun dan melotot melihat Widya, tatapanya, seperti orang yang sangat marah.

"Cah Ayu" (anak cantik) hal itulah yang pertama Widya dengar dari Nur, hanya saja, suaranya, itu bukan suara Nur. suaranya menyerupai wanita uzur. melengking, membuat bulukuduk Widya seketika berdiri.



namun, saat Widya mencoba pergi, tanganya sudah di cengkram sangat kuat.

"kerasan nak nang kene," (betah tinggal disini)



Widya tidak menjawab sepatah katapun, suaranya mengingatkanya pada neneknya sendiri, benar-benar melengking.



"yo opo cah ayu, wes ngertos badarawuhi" (gimana anak cantik, sudah kenal sama penunggu disini)



Widya mulai menangis.

"lo lo lo, cah ayu ra oleh nangis, gak apik" (anak cantik gak boleh menangis) Matanya masih melotot, pergelangan tangan Widya di cengkram dengan kuku jari Nur.



"cah lanang sing ngganteng iku ae wes kenal loh kale Badarawuhi" (anak ganteng itu saja sudah kenal sama dia)

"Nur" ucap Widya sembari tidak bisa menahan takutnya lagi, suasana di ruangan itu benar-benar baru kali ini bisa membuat Widya setakut ini.



"iling Nur iling" (sadar Nur sadar)



Nur tertawa semakin kencang, tertawanya benar-benar menyerupai tertawa yang membuat Widya diam takut.

"awakmu gak ngerti, sopo aku" (kamu gak ngerti siapa aku?)



"mbok pikir, nek gak onok aku, cah ndablek model koncomu sing gowo Bolo alus nang kene isok nyilokoi putu 'ku, aku, sing jogo Nur sampe sak iki, ra tak umbar, Bolo alus nyedeki putuku. ngerti"

(kamu pikir, kalau tidak ada aku, anak nakal seperti temanmu yang sudah membawa penunggu disini bisa mencelakai cucuku, aku yang selama ini sudah menjaganya, tidak akan ku biarkan mereka mendekati cucuku. mengerti)

"nyilokoi nopo to mbah" (mencelakai bagaimana?)



"cah ayu, kancamu siji bakal ra isok balik. nek awakmu rong sadar, opo sing bakal kedaden, tak ilingno, cah ganteng iku, bakal gowo ciloko, nyeret kabeh nang petoko nang deso iki"

(anak cantik, satu dari temanmu tidak akan bisa kembali, jika kamu belum sadar, semuanya akan terjadi, ingatkan anak itu, yang sedang membawa petaka jika di biarkan semuanya akan kena batunya di desa ini)



setelah mengatakan itu, Nur teriak keras sekali, lalu jatuh terjerembap.

Widya menggotong Nur kembali ke kamarnya, menungguinya sampai ia terbangun dari pingsanya, dan benar saja, ia tidak tahu kenapa ia bisa tertidur, mungkin terlalu terbawa ketika sholat.



Nur bercerita saat di pondok, kalau sudah kudu menikmati sholatnya, biasanya sampai ketiduran.

entah apa yang Widya pikirkan, sampai tiba-tiba ia bertanya hal yang Nur paling tidak sukai



"sejak kapan bisa lihat begituan?"



awalnya, Nur salah tingkah, tidak mau cerita, sampai ketika Widya menungguinya, Nur mengatakanya, sejak mondok, ia bisa melihatnya, karena memang harus

"Ghaib itu ada" kata Nur, "sebenarnya, tiap orang ada yang jaga, jenisnya berbeda-beda, ada yang jahat, ada yang baik, ada yang cuma mengikuti, ada yang cuma numpang lewat"



"awakmu onok sing jogo?" (kamu ada yang jaga?) tanya Widya.

"jarene onok" (katanya ada) ucap Nur, suaranya pelan, sepeti tidak mau menjawab.



"kok jarene" (kok katanya)



"aku ra tau ndelok Wid, aku di kandani kancaku sak durunge metu tekan pondok, jarene, sing jogo aku, wujud'e mbah dok, mbahku biyen)

(aku belum pernah melihatnya langsung, aku di kasih tahu temanku sebelum keluar dari pondok, katanya, wujudnya menyerupai nenekku)



setelah mendengar itu, Widya hanya mendengar Nur, bercerita tentang pengalamanya selama mondok, namun, Widya lebih memikirkan hal lain.

23 Hari, sudah di lalui, setiap hari, perasaan Widya semakin tidak enak, di mulai dari satu persatu warga yang membantu prokernya mulai tidak datang satu persatu, kabarnya mereka jatuh sakit, anehnya, itu terjadi di proker kelompok mereka, yang berurusan dengan Sinden.

pernah suatu hari, Widya mendengar secara tidak langsung, kalau ini semua karena Sindenya mengandung kutukan, tapi pak Prabu bersihkeras itu mitos, takhayul, sesuatu yang membuat warga desanya ketinggalan jaman.



namun, satu kali, Widya pernah di kasih tahu warga, bila Sinden ini

ada yang jaga.



katanya, Sinden ini dulu, sering di gunakan untuk mandi oleh dia. dia yang di bicarakan ini, tidak pernah di sebut warga, namun yang mencurigakan dari kasus ini adalah, nama Sinden ini, adalah Sinden kembar.



Sinden kembar. Widya selalu mengulangi kalimat itu.

Sinden kembar, membuat Widya semakin penasaran



alasan kenapa pak Prabu memasukkan ini menjadi proker adalah, agar air sungai dapat di alirkan ke Sinden ini, sehingga warga tidak perlu lagi jauh-jauh mengambil air ke sungai yang tanahnya terjal, namun, seperti ada yang ganjil

Malam itu, Ayu mengumpulkan semua anak, perihal masalah yang mereka hadapi, hampir setengah warga yang membantu proker mereka tidak mau melanjutkan pekerjaanya. alasanya bermacam-macam, sibuk berkebun sampai badanya sakit semua.

dari semua anak yang punya usul, hanya Bima yang tidak seantusias yang lain.



di malam itu juga, Widya ingat yang di katakan Wahyu, setiap malam, Bima pergi keluar rumah, entah apa yang di lakukanya.



Widya, sengaja begadang hanya untuk memastikan, dan ternyata benar, malam itu

Bima pergi keluar rumah.

Widya masuk ke kamar Bima, disana ada Wahyu sama Anto, yang pertama Widya lakukan, membangunkan Wahyu, meski enggan, Widya terus memaksanya, setelah Wahyu benar-benar terjaga, Widya memberitahu kalau Bima baru saja keluar.



Wahyu hanya menatap Widya keheranan,

"aku lak wes tau ngomong su" (aku kan sudah pernah bilang jing)



"lha ya, ayo di tutno, nang ndi arek iku" (lha iya, makanya, ayo kita ikuti, kemana anak itu)



"gawe opo? paling nang omahe prabu, ndandani tong bambu'ne" (buat apa, palingan dia ke rumah prabu, memperbaiki tong-

sampahnya yang dari bambu)



"yo wes mboh" (ya sudah terserah)



Widya keluar dari kamar itu, kemudian ia pergi menyusul Bima, sendirian.

Bima itu anak cowok yang paling religius, sama kaya Nur, karena mereka memang sudah dekat di kampus. tapi, Anton sering cerita, kalau kadang, dia memergoki Bima Onani di dalam kamar, dan itu tidak sekali dua kali, masalahnya adalah, saat Bima melakukan itu, ada suara perempuan

Widya tidak terima Bima di katain itu oleh Anton, Widya pun bertanya darimana dia tahu Bima onani?



"heh, mbok pikir aku ra eroh wong onani iku yo opo?" (kamu pikir saya gak tau bagaimana cowok onani?)



Widya masih diam, mendengarkan penjelasan Anton.

"sing dadi masalahe iku guk Bima Onani" "kabeh lanangan pasti tahu onani, aku gak munafik, masalahe, onok suara wedok'e,??"



(yang jadi masalahnya itu bukan Bima onani, semua cowok pasti pernah, aku gak munafik, masalahnya, ada suara perempuanya.??)

"pas tak enteni, sopo arek iku, nek gak awakmu, pasti Ayu nek gak Nur, tapi, ra onok sopo sopo sing nang kamar ambek cah kui" (ketika ku tunggu, siapa perempuan itu, ku kira itu kamu, kalau gak ayu atau nur, ternyata, tidak ada siapa-siapa di dalam kamar sama dia)

"trus" tanya Widya.



"suoro sopo sing tak rungokno lek ngunu?" (suara siapa dong yang ku dengar waktu itu)



"masalahe, aku wes sering krungu, mesti, onok suoro iku" (masalahnya, aku sudah sering dan selalu dengar suara itu)

cerita Anton membuat pandangan Widya berubah, dan malam itu, ia melihat Bima berjalan jauh ke timur, arah menuju sebuah tempat yang seringkali membuat Widya merinding tiap memandangnya.



Tipak Talas.

TIPAK TALAS



Widya melihat Tipak talas seperti sebuah lorong panjang hanya saja, dindingnya adalah pepohonan besar dengan akar di sana-sini, selain medan tanahnya yang menanjak, di depan Tipak talas, ada gapura kecil, lengkap dengan kain merah dan hitam di sekelilingnya.

pak Prabu pernah bercerita, kain hitam adalah nama adat untuk sebuah penanda seperti di pemakaman, namun bukankah warna cerah lebih baik untuk menjadi sebuah penanda, sebelum Widya tahu kebenaran dari warga yang bercerita, bahwa hitam yang di maksud adalah simbol alam lain.

hitam bukan untuk yang hidup, melainkan untuk tanda bagi mereka yang sudah mati. MATI



lalu, apa maksud penanda warna merah?



konon, dari seluruh tempat yang di beri penanda sebuah kain di desa ini, hanya gapura ini yang di beri kain warna merah, apalagi bila bukan simbol petaka

Widya mulai melangkah naik, kakinya tidak berhenti mencari pijakan antara akar dan batu, sembari tanganya mencari sesuatu yg bisa menahan berat tubuhnya



Malam sangat dingin, dingin sekali. hanya kabut di tengah kegelapan yg bisa Widya lihat, butuh perjuangan keras untuk sampai

ketika Widya sampai di puncak Tapak tilas, Widya hanya melihat satu jalan setapak, kelihatanya tidak terlalu curam, namun rupanya butuh ekstra perjuangan juga, disana, Widya merasakanya, perasaan yang tidak enak dari tempat ini, semakin kentara, hal itu, membuat Widya merinding.

jalan setapak itu tidak terlalu besar, di kanan-kiri di tumbuhi rumput dan tumbuhan yang tingginya hampir sebahu Widya, dari sela tumbuhan dan rumput, Widya bisa melihat hutan yang benar-benar hutan, pohon menjulang tinggi dengan tumbuh2an disekitarnya yang tidak tersentuh.

sangat mudah mengikuti Bima, karena hanya tinggal mengikuti jalan setapak, namun, setiap kali Widya berjalan, selalu saja, dari balik semak atau rerumputan, seperti ada yang bergerak-gerak, kadang ketika Widya mencoba memandangnya, suara itu lenyap begitu saja.

Tanahnya keras, dan lembab. namun Widya terus menembus jalanan itu, semakin lama semakin dingin, dan sudah beberapa kali Widya berhenti untuk menghela nafas panjang.



jalanan ini, sepeti tidak berujung, namun, bila kembali, Widya tidak akan tahu apa yang dikerjakan Bima disini.

hal yang cukup di sesali Widya hanya satu, ia hanya mengenakan sandal selop, memang, apa yang Widya lakukan malam ini, spontan karena penasaran, tanpa persiapan, tanpa teman, dan sesal itu, kian bertambah saat Widya mulai mendengar gending.



ya. suara yang familiar,

nada yang dimainkan adalah kidung yang Widya dengar saat ia berada di bilik mandi, bersama Nur, sedangkan alunan gamelan yang dimainkan adalah alunan yang sama saat Widya mencuri pandang pada penari yang menari di malam dia bersama Wahyu.



bukanya lari, Widya semakin menjadi-jadi

semakin jauh, suaranya semakin jelas, dan semakin jelas suaranya, semakin ramai bahwa disana, Widya tidak sendirian.



namun, yang Widya temui, adalah ujung Tipak talas, yaitu, sebuah tumbuhan yang di tanam tepat di jalan setapak.



tumbuhan itu, adalah tumbuhan beluntas.

tumbuhanya kecil, tapi rimbun, samping kiri kanan, sudah gak bisa di lewati, kecuali bila membawa parang, dan tentu saja butuh waktu yang lama untuk membabat semak belukar, namun, wangi tumbuhan beluntas seharusnya langu, namun yang ini, wanginya seperti aroma melati,

seperti tidak sadar, Widya sudah mengunyah daun itu, dan terus mengunyah, Widya baru sadar saat tenggorokanya tersayat batang beluntas yang tajam, dan di balik tumbuhan itu, Widya melihat jalan menurun, pantas saja, ia hanya bisa melihat ujung jalan setapak berhenti disini.

jadi, jalan menurunya di tutup oleh banyak sekali tumbuhan beluntas, saat Widya menuruninya, ia sampai harus berdarah-darah meraih tanaman beluntas yang di lilit tali puteri.



di bawahnya, dia melihat Sanggar yang di ceritakan Ayu dulu, dan sanggarnya benar-benar berantakan.

ada 4 pilar kayu jati yang di pangkas segi 4, memanjang ke atas dengan atap mengerucut, dari jauh terlihat seperti bangunan balai desa, namun lebih besar dengan lantai panggung.



disana, suara gamelan terdengar jelas sekali, seperti sumber suara gamelan itu ada di bangunan ini.

saat Widya mendekatinya, meski ragu, ia merasa kehadiranya tidak sendirian, ramai, seperti tempat ini penuh sesak, namun, tidak ada siapapun disana, hanya dia sendiri, yang berjalan mendekati



tepat ketika Widya menginjak anak tangga pertama, suara gamelan, berhenti, sunyi senyap

hening sekali.



keheningan itu benar-benar menganggu Widya, kehadiranya seperti tidak di terima disini.



namun Widya memaksa untuk tetap melihat, dan saat itu, Widya mendengar seseorang menangis, suaranya familiar, seperti suara orang yang ia kenal.



Ayu.

Widya baru mengingat sesuatu yang paling ganjil selama KKN disini, Ayu.



Ayu tidak pernah sekalipun cerita apapun tentang desa ini, sesuatu yang ganjil yang menganggunya, sebaliknya, Ayu menentang semua yang tidak masuk akal di desa ini,

namun di malam ketika mereka berdebad mendengar suara gamelan, Ayu pasti berbohong, Ayu sebenarnya juga tahu dan mendengarnya secara langsung, Ayu lebih tahu tentang semua ini, jauh di atas yang lain, termasuk, apa yang Bima lakukan selama ini.

seperti menangkap angin, ada suara tangisanya, namun tak ada wujud dimanapun Widya mencari, tetapi, tempat sesunyi dan sesepi itu, masih terasa ramai bagi Widya, seperti ia di tatap dari berbagai sudut.



Widya melihat dari jauh, di bawah sanggar, ada sebuah gubuk, berpintu.

Widya mendekatinya, namun enggan membukanya, ia mengelilingi gubuk itu, dari dalam gubuk, terdengar suara Bima, di ikuti suara perempuan mendesah, sangat jelas, namun Widya tidak bisa melihat apa yang ada di dalam sana.



leher Widya perlahan semakin berat, dan berat.

saat Widya masih bersusah payah mencari cara untuk melihat, nasib baik, Widya menemukan beberapa celah kecil untuk mengintip, darisana Widya menyaksikanya langsung, Bima, sedang berendam di Sinden (Kolam) di sekitarnya, ia di kelilingi banyak sekali ular besar.

melihat itu Widya kaget, dan parahnya, Bima menatap lurus ke tempat Widya mengintip, semua ularnya sama, seperti yang Widya rasakan, mereka tahu, ada tamu tak di undang.



melihat reaksi seperti itu, Widya berbalik dan lari pergi.

saat lari itulah, suara tabuhan gong di ikuti suara kendang, terdengar lagi, suara gamelan itu, terdengar keras, lengkap dengan suara tertawa yang bersahut-sahutan, dan Widya melihat Sanggar kosong itu, di penuhi semua yang tidak Widya lihat saat tiba di tempat ini.

dari ujung ke ujung, penuh sesak, banyak sekali yang dilihat Widya, ada yang melotot, dari yang wajahnya separoh, sampe yang tidak punya wajah.



dari yang pendek, sampai yang tingginya setinggi pohon beringin. mereka memenuhi Sanggar dan sekitarnya, Widya mulai menangis.

suara yang nyaris memenuhi telinga Widya dan hampir membuatnya gila itu tiba-tiba berhenti.



Widya melihat, di depanya, ada yang sedang menari, tarianya hampir membuat semua yang ada disana melihatnya.



disana, Widya menyadari, yang menari itu Ayu,

matanya Ayu sembab, seperti sudah menangis lama, tapi gelagat ekspresi wajahnya seperti menyuruh Widya lari, lari, tanpa tahu apa yang terjadi, Widya langsung lari, melewati kerumunan yang sedang melihat Ayu menari di sanggar.



Widya memanjat tempat itu, menangis sejadi-jadinya.

sampai di jalan setapak, Widya dengar anjing menggonggong, tidak beberapa lama, anjing hitam keluar dari semak belukar, setelah melihat Widya, anjing itu lari, Widya mengikuti anjing itu.



Widya keluar dari jalan setapak itu, ketika subuh, terlihat dari langit yang kebiruan.

tapi rupanya, Widya salah.



seorang warga desa, kaget bukan main melihat Widya, dia langsung lari sambil berteriak memanggil warga kampung.



"Widya nang kene, iki Widya wes balik" (Widya disini, anaknya sudah kembali)



bingung, hampir warga berhamburan memeluk Widya.

"mrene ndok, mrene, awakmu sing sabar yo, awakmu kudu siap yo ambek berita iki" (kesini nak, kesini, kamu yang sabar ya, kamu harus siap sama berita yang nanti kamu dengar) seorang ibu, memeluk Widya, di matanya ia seperti menahan nangis, Widya hanya gaguk, diam, tidak mengerti.

si ibuk menggandeng Widya, Widya masih diam, seperti orang linglung, di jalan ramai warga desa yang mengikuti Widya, Widya mencuri dengar dari mereka yang bicara di belakang.



"wes di goleki sampe Alas D......... jebule, maghrib kaet ketemu arek iki, aku wes mikir elek"

(sudah di cari sampai ujung ........... gak taunya baru ketemu maghrib anak ini, aku sudah mikir buruk)



sehari semalam, Widya rupanya sudah menghilang.

ketika Widya melihat rumah penginapan mereka, Widya melihat banyak sekali orang berkumpul disana, dan saat mata mereka melihat Widya, semuanya hampir tercengang tidak habis pikir. seperti melihat hantu, lalu, terlihat dari dalam, pak Prabu keluar, wajahnya, mengeras melihat Widya

mata pak Prabu mendelik, melihat Widya. "tekan ndi ndok?" (darimana kamu nak)



Widya tidak menjawab apa yang pak Prabu tanyakan, si ibuk juga menenangkan pak Prabu agar tenang, sembari menggiring Widya masuk ke rumah, Widya mendengar Nur menjerit, menangis, seperti kesetanan.

saat Widya masuk dan melihat apa yang terjadi, Widya melihat ruangan itu di penuhi orang yang duduk bersila, mereka mengelilingi 2 orang yang terbujur, tubuhnya di tutup selendang, di ikat dengan tali putih, menyerupai kafan, Wahyu dan Anto menatap kaget saat Widya masuk.

"Wid, tekan ndi awakmu?" (darimana kamu Wid?) ucap Nur yang langsung memeluk Widya.



"onok opo iki Nur?" (ada Apa ini Nur)



Nur menutup mulutnya, tidak tau harus memulai darimana, sampai Wahyu berdiri, "Ayu Wid, Nur lihat Ayu, tiba-tiba terbujur kaku, matanya tidak bisa di tutup"

Widya mendekati Ayu, di sampingnya ada Bima, ia terus menerus menendang-nendang dalam posisi terikat itu, layaknya seseorang yang terserang epilepsi, matanya kosong melihat langit-langit, mereka berdua terbaring tidak berdaya, sontak Widya ikut menjerit sebelum ada yg menenangkan

dari Pawon, mbah Buyut keluar, ia melihat Widya kemudian memanggilnya.



"sini ndok, Mbah jek tas gawe kopi" (sini nak, si mbah baru saja selesai membuat kopi)



mbah Buyut, duduk di kursi kayu yang ada di pawon, ia melihat Widya lama, kemudian mengatakanya. "Koncomu wes kelewatan"

"Pripun mbah?" (bagaimana mbah?)



"yo opo rasane di kerubungi demit sa'alas?" (bagaimana rasanya di kelilingi makhluk halus satu hutan?)



Mbah Buyut masih mengaduk kopinya, memandang Widya yang tampak mulai kembali kesadaranya, "nyoh, di ombe sek" (nih, di minum dulu)

Widya menyesap kopi dari mbah Buyut, tiba-tiba rasa pahit yang monohok membuat tenggorokan Widya seperti di cekik, membuat Widya memuntahkanya, begitu banyak muntahan air liur Widya yang keluar, ia melihat mbah Buyut yang tampak mengangguk. seperti memastikan.

"koncomu, ngelakoni larangan sing abot, larangan sing gak lumrah gawe menungso opo maneh bangsa demit" (temanmu, melakukan pantangan yang tidak bisa di terima manusia, apalagi bangsa halus) kata mbah Buyut sembari geleng kepala.



"paham ndok" (paham nak)



Widya mengangguk.

"Sinden sing di garap, iku ngunu, Sinden kembar, siji nang cidek kali, siji'ne nang enggon sing mok parani wingi bengi" (Sinden yang kamu kerjakan, itu kembar, satu di dekat sungai, satu yang kemarin malam kamu datangi)



"eroh opo iku sinden?" (tahu kegunaan Sinden?)

"mboten mbah" (tidak tahu mbah)



"Sinden ku, enggon adus'e poro penari sak durunge tampil. nah, Sinden sing cidek kali, gak popo di garap, tapi, sinden sing sijine, ra oleh di parani, opo maneh sampe di gawe kelon"

(Sinden itu tempat mandinya para penari sebelum tampil, nah, sinden yang di dekat sungai tidak apa-apa di kerjakan, tapi, sinden yang satunya, tidak boleh di datangi, apalagi di pakai kawin)

"Widya ngerti, sopo sing gok Sinden iku?" (Widya tahu siapa yang ada di sinden itu)



Widya diam lama, sebelum mengatakanya. "Ular mbah"



"nggih. betul" "sing mok delok iku, ulo-anak'e Bima karo" (yg kamu lihat itu, adalah anaknya Bima sama)



"Ular itu mbah"



mbah buyut mengangguk

"iku ngunu, mbah sing kecolongan, Widya mek di dadekno Awu awu, ben si mbah ngawasi Widya, tapi mbah salah, koncomu iku sing ket awal wes di incer karo" (itu, mbah yang kecolongan, Widya cuam di jadikan pengalih perhatian, biar si mbah ngawasi kamu, tapi mbah salah, dari awal,

yang di incar sama)



mbah Buyut diam lama, seperti tidak mau menyebut nama makhluk itu. "



"ngantos, yo nopo mbah, Ayu kale bima saget mbalik?" (lalu bagaimana mbah, apa Ayu sama Bima bisa kembali?)



"isok isok" kata mbah Buyut, "sampe balak'e di angkat"

"balak'e di angkat mbah" (bencananya di angkat) kata Widya, bingung.



"Bima ambek Ayu wes kelewatan, sak iki, kudu nanggung opo sing di lakoni" (Bima sama Ayu sudah kelewatan, sekarang, dia harus menanggung apa yang dia perbuat)



"Ayu sak iki, kudu nari, keliling Alas iki)

(Ayu sekarang harus menari mengelilingi Hutan ini)



"sak angkule nari, sadalan-sadalan" (tampil, menari, di setiap jengkal tanah ini)



"Bima mbah?"



"Bima, yo kudu ngawini sing nduwe Sinden" (Bima ya harus mengawini yang punya Sinden)



"Badarawuhi mbah"



Mbah buyut kaget.

"oh ngunu" (oh begitu) "wes eroh jeneng'e" (sudah tahu namanya)



"Badarawuhi, iku salah sijine sing jogo wilayah iki, tugas Badarawuhi iku nari, dadi bangsa lelembut iku yo seneng ndelok Badarawuhi iki nari, nah, sak iki, Ayu kudu nanggung tugas Badarawuhi nari"

(Badarawuhi itu salah satunya yang jaga di wilayah ini, tugasnya ya menari, jadi bangsa lelembut suka melihat tarian dari Badarawuhi, sekarang, Ayu harus menggantikanya)



"Bima, kudu ngawini Badarawuhi, anak'e iku wujud'e ulo, sekali ngelahirno, isok lahir ewonan ulo"

(Bima harus mengawini Badarawuhi, anaknya itu berwujud ular, sekali melahirkan, bisa lahir ribuan ular)



"salah kancamu, wes ngelakoni hal gendeng nang kunu, dadi kudu nanggung akibate" (salah temanmu sendiri, jadi sekarang mereka harus tanggung jawab)

"Badarawuhi iku ngunu ratune ulo, bangsa lelembut sing titisan aji sapto, balak'e ra isok di tolak opo maneh di mendalno, mene isuk, tak coba'e ngomong apik-apik'an, wedihku, koncomu ra isok balek orep2"

(Badarawuhi itu ratunya ular, bangsa lelembut yang sudah tak terbendung, kutukanya, gak bisa di tolak apalagi sampai di buang, besok pagi, biar tak coba ngomong baik-baik, takutnya, temanmu tidak bisa kembali hidup2)

mbah buyut pergi, Nur, Wahyu dan Anton melihat Widya sendirian di pawon, duduk, sembari termenung.



"Goblok!! Bima karo Ayu asu!! kakean ngent.t!!" (bodoh!! Bima sama Ayu itu Anj.ng!! kebanyakan ngent.t)



kaimat itu, yang mereka semua pikirkan malam itu.

meski yang di ucapkan Wahyu itu kasar, namun tidak ada yang keberatan dengan semua itu, terlebih, masalah ini sudah sampai ke pihak kampus, bahkan ke keluarga Bima dan Ayu.

pak Prabu menceritakan bahwa kronologi kejadian ini sudah tidak bisa mereka bendung, KKN yang menjadi tanggung jawab beliau, harus sampai, ke semua orang yang terlibat, meski awanya Nur mencoba memohon agar masalah ini jangan sampai keluar dulu, namun, hilangnya Widya, membuat

Pak Prabu akhirnya menyerah dan memilih melaporkanya.

lalu apa yang terjadi sama Ayu dan Bima?



Pagi itu, serombongan mobil datang, mereka adalah keluarga sekaligus panitia KKN yang sudah mendengar semua ceritanya dari pak Prabu.



Ayu masih terbaring, matanya melotot, namun tubuhnya masih seperti orang lumpuh.



Bima, masih kejang2

well ada yang mau lihat foto mereka?

maaf maaf, Aib!!



soal mobil, gw gak paham. intinya mereka di jemput paksa, KKN mereka di coret, gw bakal lanjutin akhir ceritanya saja ya, sama yang bersangkutan. di selesaiin saja malam ini, biar gw bisa fokus kerja. lagi. tapi serius pengen lihat foto mereka?

gw cuma moto dari hape, karena fotonya di cetak di art paper, dan gw cuma bisa bilang, Bima sama Ayu, cantik dan ganteng memang. karena itu gw berani gambarin fisiknya si Bima.

gw lanjut ya

sebenarnya, proses penjemputan gak semudah yang bakal gw tulis, karena pihak keluarga Bima maupun Ayu, marah besar, mereka tidak terima anaknya di bikin seperti ini.



bahkan pihak kampus juga kena, karena kasusnya benar-benar hampir di bawa ke media nasional,

Widya, Nur sampai harus mohon agar Ayu dan Bima di biarkan tetap tinggal disini, yang konon kata Mbah Buyut bisa saja balaknya di ambil sewaktu waktu, namun, dari pihak keluarga Ayu dan Bima, tidak mau lagi, mereka tetap membawa Ayu dan Bima, hasilnya?

Ayu hanya bisa tidur dengan mata terbuka terus menerus, Widya pernah di ceritain oleh ibunya, bahwa kadang, ia melihat mata Ayu meneteskan air mata, tapi, setiap di tanya, dia hanya diam, tak menjawab, Ayu akhirnya meninggal setelah 3 bulan di rawat. abangnya, merasa bersalah

sampai hampir mau mengamuk di desa itu, namun, pak Prabu pun sama, seharusnya sejak awal, saat Ayu memohon di ijinkan KKN disana, ia tegas menolak, alasanya, memang tempat itu tidak baik untuk di tinggali mereka yang masih bau kencur.

Bima??



bagaimana?? meninggal juga, Malam sebelum dia meninggal, Bima teriak minta tolong, tapi ketika ditanya, kenapa dan minta tolong apa?



Bima berteriak ular, ular, ular, ia meninggal lebih dulu dari Ayu, tubuhnya di kebumikan, orang tuanya awalnya masih mau memperpanjang-

masalah ini sama pihak kampus, tapi akhirnya di cabut, dengan catatan, KKN tidak lagi di adakan di timur jawa lagi, sejak saat itu, kampus ini, hanya memperbolehkan KKN ke arah barat, tidak lagi timur, apalagi Desa yang jauh.

ada hal yang bikin gw radak susah gambarin adalah, narasumber (Widya) disamarkan, setiap beliau bercerita, beliau hanya menceritakan intinya, dan gw harus ngatur ulang ceritanya agar nyambung, terlepas dari itu, gw inget, tiap dia cerita, tanganya gugup, seperti -

tidak mau mengulang peristiwa itu. apapun itu, gw berharap cerita ini mengandung hikmah bagi kalian yang membacanya,



untuk peserta KKN nya pun sebenarnya bukan 6 orang, tapi 14 orang, gw perpendek untuk mempersingkat cerita beliau yang saling berkaitan satu sama lain

untuk kesalahan, pengetikan, dan bikin kentangnya, gw mohon maaf sebesar-besarnya.



memang benar, manusia itu merasa besar, padahal sesungguhnya ada kebesaran lain yang membuat manusia gak ada apa-apanya di balik kalimat kecil, dimanapun kalian berada, junjung tata krama-

saling menghormati, saling menjaga satu sama lain, dan senantiasa bersikap layaknya manusia yang beradab.

(Bersambung)

Download Wallpaper