CERBUNG: KKN Horor Versi Lengkap Widya (Part 1)

CERBUNG: KKN Horor Versi Lengkap Widya (Part 1)

Cerita Horor KKN di Desa Penari Versi Widya Bagian 1

Dari semua wajah antusias itu di kampus, terlihat satu orang tampak menyendiri.

Widya, begitu anak-anak lain memanggilnya

ia tampak begitu gugup, menyepi, menyendiri, sampai panggilan telepon itu membuyarkan lamunanya.

"aku wes oleh nggon KKN 'e" (aku sudah dapat tempat untuk KKN) kata di ujung telpon.

wajah muram itu, berubah menjadi senyuman penuh harap

"nang ndi?" (dimana?)

"nang kota B, gok deso kabupaten K...li.. , akeh proker, tak jamin, nggone cocok gawe KKN" (di kota B, disebuah desa di kabupaten K......., banyak proker untuk di kerjakan, tempatnya cocok untuk KKN kita)

saat itu juga, Widya segera mengajukan prop KKN

semua persyaratan sudah terpenuhi, kecuali kelengkapan anggota dalam setiap kelompok minimal harus melibatkan 2 fakultas berbeda pun dengan anggota minimal 6 orang.

"tenang" kata Ayu, perempuan yang tempo hari memberi kabar tempat KKN yang ia observasi bersama abangnya.

benar saja, tidak beberapa lama, muncul Bima dengan Nur, ia menyampaikan, kelengkapan anggota 6 orang yang melibatkan 2 fakultas sudah di setujui.

"sopo sing gabung Nur?" (siapa yang sudah gabung Nur?) tanya Ayu,

"temenku. kating, 2 angkatan di atas kita, satunya lagi, temanya"

lega sudah. batin Widya.

surat keputusan KKN sudah disetujui semuanya, terdiri dari 2 fakultas dengan proker kelompok dan individu, untuk pengabdian di masyarakat yang akan di adakan kurang lebih sekitar 6 minggu.

hanya tinggal menunggu, pembekalan sebelum keberangkatan.

jauh hari sebelum malam pembekalan, Widya berpamitan kepada orangtuanya tentang progress KKN yang wajib ia tempuh, keika orangtua Widya bertanya kemana Projek KKN mereka, terlihat wajah tidak suka dari raut ibunya.

"gak onok nggon liyo, lapo kudu gok Kota B," (apa gak ada tempat

-lain, kenapa harus kota B) wajah ibunya menegang. "nggok kunu nggone Alas tok, ra umum di nggoni gawe menungso" (disana tempatnya bukanya hutan semua, tidak bagus ditinggali oleh manusia)

namun setelah Widya menejelaskan, bahwa sebelumnya sudah dilakukan observasi,-

wajah ibunya melunak.

"Perasaane ibuk gak enak, opo gak isok di undur setahun maneh" (perasaan ibu gak enak, apa tidak bisa di undur satu tahun lagi)

Widya enggan melakukanya, maka, meski berat, kedua orangtuanya pun terpaksa menyetujuinya.

hari pembekalan sebelum keberangkatan.

Widya, Ayu, Bima dan Nur, matanya melihat ke sekeliling, khawatir, 2 orang yang seharusnya ikut pembekalan belum juga terlihat batang hidungnya, sampai, menjelang siang, 2 orang muncul, menyapa dan memperkenalkan dirinya di depan mereka.

Wahyu dan Anton.

setelah basa basi, bertanya seputar rencana KKN dari A sampai Z selesai, mereka akhirnya berangkat.

"Numpak opo dik kene??" (naik apa kita nanti?) kata Wahyu.

"Elf mas" jawab Nur.

"sampe deso'ne numpak Elf dik?" (sampai desanya naik mobil Elf dik?)

"mboten mas. berhenti di jalur Alas D engken enten sing jemput" (tidak mas, nanti berhenti di jalur hutan D, nanti ada yang jemput) sahut Nur.

mendengar itu, Widya bertanya ke Ayu. "Yu, Deso'ne ra isok di liwati Mobil ta?" (Yu, apa desanya gak bisa di masuki mobil"

Ayu hanya menggelengkan kepala. "ra isok, tapi cedek kok tekan dalan gede, 45 menit palingan" (gak bisa, tapi dekat kok dari jalan besar, 45 menit kemungkinan)

disinilah. cerita ini di mulai.

sesuai apa yang Nur katakan. Mobil berhenti di jalur masuk hutan D, menempuh perjalanan 4 sampai 5 jam dari kota S, tanpa terasa hari sudah mulai petang, di tambah area dekat dengan hutan, membuat pandangan mata terbatas, belum sampai disana, gerimis mulai turun. lengkap sudah.

setelah menunggu hampir setengah jam, terlihat dari jauh, cahaya mendekat, Nur dan Ayu langsung mengatakan bahwa mereka yang akan mengantar.

rupanya, yang mengantar adalah 6 lelaki paruh baya, dengan motor butut.

"cuk. sepedaan tah" kata Wahyu, spontan, saat itu ada yang aneh

entah disengaja atau tidak, ucapan yang di anggap biasa di kota S, di tanggapi lain oleh lelaki-lelaki itu, wajahnya tampak tidak suka, dan sinis tajam melihat wahyu.

hanya saja, yang memperhatikan semua sedetail itu, hanya Widya seorang. apapun itu, semoga bukan hal yang buruk.

ditengah gerimis, jalanan berlumpur, pohon di samping kanan kiri, mereka tempuh dengan suara motor yang seperti sudah mau ngadat saja, ditambah medan tanah naik turun, membuat Widya berpikir kembali



sudah hampir satu jam lebih, tapi motor masih berjalan lebih jauh ke dalam hutan

khawatir bahwa yang di maksud Ayu, setengah jam lewat 15 menit adalah setengah hari, Widya mulai berharap semua ini cepat selesai.



di tengah perjalanan, tidak satupun dari pengendara motor itu yang mengajaknya bicara, aneh. apa semua warga disana pendiam semua.

Malam semakin gelap, dan hutan semakin sunyi sepi, namun, kata orang, dimana sunyi dan sepi di temui, disana, rahasia di jaga rapat-rapat.



kini, rasa menyesal sempat terpikir di pikiran Widya, apakah ia siap, menghabiskan 6 minggu ke depan, di sebuah Desa, jauh di dalam hutan.

ketika suara motor memecah suara rintik gerimis, dari jauh, sayup-sayup, terdengar sebuah suara.



suara familiar, dengan tabuhan kendang dan gong, di ikuti suara kenong, kompyang, mebaur menjadi alunan suara gamelan.



apa ada yang sedang mengadakan hajatan di dekat sini.

dan ketika sayup-sayup suara itu perlahan menghilang, terlihat gapura kayu, menyambut mereka.



sampailah mereka di Desa W...., tempat mereka akan mengabdikan diri selama 6 minggu ke depan.

"Monggo" (permisi) kata lelaki itu, sebelum meninggalkan Widya dengan motornya.



"mrene rek" teriak Ayu, di sampingnya berdiri seorang pria, wajahnya tenang, dengan kumis tebal, mengenakan kemeja batik khas ketimuran, ia berdiri seolah sudah menunggu sedari tadi.

"kenalno, niki pak Prabu. kepala Desanya. koncone mas'ku. pak Prabu, niki rencang kulo yang dari Kota S, mau melaksanakan kegiatan KKN di kampung panjenengan" (Kenalkan, ini pak Prabu, kepala Desa teman kakakku, pak Prabu, ini teman saya yang dari kota, yang rencananya mau KKN"

pak Prabu memperkenalkan diri, bercerita tentang sejarah desanya, di tengah ia bercerita, Widya pun bertanya kenapa desanya harus sepelosok ini, dengan tawa sumringah, pak Prabu menjawab.



"pelosok yok nopo toh mbak, Jarak ke dalan gede cuma setengah jam kok"

(pelosok bagaimana-

maksudnya mbak, bukanya jarak ke jalan besar hanya 30 menit)



tatapan bingung Widya, disambut tatapan bertanya oleh semua temanya, seolah pertanyaanya kok membingungkan.



"mbak'e paling pegel, wes, tak anter nang ndi sedoyo bakal tinggal" (mbaknya mungkin capek, jadi, mari, tak-

antar ke tempat dimana nanti kalian tinggal)



di tengah kebingungan itu, Ayu menegur Widya. "maksudmu opo to Wid, takon koyok ngunu? garai sungkan ae" (maksudnya bagaimana tah Wid, kok kamu tanya seperti itu, buat saya sungkan saja kamu)



di situ, Widya menyadari, ada yang salah.

tempat menginap untuk laki-laki adalah rumah gubuk yang dulunya seringkali dipakai untuk posyandu, tapi sudah di rubah sedemikian rupa, meski beralaskan tanah, tapi di dalamnya sudah ada bayang (Ranjang tidur) beralasakan tikar.



sedangkan untuk perempuan, menginap di salah satu-

rumah warga.



di dalam kamar, Widya pun bertanya, maksud ucapanya kepada pak Prabu, karena sepanjang perjalanan, bila di rasakan oleh Widya sendiri, itu lebih dari satu jam, Ayu membantah bahwa lama perjalanan tidak sampai selama itu, anehnya, Nur memilih tidak ikut berdebad.

Nur, lebih memilih untuk diam.

"ngene, awakmu krungu ora, nang dalan alas mau, onok suara gamelan?" (gini, kamu dengar apa tidak , di jalan tadi, ada suara orang memainkan gamelan?)



"yo paling onok hajatan lah, opo maneh" (ya palingan ada warga yang mengadakan hajatan, apalagi)



berbeda dengan Ayu,-

Nur, menatap Widya dengan ngeri.



sembari berbicara lirih, Nur yang seharusnya paling ceria di antara mereka berkata. "Mbak, ra onok Deso maneh nang kene, gak mungkin nek onok hajatan, nek jare wong biyen, krungu gamelan nang nggon kene, iku pertanda elek"

(Mbak, tidak mungkin ada desa lain disini, tidak mungkin ada acara di dekat sini, kalau kata orang jaman dulu, kalau dengar suara gamelan, itu pertanda buruk)

mendengar itu, Ayu tersulut dan langsung menuding Nur sudah ngomong yang tidak-tidak.



"Nur, ra usah ngomong aneh-aneh kui, awakmu yo melok observasi nang kene ambek aku, mosok gorong sedino wes ngomong ra masuk akal ngunu" (Nur, jangan ngomong sembarangan kamu-

bukanya kamu ikut observasi di kampung ini sama aku, belum sehari kamu sudah ngomong ha; yang gak masuk akal begini)



Ayu pergi, meninggalkan Widya dengan Nur.



saat itu, Nur mengatakanya. "Mbak, aku yo krungu suara gamelan iku" (Mbak, aku juga dengar suara gamelan itu) katanya.

"masalahe mbak, aku yo ndelok onok penari'ne nang dalan mau" (masalahnya, aku juga lihat ada yang menari di jalan tadi)



"Astaghfirullah" kata Widya tidak percaya.



Nur menatap nanar Widya, air matanya sudah seperti memaksa keluar, Widya hanya memeluk dan mencoba menenangkanya.

benar kata ibunya tempo hari.



"Banyu semilir mlayu nang etan," (air selalu mengalir ke arah timur) yang memiliki makna, bahwa timur adalah tempat dimana semua di kumpulkan menjadi satu, antara yang buruk dan yang paling buruk, dan kini, Widya harus tinggal di hutan paling timur

Cerita tentang Nur dan Widya tentang suara gamelan di sepanjang perjalanan tadi, masih awalnya saja, ibarat sebuah kopi masih sampai di rasa yang paling manis, belum sampai di rasa yang paling pahit.

Widya memang percaya terhadap hal-hal yang ghaib, itu ada di dalam ajaran agamanya, namun baru kali ini ia merasakan langsung pengalaman itu, meski hanya sekedar suara, berbeda dengan Nur, temanya, ia mengaku melihat yang tidak seharusnya ia lihat.



mungkin Nur lebih sensitif.

memang, sejak awal, Nur yang paling berbeda di antara yang lain, hanya dia seorang yang mengenakan jilbab, dibandingkan dengan Ayu dan dirinya sendiri, Nur yang paling religius, karena setahu Widya sendiri, Nur jebolan pondok pesantren ternama di kota "J".

terlepas dari itu semua, pengalaman KKN ini, tidak akan pernah di lupakan oleh semua rombongan ini.

"Nur," kata Widya masih menenangkan "Nur bisa ndak, cerita ini ojok sampe nyebar yo gok arek2, kan gak enak, nek sampe kerungu ambi warga deso, opo maneh kita disini iku tamu, insyaallah, kabeh lancar, nggih"



(Nur, bisa gak cerita ini jangan sampai menyebar ke teman-teman)

(kan jadi gak enak, kalau sampai warga desa dengar, apalagi kita disini itu sebagai tamu, insyaallah, semua akan baik-baik saja. ya)



Nur mengangguk, meski enggan menjawab kalimat Widya, dan malam itu, tanpa terasa di lewati begitu saja.

keesokan harinya, rombongan sudah berkumpul, sesuai janji pak Prabu, hari ini, akan keliling desa, melihat semua proker yang sudah di ajukan oleh Ayu tempo hari, sekaligus, meminta saran untuk Proker individu yang harus di kerjakan oleh satu anak sendiri-sendiri.

"ngene iki, walaupun saya tinggal nang kene, aku yo pernah kuliah loh dek, sarjana lagi" kata pak Prabu, bahasanya medok, campur-campur antara bahasa jawa dan bahasa indonesia,



mendengar itu, Wahyu menimpali. "iku lo, rungokno bapak'e, walaupun wong deso, gak lali kuliah"

(itu loh, dengarkan bapaknya, walaupun rumahnya di desa, tidak lupa kuliah)



Wahyu melanjutkan. "bapake ambil apa dulu? perhutanan ya?"



"bukan" kata beliau santai. "pertanian"



"Lah ra onok sawah nang kene, piye toh pak" (lah, disini gak ada sawah, gimana sih pak?)

"ya, memangnya sampeyan pikir hanya karena ambil pertanian harus terjun ke sawah"



jawaban pak Prabu sontak membuat tawa pecah, Widya melirik Nur, dia sudah bisa ceria lagi, melupakan sejenak kejadian semalam.



sampailah, mereka di pemberhentian pertama. sebuah pemakaman desa.

aneh.



itu yang pertama kali di pikirkan Widya, atau mungkin serombongan orang. di setiap Nisan, di tutup oleh kain hitam.



pemakamanya sendiri, di kelilingi pohon beringin, dan di setiap pohon beringin, ada batu besar di sampingnya, disana, ada lengkap, sesajen di depanya.

Nur yang tadi ikut tertawa, tiba-tiba menjadi diam. ia menundukkan kepalanya, seolah tidak mau melihat sesuatu. pagi, itu tiba-tiba terasa gelap di dalam pikiran Widya.



"ngapunten pak, niki nopo nggih kok" (mohon maaf pak, ini kenapa ya kok)

belum selesai Widya bicara, pak Prabu memotongnya



"saya tau, apa yang adik mau katakan, pasti mau tanya, kok patek (nisan) nya, di tutupi pakai kain, gitu to?"



Widya mengangguk. rombongan menatap serius pak Prabu, terkecuali Wahyu dan Anton, terdengar mereka sayup tertawa kecil

"ini itu namanya, Sangkarso. kepercayaan orang sini. jadi biar tahu, kalau ini loh pemakaman" terang pak Prabu, yang jawabanya sama sekali tidak membuat serombongan anak puas, sampai-sampai Wahyu dan Anton walaupun pelan sengaja menyindir. namun pak Prabu bisa mendengarnya.

"wong pekok yo isok mbedakno kuburan karo lapangan pak" (orang bodoh juga bisa membedakan kuburan dan lapangan bola pak)



pak Prabu yang awalnya tersenyum penuh dengan candaan, tiba-tiba diam, raut wajahnya berubah dan tak tertebak.



"semoga saja, kalain tahu yang di omongkan ya"

kalimat pak Prabu seperti penekanan yang mengancam, setidaknya itu yang Widya rasakan, sontak, Bima langsung merespon dengan meminta maaf, namun Wahyu dan Anton memilih diam setelah mendengar respon pak Prabu.



"mongo pak, bisa lanjut ke tempat selanjutnya"

tempat berikutnya adalah Sinden (Kolam, tempat air keluar dari tanah) pak Prabu mengatakan bahwa Sinden ini bisa di jadikan Proker paling menjanjikan, tidak jauh darisana ada sungai, inginya pak Prabu, Sinden dan sungai bisa di hubungkan, jadi semcam jalan air.

tanpa terasa, hari sudah siang.



Ayu dan Widya sudah memetakan semua yang pak Prabu tunjukkan, memberinya sampel warna merah sampai biru, dari yang paling di utamakan sampai yang paling akhir di kerjakan.



namun, tetap saja. selama perjalanan, Widya banyak menemukan keganjilan.

keganjilan yang paling mencolok adalah, tidak satu atau dua kali, namun berkali-kali, ia melihat banyak sesajen yang di letakkan di atas tempeh, lengkap dengan bunga dan makanan yang di letakkan disana, di tambah bau kemenyan, membuat Widya tidak tenang.

setiap kali mau bertanya, hati kecilnya selalu mengatakan bahwa itu bukan hal yang bagus.



Nur, setelah dari Sinden, ia ijin kembali ke rumah, karena badanya tidak enak, dengan sukarela Bima yang mengantarkanya, jadi, observasi hanya di lakukan oleh 4 orang saja.

kemudian, sampailah di titik paling menakutkan



"Tipak talas" kalau kata pak Prabu. sebuah batas dimana rombongan anak-anak di larang keras melintasi sebuah setapak jalan yang di buat serampangan, di kiri kanan, ada kain merah lengkap di ikat oleh janur kuning layaknya pernikahan

"kenapa tidak boleh pak?" tanya Ayu penasaran.



pak Prabu diam lama, seperti sudah mempersiapkan jawaban namun ia enggan mengatakanya.



"iku ngunu Alas D...... , gak onok opo-opo'ne, wedine, nek sampeyan niki nekat, kalau hilang, lalu tersesat bagaimana?"

(itu adalah hutan belantara, gak ada apa-apanya, hanya mempertimbangkan, takutnya kalau kalian kesana, hilang, tersesat, lalu bagaimana?)



sekali lagi, jawaban itu cukup membuat Widya yakin itu bukan yang sebenarnya. namun, perasaan merinding melihat jalanan setapak itu, nyata.

Lanjut gak??



jadi cuma ngasih tau. cerita ini sangat panjang, karena gw harus menulis sedetail mungkin setiap kejadian selama 6 minggu itu. gw gak mau kehilangan setiap detail pengalaman si pencerita.



btw, waktu denger ini, gw itu lemes tiap ingat waktu di ceritain lebaran lalu

observasi berakhir ketika pak Prabu mengantar rombongan kembali ke rumah beliau.



ketika kembali, Wahyu dan Anton bertanya, dimana kamar mandi, ia tidak menemukan tempat itu di tempat mereka menginap, rupanya, setiap rumah di desa ini tidak ada satupun yang punya kamar mandi.

alasan kenapa tidak ada satupun rumah yang memiliki kamar mandi adalah karena sulitnya akses air.



tapi, pak Prabu menjelaskan, di bagian selatan Sinden, samping sungai, ada sebuah bilik dengan kendi besar di dalamnya, disana, bisa di gunakan untuk mandi.

tidak berhenti di situ, pak Prabu mengatakan bahwa, mulai hari ini, kendi di dalam bilik akan di usahakan selalu terisi penuh, terutama untuk mandi anak-anak perempuan.



untuk laki-laki, bisa mengisi air di kendi dengan cara menimba air dari sungai.

semua anak tampak paham, meski muka Wahyu dan Anton tampak keberatan, namun mereka tidak dapat melakukan apa-apa.



sekembalinya ke penginapan, Widya melihat Nur tengah tidur, hari itu di akhiri dengan rapat dengan semua anak, lalu kembali ke kamar untuk mengerjakan laporan.

Sore menjalang malam.



Nur sudah bangun, saat itu juga, Widya memintanya untuk mengantarkan dirinya pergi ke kamar mandi di bilik samping Sinden, awalnya Nur tampak tidak mau, tapi karena di paksa, kahirnya ia pun ikut dengan catatan, Nur adalah yang pertama masuk bilik.

Widya setuju. ia gak berpikir aneh-aneh.



selama perjalanan, ia melihat setiap rumah yang di lewati, rata-rata sama, semua rumah tepan (tembok di depan) kiri-kanan dari gedek (bambu dianyam), langit sudah merah, dan setelah menempuh jarak lumayan, akhirnya mereka sampai di Sinden

bangunan Sinden itu menyerupai candi kecil, bedanya, kolamnya persegi 4 dengan air yang jernih tapi berlumut, setelah mencari-cari dari Sinden, ketemulah Bilik itu tepat di samping pohon Asem, yang besar sekali, rindang, tapi mengerikan.



sempet ragu, tapi Widya bilang lanjut.

rupanya benar, ada kendi besar di dalam bilik itu.



air juga sudah penuh di dalam kendi, Nur pun masuk, sementara Widya menunggu di depan bilik, matanya tidak bisa melepaskan diri dari bangunan Sinden yang entah kenapa seolah menarik perhatianya, di sampingnya, ada sesajen itu.

dari dalam bilik, terdengar suara air bilasan dari Nur, setelah mencoba mengalihkan perhatian dari Sinden, Widya baru sadar, ada aroma kemenyan di dekat tempatnya berdiri, di telusurilah wewangian itu, benar saja, di samping pohon asem itu pun ada sesajenya.

yang lebih parah, bara dari kemenyan baru saja di bakar.



antara takut dan kaget, Widya kembali ke pintu bilik, dan dari dalam, sudah tidak terdengar suara air bilasan.



"Nur" "Nur" teriak Widya sembari menggedor pintu kayu, anehnya, hening, tidak ada jawaban dari dalam.

masih berusaha memanggil, terdengar sayup suara lirih, lirih sekali sampai Widya harus menempelkan telinganya di pintu bilik.



suara orang sedang berkidung.



kidungnya sendiri menyerupai kidung jawa, suaranya sangat lembut, lembut sekali seperti seorang biduan.

"Nur. bukak Nur!! bukak" spontan Widya menggedor pintu dengan keras, dan ketika pintu terbuka, Nur melihat Widya dengan ekspresi wajah panik



"nyapo to, Wid?" (kanapa sih Wid?)



ekspresi ganjil Widya membuat Nur kebingungan, terlebih mimik wajahnya mencuri pandang bag dalam bilik

"ayo ndang adus, gantian, aku sing gok jobo" (ayo cepat mandi, ganti biar aku yang jaga di luar)



kaget, Widya sudah ragu, melihat samping Bilik ada sesajen, Widya tidak tau apa harus cerita ke Nur soal itu, namun dengan ragu, Widya akhirnya bergegas masuk bilik, menutup pintu.

bagian dalam bilik sangat lembab, kayu bagian dalamnya sudah berlumut hitam, di depanya ada kendi besar, setengah airnya sudah terpakai, meraih gayung yang terbuat dari batok kelapa dengan gagang kayu jati yang di ikat dengan sulur, Widya mulai membuka bajunya perlahan.

masih terbayang nyanyian kidung tadi, Widya mencuri pandang, ia tidak sendiri



suasananya seperti ada sosok yg melihat dan mengamatinya, dari ujung rambut hingga ujung kaki, sosok itu seperti wajah seorang wanita nan cantik jelita, masalahnya, Widya tidak tau siapa pemilik wajah

ia berdiri di depan kendi, bajunya sudah tertanggal, meraih air pertama yang membasuh badanya, Widya merasakan dingin air itu membilas badanya.



sunyi, sepi, Nur tidak bersuara di luar bilik, memberikan sensasi kesendirian yang membuat bulukuduk merinding.

setiap siraman air di kepalanya, membuat Widya memejamkan matanya dan setiap ia memejamkan mata, terbayang wajah cantik nan jelita itu sedang tersenyum memandanginya.



siapa pemilik wajah cantik itu?



kemudian, kidung itu terdengar lagi, Widya berbalik, mengamati,

suaranya, dari luar bilik. tempat Nur berdiri seorang diri.

apakah Nur yang sedang berkidung?



pertanyaan itu, menancap keras di kepala Widya.

usai sudah acara mandi di sore itu, di perjalanan pulang, Widya mencuri pandang pada Nur, matanya mengawasi, seakan tidak percaya, kemudian ia bertanya.



"Nur, awakmu isok kidung jawa ya?" (Nur, kamu bisa bersenandung lagu jawa ya?)



Nur mengamati Widya, kemudian, ia diam.

Nur pergi tanpa menjawab sepatah katapun dari pertanyaan Widya. ia seperti membawa rahasianya sendiri, tanpa mau membagi rahasia itu.

Listrik di desa ini menggunakan tenaga Genset, jadi ketika jam menunjukkan pukul 9, lampu sudah mati, di ganti dengan petromak, Nur sudah pergi tidur, hanya tinggal Widya dan Ayu yang masih menyelesaikan progres untuk Proker esok hari.



Widya masih teringat kejadian sore tadi.

sebenarnya Widya mau cerita, namun bila melihat respon Ayu kemarin, sepertinya ia bakal di semprot dan berujung pada pidato tengah malam.



di tengah keheningan mereka menggarap progres, tiba-tiba Ayu mengatakan sesuatu yang membuat Widya tertarik.

"mau aku ambek Bima, ngecek progres gawe pembuangan, pas muter deso, iling gak ambek Tapak talas, tibakne, gak adoh tekan kunu, onok omah sanggar" (tadi aku sama Bima, mengecek progres untuk pembuangan, ketika memutari desa, ingat tidak sama Tapak Tilas, ternyata, gak jauh-

-darisana, ada sebuah bangunan tua menyerupai sanggar)



Widya terdiam beberapa saat, memproses kalimat Ayu



"Loh, awakmu kan wes reti nek gak oleh mrunu!!" (Loh, bukanya kamu sudah mengerti dilarang berada disana)



"guguk aku" (bukan aku) bela Ayu, iku ngunu Bima sing ngajak.

(jadi yang mengajak awalnya si Bima) jarene, onok wedon ayu mlaku mrunu, pas di tut'i, ra onok tibak ne (katanya ada perempuan cantik, pas di ikuti ternyata gak ada)

"lah trus, awakmu tetep ae mrunu!!" (lah terus kamu tetap kesana)



"cah iki, yo kan aku ngejar Bima, opo di umbarke ae cah kui ngilang!!" (anak ini, kan saya mengejar Bima, apa di biarkan saja anak itu nanti hilang)



perdebadan mereka berhenti sampai disana, namun perasaan itu.

Widya merasa perasaanya semakin tidak enak. sejak menginjak desa ini, semuanya terasa seperti kacau balau.

karena malam semakin larut, Widya pun beranjak pergi ke kamar, disana ia melihat Nur, sudah terlelap dalam tidurnya. Ayu pun menyusul kemudian, berharap malam ini segera berlalu,



tiba-tiba terdengar langkah kaki saat Widya melihat apa yang terjadi, bayangan Nur melangkah keluar

ragu apakah mau membangunkan Ayu, Widya pun beranjak dari tempatnya tidur, berjalan, mengejar Nur.



rumah sudah gelap gulita, sang pemilik rumah tampaknya sudah terlelap di dalam kamarnya, di depan Widya, pintu rumah sudah terbuka lebar, dengan perlahan, Widya melangkah kesana.

Malam itu sangat gelap, lebih gelap dari perkiraan Widya, bayangan pohon tampak lebih besar dari biasanya, dan sayup-sayup terdengar suara binatang malam, sangat sunyi, sangat sepi, di lihatnya kesana-kemari mencari dimana keberadaan Nur, Widya terpaku melihat Nur, di depanya

Nur berdiri di tanah lapang depan rumah, dia menari dengan sangat anggun, tanpa alas kaki, Nur berlenggak-lenggok layaknya penari profesional.



Widya, termengu mematung melihat temanya seperti itu. ragu, Widya mendekatinya. tak pernah terfikirkan Nur bisa menari seperti ini.

"Nur" panggil Widya, tapi sosok Nur seperti tidak mendengarkanya, ia masih berlenggak lenggok, sorot matanya beberapa kali melirik Widya, ngeri, tiba-tiba bulukuduk terasa berdiri ketika memandangnya.



dari jauh, sayup sayup, kendang terdengar lagi, Widya semakin di buat takut,

tabuhan gamelan sahut menyahut, campur aduk dengan tarian Nur yang seperti mengikuti alunan itu.



kaki seperti ingin lari dan melangkah masuk rumah, tapi Nur semakin menggila, ia masih menari dengan senyuman ganjil di bibirnya.

sampai akhirnya Widya memaksa Nur menghentikan tarianya, ia berteriak meminta temanya agar berhenti bersikap aneh, dan saat itulah, wajah Nur berubah menjadi wajah yang sangat menakutkan.



sorot matanya tajam, dengan mata nyaris hitam semua. Widya menjerit sejadi-jadinya.

kali berikutnya, seseorang memegang Widya kuat sekali, menggoyangkanya sembari memanggil namanya.



Wahyu.



Widya melihat Wahyu yang menatapnya dengan tatapan bingung plus takut.



"bengi bengi lapo As. nari-nari gak jelas nang kene!!" (malam-malam ngapain anji.g!! nari sendirian-

disini seorang diri)



jeritan Widya rupanya membangunkan semua orang, termasuk si pemilik rumah, Widya melihat sorot mata semua orang memandangnya, tak terkecuali Nur yang rupanya baru saja keluar dari dalam rumah.

"onok opo to ndok?" (ada apa sih nak?) kalimat itu lah yang pertama kali Widya dengar, si pemilik rumah tampak khawatir, namun Widya lebih tertuju pada Nur, ia juga memandang dirinya, mereka sama-sama termangu memandang satu sama lain.



kejadian itu, diakhiri dengan cerita Wahyu

Wahyu menceritakan semuanya, awalnya ia hanya ingin menghisap rokok sembari duduk di teras posyandu, kemudian ia tidak sengaja melihat seseorang, sendirian, menari-nari di tanah lapang, karena penasaran, wahyu mendekat, sampai Wahyu baru sadar bila yang menari itu adalah Widya.

semua yang mendengarkan cerita Wahyu hanya bisa menatap nanar, tidak ada yang berkomentar, si pemilik rumah akhirnya menyuruh mereka semua bubar dan masuk ke dalam rumah lagi, karena hari semakin larut.



si pemilk rumah, berjanji akan menceritakan ini kepada pak Prabu.

namun ada satu hal, yang sengaja Wahyu tidak ceritakan, nanti, ia akan menjelaskan semuanya.



namun malam itu, benar-benar Malam yang gila, seolah-olah menjadi pembuka rangkaian kejadian yang akan mereka hadapi di sela tugas KKN mereka ke dalam situasi yang paling serius.

semua orang sudah berkumpul, memenuhi panggilan pak Prabu, beliau bertanya tentang bagaimana kronologi kejadian, Ayu mengaku tidak tahu, Widya mengatakan ia sedang mengejar Nur yang pergi keluar rumah, namun Nur mengatakan ia hanya pergi ke dapur untuk mencari air minum.

semua penjelasan itu tidak membantu sama sekali, namun tampak dari raut muka pak Prabu, ia lebih tertarik bagaimana Widya bisa menari bila latar belakangnya saja bahwa ia mengaku tidak pernah belajar menari sebelumnya



hari itu, pak Prabu meminta Widya, Ayu dan Wahyu, menemaninya

Nur pergi, ia masih harus mengerjakan proker individualnya.



dengan berbekal motor butut yang tempo hari digunakan untuk mengantar mereka masuk ke desa ini, kali ini di gunakan untuk mengantar mereka ke rumah seseorang.



Wahyu dengan Widya, Pak Prabu berboncengan dengan Ayu.

jalur yang mereka tempuh hampir sama dengan jalur yang tempo hari, anehnya, kali ini Widya merasakan sendiri, untuk sampai ke jalan raya tidak sampai 1 jam, malah tidak sampai 30 menit, lalu, bagaimana bisa ia merasakan waktu selambat itu pada malam ketika orang2 desa menjemput

Rumah yang pak Prabu datangi, rupanya rumah seseorang.



melintasi jalan besar, lalu masuk lagi ke sebuah jalan setapak buatan, Rumahnya bagus, malah bisa di bilang paling bagus di bandingkan rumah orang2 desa, hanya saja, rumah itu berdiri di tengah sisi hutan belantara lain.

berpagar batu bata merah, dengan banyak bambu kuning, rumah itu terlihat sangat tua, namun masih enak dipandang mata.



di depan rumah, ada orang tua, kakek-kakek, sepuh, berdiri seperti sudah tau bahwa hari ini akan ada tamu yang berkunjung.

tidak ada yang tahu nama kakek itu, namun pak Prabu memanggilnya mbah Buyut, setelah pak Prabu selesai menceritakan semuanya, wajah mbah Buyut tampak biasa saja, tidak tertarik sama sekali dengan cerita pak Prabu yang padahal membuat semua anak-anak masih tidak habis pikir.

sesekali memang mbah Buyut terlihat menatap Widya, terkesan mencuri pandang, namun ya begitu, hanya sekedar mencuri pandang saja, tidak lebih.



dengan suara serak, mbah Buyut pergi kedalam rumah, beliau kembali dengan 5 gelas kopi yang di hidangkan di depan mereka.

"Monggo" (silahkan) kata beliau, matanya memandang Widya.



melihat itu, Widya menolak, mengatakan dirinya tidak pernah meminum kopi, namun senyuman ganjil mbah Buyut membuat Widya sungkan, yang akhirnya berbuntut ia meneguk kopi itu meski hanya satu tegukan saja.

kopinya manis, ada aroma melati didalamnya, yang awalnya Widya hanya mencoba-coba tanpa sadar, gelas kopi itu sudah kosong.



tidak hanya Widya, semua orang di tegur agar mencicipi kopi buatan beliau, katanya "tidak baik menolak pemberian tuan rumah"



semua akhirnya mencobanya

berikutnya. Wahyu dan Ayu kaget setengah mati, sampai harus menyemburkan kopi yang ia teguk, mimik wajahnya bingung, karena rasa kopinya tidak hanya pahit, tapi sangat pahit, sampai tidak bisa di tolerin masuk ke tenggorokan.



anehnya, Pak Prabu meneguk kopi itu biasa saja.

"begini" kata mbah Buyut, beliau menggunakan bahasa jawa halus sekali, sampai ucapanya kadang tidak bisa di pahami semua anak. ada kalimat, penari dan penunggu, namun yang lainya tidak dapat di cerna.



ia menunjuk Widya tepat didepan wajahnya, mimik wajahnya sangat serius.

pak Prabu mendengarkan dengan seksama, lalu berpamitan pulang.



sebelum mereka pulang, mbah Buyut memberi kunir tepat di dahi Widya, katanya untuk menjaga Widya saja.



kunjungan itu sama sekali tidak di ketahui tujuanya, selama perjalanan, pak Prabu bercerita, tentang kopi.

kopi yang di hidangkan mbah Buyut tadi adalah Kopi ireng yang di racik khusus untuk memanggil Lelembut, Demit dan sejenisnya, bukan kopi untuk manusia, mereka yang belum pernah mencobanya, pasti akan memuntahkanya, namun, bagi lelembut dan sebangsanya, kopi itu manis sekali.

semua anak memandang Widya.



namun pak Prabu segera mengatakan hal lain. "sepurane sing akeh nduk, sampeyan onok sing ngetut'i" (mohon maaf ya nak, kamu, ada yang mengikuti)

selain mengatakan itu, pak Prabu juga mengatakan bahwa tidak perlu takut, karena Widya tidak akan serta merta di apa-apakan, hanya di ikuti saja, yang lebih penting, Widya tidak boleh dibiarkan sendirian, harus selalu ada yang menemaninya, untuk itu, pak Prabu punya gagasan.

mulai malam ini, mereka akan tinggal dalam satu rumah, hanya dipisahkan oleh sekat dari bambu anyam, pak Prabu hanya meminta satu hal, jangan melanggar etika dan norma saja.



pertemuan itu juga di minta untuk tidak di ceritakan ke siapapun lagi, bahkan Nur, Anton dan Bima.

tempat tinggal mereka yang baru tepat ada di ujung, cukup besar, dan bekas rumah keluarga yang merantau, sekaligus hal ini menjawab pertanyaan kenapa jarang di temui anak seumuran mereka di desa ini, rupanya, kebanyakan anak-anak yang sudah akil baligh pasti pergi merantau.

dibelakang rumah, ada watu item (Batu kali) cukup besar, dengan beberapa pohon pisang, dan di kelilingi, daun tuntas.



Anton awalnya tidak setuju mereka pindah, karena atmoser rumahnya yang memang tidak enak dan itu bisa terlihat dari luar, namun ini, perintah dari pak Prabu

setelah kejadian itu, Ayu sedikit menghindari Widya.



Widya paham akan hal itu, namun Wahyu sebaliknya, ia mendekati Widya dan memberi semangat agar tidak mencerna mentah2 pesan orang tua itu.



disini, Wahyu bercerita kejadian yang tidak ia ceritakan di malam kejadian itu.

"Wid, kancamu cah lanang iku, gak popo tah?" (Wid, temanmu yang cowok itu baik-baik saja kah?)



"maksud'e mas?"



"cah iku, ben bengi metu Wid, emboh nang ndi, trus biasane balik-balik nek isuk, opo garap proker tapi kok bengi?"

(temanmu itu, setiap larut malam keluar Wid, entah kemana, trus biasanya baru balik pagi, apa sedang mengerjakan prokernya tapi kok harus malam?)



"ra paham aku mas" (gak ngerti aku mas)



"trus" kata Wahyu "aku sering rungokno, cah iku ngomong dewe nang kamar"

(aku sering denger anak itu ngomong sendirian di dalam kamar)



"ra mungkin tah mas" (gak mungkin lah mas)



"sumpah!!" "gak iku tok, kadang, cah iku koyok ngguyu-nggyu dewe, stress palingan" (gak cuma itu, kadang dia tertawa sendirian, gila kali anak itu)

"Bima iku religius mas, ra mungkin aneh-aneh" (Bima itu religius, gak mungkin aneh-aneh)



"yo wes, takono Anton nek ra percoyo, bengi sak durunge aku eroh awakmu nari, Bima asline onok nang kunu, arek'e ndelok tekan cendelo, paham awakmu sak iki. gendeng cah iku"

(ya sudah, tanya Anton kalau gak percaya, malam sebelum kejadian itu, Bima sebenarnya ada di kejadian, dia cuma lihat kamu dari jendela, paham kamu sekarang, gila itu anak)



Widya diam lama, memproses kalimat itu, ia melihat Wahyu pergi dengan raut wajah kesal.

Malam semua anak sudah berkumpul, Nur ada di kamar, dia sedang sholat.



Widya di ruang tengah sendirian, sedangkan Ayu, Wahyu dan Anton ngobrol di teras rumah, Bima, ada pertemuan dengan pak Prabu.



sebelum, suara kidung terdengar lagi, suaranya dari arah pawon. (dapur)

untuk mencapai pawon, Widya melewati kamar, disana Nur sedang bersujud, semakin lama, suaranya semakin terdengar dengan jelas.



Pawon rumah ini hanya di tutup dengan tirai, saat Widya menyibak tirai, ia melihat Nur, sedang meneguk air dari kendi, lengkap dengan mukenanya.

Widya mematung, diam, lama sekali, sampe Nur yang meneguk dari kendi melihatnya.



mata mereka saling memandang satu sama lain.



"Lapo Wid" (kenapa Wid?) tanya Nur.



Widya masih diam, Nur pun mendekati Widya, sontak Widya langsung lari, dan melihat isi kamar, disana, tidak ada Nur

"onok opo toh asline" (ada apa tah sebenarnya) tanya Nur yang sekarang di samping Widya, ia memegang bahu Widya. dingin. tangan Widya masih gemetaran, sampai semua anak melihat mereka kemudian mendekatinya.



"lapo kok rame'ne" (kenapa kok rame sekali) tegur Ayu.

"gak eroh, cah iki ket maeng di jak ngomong ra njawab-njawab" (gak tau, anak ini di tanya daritadi gak jawab-jawab)



"lapo Wid?" Wahyu mendekati



"tanganmu kok gemeteran ngene, onok opo sih" (tanganmu kenapa gemetaran begini, ada apa sih?) tanya Anton.

"Nur, jupukno ngombe kunu loh, kok tambah meneng ae" (Nur ambilkan air gitu loh, kok malah diam saja) tegur Anton,



Nur kembali dengan teko kendi yang tadi, dia memberikanya pada Widya, dan Widya kemudian meneguknya, lalu, tiba-tiba Widya diam lagi, membuat semua orang bingung

tangan kiri Widya masih memegang teko, sedangkan tangan kananya, terangkat lalu masuk ke dalam mulut, disana, Widya berusaha mengambil sesuatu, ada 2 sampai 3 helai rambut hitam, panjang, dan itu keluar dari dalam mulut Widya.



semua yang menyaksikanya, beringsut mundur. kaget.

begitu penutup tekonya di buka, di dalamnya, ada segumpal rambut, benar-benar segumpal rambut dengan air di dalamnya.



Nur yang melihatnya langsung bereaksi. "aku mau yo ngombe teko kunu, gak eroh aku onok barang ngunu'ne" (tadi aku juga minum dari situ, gak tau ada begituanya)

Widya muntah sejadi-jadinya, saat keadaan tegang seperti itu, Anton tiba-tiba mengatakan "awakmu di incer yo Wid, jare mbahku, nek onok rambut gak koro metu, iku biasane nek gak di santet yo di incer demit"



(kamu di incar ya Wid, kata mbahku, kalau tiba2 muncul rambut)

(itu biasanya kalau gak di santet ya di incar makhluk halus)



Nur, kemudian mengatakanya



"Wid, opo penari iku jek ngetuti awakmu, soale ket wingi aku wes ra ndelok gok mburimu maneh"(Wid, apa penari itu masih ngikutin kamu, soalnya dari kemarin aku belum lihat dia di belakangmu)

berhari-hari setelah pengakuan Nur itu, membuat Widya semakin was-was, ia jatuh sakit selama 3 hari, dan selama itu juga, Widya hanya terbaring di atas tikar kamar, Nur tidak melanjutkan lagi ceritanya, karena katanya ia sudah salah mengatakanya, seharusnya ia menahan cerita itu.

selama Widya terbaring sakit, ia seringkali di tinggal sendirian didalam rumah itu, dan selama tinggal di rumah itu, ada satu kejadian yang tidak akan pernah Widya lupakan.



semua di mulai ketika, ia hanya berbaring di atas tikar, Ayu dan Nur berpamitan akan memulai proker mereka

anak2 cowok juga memulai proker mereka masing2, seharusnya, tidak ada satupun orang di rumah itu, namun, siang itu, terdengar suara sesuatu yang di pukuli, hal itu menimbulkan rasa penasaran, suaranya seperti benturan antara lempengan yang keras, awalnya Widya menghiraukanya

namun, semakin lama, Widya tidak tahan dan akhirnya memeriksanya.



suara itu terdengar ada di belakang rumah, tepat di samping pawon (dapur), maka Widya pergi kesana, saat ia sampai di pintu pawon, yang terbuat dari kayu, Widya berhenti, di sela2 pintu, Widya mengintip

alangkah bingungnya Widya, melihat di antara pohon pisang, ada seorang bapak2, usianya berkisar antara 50'an, menggunakan pakaian hitam ala orang yang akan berkebun, ia berdiri di antara pohon pisang, matanya tampak mengawasi rumah yang menjadi penginapan Widya selama KKN

lama sekali, bapak itu berdiri mengawasi penginapan Widya, gerak-geriknya sangat mencurigakan, seperti ingin masuk ke rumah namun, bapak itu ragu-ragu.



ketakutan, tiba-tiba terasa di dalam diri Widya, kemudian, selang beberapa menit, bapak itu pergi meninggalkan tempat itu.

rasa lega, bapak itu pergi, Widya berniat kembali ke kamar, disana ia melihat Anton, baru saja masuk rumah, mereka berpapasan, bodohnya, Widya tidak menceritakan hal itu kepada Anton dan anak lain, karena keesokan harinya, peristiwa yang sama itu, kembali terulang..

di awali suara keras yang sama, Widya kembali mengintip, kali ini, bapak itu lebih berani, ia melihat kesana-kemari, mendekati penginapan dan beberapa kali berusaha mengintip, dari gerak-geriknya, tampaknya bapak itu berniat buruk, masalahnya, apa yang ingin dia cari disini.

memikirkan hal itu, Widya tiba-tiba seperti baru ingat, ia hanya di rumah ini sendirian, seorang wanita, sendirian di dalam rumah, dan seorang pria asing, mendekati rumah itu, apalagi kalau bukan



sesaat, ketika si bapak sudah berdiri di depan pintu pawon, suara itu mengejutkanya

suara keras itu rupanya dari Batu di belakang pawon, keras sekali sampai membuat si bapak lari tunggang langgang, Widya menyaksikanya sendiri, ada yang melempar batu cukup besar, tepat di Watu item (Batu kali) di belakang rumah



sehingga si bapak panik dan pergi, Widya ikut pergi

Widya melaporkanya pada pak Prabu, yang ikut kaget mendengarnya, di carilah si bapak itu, dan ketemu, rupanya dia adalah warga desa sana, ketika di tanya apa yang dia lakukan di rumah anak-anak KKN, bapak itu mengatakan sesuatu, yang entah benar atau tidak, bila ia melihat wanita

Wanita yang di lihat si bapak ini, mengenakan pakaian seperti dayang (penari) dan ia masuk rumah ini, namun karena beliau takut di sangka melakukan hal-hal tidak baik, ia memeriksanya diam-diam, tapi, di hari dimana ia lari tunggang langgang, ia melihat sesuatu di pawon rumah

ia melihat wanita itu di dalam pawon rumah, ia sedang menari dengan anggun, sesaat sebelum ia melihat wajahnya, si bapak kaget setengah mati, karena di balik sirat wajah wanita yang di sangka terlihat jelita itu, rupanya polos, rata tak ada bentuk.

apa yang di ucapkan si bapak memang tidak dapat di percaya, namun pak Prabu tidak punya bukti lebih jauh, maka pak Prabu hanya menegur agar tidak melakukan hal itu lagi, si bapak pun pergi,



namun, pak Prabu mengatakan hal lain yang membuat Widya begidik ngeri,

"onok sing nyoba ngbari sampeyan mbak" (ada yang mencoba memberi pesan sama kamu mbak)



"sinten pak?" (siapa pak?)



"mbah-mbah sing nunggu nang Watu Item" (kakek-kakek penjaga batu kali itu)



setelah kejadian itu, Widya di minta ke rumah pak Prabu bila masih sakit.

namun, ada kejadian lagi, yang Widya alami, kali ini melibatkan Nur, dan alasan kenapa rentetan semua kejadian ini, berhubungan satu sama lain.

Mohon Maaf, harusnya hari ini gw Free, udah siapin waktu juga, rencana awal mau namatin malam ini tapi tiba-tiba di suruh lembur lagi.



besok saja ya, mohon maaf sekali.

waktu itu siang hari, Widya sedang mengerjakan prokernya yang sudah tertunda beberapa hari, Wayu mendekati Widya, ia menawarkan kesempatan untuk keluar desa sementara karena harus membeli perlengkapan untuk progress kerjanya yang harus di beli di kota.



"Melu mboten?" (ikut gak?)

"adoh gak?" (jauh gak?)



"2 jam" kata Wahyu, "aku wes ijin pak Prabu, oleh nyilih motor'e" (aku sudah ijin pak Prabu, boleh pinjem motornya)



"nggih pon, melu" (ya sudah, ikut)



Wahyu melihat jam di tanganya, pukul 11 lewat, ia harus cepat menyelesaikan urusanya di kota,

karena sesaat sebelum meminta ijin, pak Prabu sudah mewanti-wanti untuk sudah kembali sebelum hari petang, saat Wahyu menanyakan kenapa harus seperti itu, toh ada jalan setapak yang gampang di telusuri untuk masuk ke hutan ini.



dengan wajah tidak tertebak, pak Prabu, mengatakan,

"gak onok sing ngerti opo sing onok gok jero'ne Alas le" (tidak ada yang pernah tau apa yang tinggal didalam hutan nak)

(Bersambung)

Download Wallpaper