Cerpen Indonesia

Kumpulan Cerita Pendek dan Bersambung Yang Menarik Berbahasa Indonesia

Iklan Atas Artikel

Kejadian Di Dalam Kelas (Part 6)

Author
Published Senin, Juli 02, 2018
Kejadian Di Dalam Kelas (Part 6)
Kejadian mistis yang sekarang. Mengingatkanku saat pertama kali mengalami kejadian mistis.

Kata ibu, saat SMA lah ibu bertemu dengan ayah pertama kali dan saat itu kejadian menyenangkan dimulai dan beriringan dengan kejadian mistis. Awalnya aku kira itu cuma cerita dongeng yang ibu ceritakan saat kami kecil dulu. Tapi aku mulai percaya karena aku sendiri mengalaminya. Kejadian mistis seakan menyambutku dan juga kakak saat pertama kali masuk SMA. Berawal dari kemunculan sosok misterius di sekolah kami masing-masing yang hingga kini belum terpecahkan.

Hari-hari berikutnya kejadian mistis kembali berulang dari hal aneh di pohon angker di sekolah kakak kemudian juga terjadi di pohon angker di sekolahku. Tapi untuk kejadian mistis pohon angker ini belakangan aku tahu penyebabnya adalah ulah temanku sendiri Buna.

Setelah itu kejadian mistis di kelasku yang membuat seisi kelas berantakan secara misterius. Kembali hal ini dapat aku pecahkan, tapi dengan bantuan kakak. Walaupun penyebab penjaga sekolah melakukan hal jahat itu tidak aku ketahui hingga sekarang.

Bahkan saat pulang sekolah di waktu senja kejadian mistis juga terjadi. Aku ditolong oleh sosok misterius yang hingga kini tidak aku ketahui siapa dia.

Hal itu sempat terlupakan karena munculnya kejadian mistis yan terjadi di ruang Wali Kelas, ada hal yang membuatku merinding dan sekaligus mengejutkan. Lagi-lagi hal yang mengejutkan itu ulah Buna. Tapi hal yang membuatku merinding masih misteri.

Kini yang terlupakan kembali teringat. Di saat yang sama yaitu waktu senja dan ketika aku mau pulang. Sosok misterius seakan menemaniku sendiri di ruang kelas yang sunyi ini.

Dia duduk di belakang. Membuatku penasaran dan menghampirinya.
"Apa kamu yang menolongku saat senja kemarin dengan memberikan payung agar tidak kehujanan?" Tanyaku memastikan. Karena wajahnya tampak samar dengan didominasi warna putih. Mungkin karena baju seragam yang dia kenakan dan cahaya senja yang menyilaukan.

Tiba-tiba ada sosok warna hitam di belakangku. Aku gemetar sambil memberanikan diri menoleh ke belakang.
Aku terkejut, "Buna? Ngapain kamu di sini. Gak ikut pulang duluan kayak teman-teman lainnya!" Tanyaku heran.
"Aku malas manjat tembok belakang sekolah. Jadi aku kembali ke kelas." Jelas Buna.
"Aku merasakan ada warna hitam saat kamu di belakangku." Ucapku mengutarakan rasa penasaranku karena Buna juga memakai baju seragam putih dan celana abu-abu, tidak ada unsur warna hitamnya sama sekali.
"Mungkin karena aku membelakangi cahaya senja sehingga jadi gelap, jadi kamu merasakan warna hitam itu." Jawab Buna.
"Oh..." Ucapku mengerti.

Aku kembali menoleh ke arah sosok berwarna putih yang menemaniku tadi. Tapi sosok itu sudah menghilang. Aku mencarinya dan tidak kutemukan. Tapi aku malah menemukan ada pintu yang tersamarkan di belakang kelas. Aku baru sadar ada dua pintu di kelas ini. Apa mungkin sosok itu keluar lewat pintu ini. Lamunanku terhenti.
"Sebenarnya aku mau mengatakan sesuatu ke kamu!" Ucap Buna yang membuatku kaget. Tidak sadar dia mendekatiku kembali. Bahkan berani sedekat ini. Padahal bangku dia duduk ada di tengah bukan di belakang. Aku seakan terpojok di sudut ruang kelas.
"Katakanlah..." Ucapku agak gugup.
"Aku sebenarnya..." Ucap Buna semakin mendekatiku. Bahkan aku bisa merasakan hembusan nafasnya. Aku benar-benar gemetar.

Tiba-tiba lonceng berbunyi.
"Sudah waktunya pulang. Kalau gitu aku pulang dulu ya." Ucapku memberi kode agar dia menjauh di hadapanku. Tapi dia tidak bergerak.
"A a a ..." Ucap Buna malah terbantah-bantah.
"A b c d, maksudmu." Ucapku seakan geregetan sekaligus tidak sabar menyudahi suasana yang tidak mengenakan ini.
Aku mencoba membuka pintu yang tersamarkan dengan warna dinding dan terletak tepat di sudut tempatku terpojok sekarang. Beruntung pintu itu masih berfungsi dan terbuka dengan baik.
"Aku pulang duluan." Ucapku dan langsung berlari meninggalkan Buna.

Dalam perjalanan pulang. Aku mencoba menghubungi kak Enja untuk menemaniku di jalan seperti biasa. Tapi ponsel kak Enja malah gak aktif. Aku juga merasakan ada langkah kaki di belakangku. Aku berhenti dan menoleh ke belakang.
"Kamu ngapain ngikuti aku?" Tanyaku ketakutan melihat Buna di belakangku.
Buna malah jalan terus melewatiku.
Mungkin rumahnya sejalan denganku.
Aku sekarang berjalan di belakang Buna. Agak aneh, karena selama ini tidak ada yang jalan pulangnya sama denganku. Kok Buna malah satu arah denganku.

Sampai di pertigaan, aku berhenti dan membiarkan Buna melewatiku. Buna mengambil jalan lurus. Berbeda dengan jalanku pulang. Aku mengambil jalan ke kanan. Terus berjalan seakan takut Buna kembali mengikutiku. Langkahku terhenti saat mau memasuki jalan yang paling tidak ku suka. Di kanan dan kirinya dipenuhi dengan jejeran pohon besar yang berbaris rapi dan dedaunannya yang lebat seakan memberi atap di langit-langit. Seperti terowongan gelap. Terlalu menakutkan untuk aku masuki. Aku menelpon kak Enja kembali, tapi keduluan kakak yang menelponku. Aku mengangkatnya dengan senang.
"Maaf. Kakak udah pulang duluan. Kamu pulang sendiri aja." Ucap kak Enja lalu menutup telpon, tidak memberi aku kesempatan untuk bicara.
"Grrrr" aku benar-benar kesal.

Rasa kesalku memudar setelah ada cahaya senja yang tiba-tiba muncul menerangi jalan dari arah belakang. Aku segera menoleh ke belakang dan baru sadar, tadi ada awan yang menghalangi cahayanya dan sekarang awan itu menjauh dari matahari. Segera aku berlari agar cepat melewati jalan menyeramkan ini sebelum cahaya senja menghilang seiring semakin tenggelamnya matahari.

Saat berada di tengah jalan agak gelap karena daun lebat di langit yang berasal dari pepohonan di kanan dan kirinya, berbaur dengan cahaya emas dari senja yang mencoba untuk menerangi jalanku. Tiba-tiba cahaya itu mulai kalah. Suasana menjadi gelap seketika. Aku melihat jam di ponselku. Terlalu awal untuk matahari tenggelam. Apa karena tertutup awan lagi. Aku menoleh ke belakang. Alangkah terkejutnya aku melihat segerombolan burung Gagak terbang menutupi jalan masuknya cahaya senja. Dengan keadaan panik dan berbekal cahaya ponsel aku berlari ke arah depan.

Tanpa ku sadari. Aku sudah jauh ke luar dari jalan gelap itu. Tidak beberapa lama melangkah aku sampai di depan rumah. Saat tiba, aku kembali dikejutkan dengan kak Enja yang mau diterjang seekor burung Gagak di halaman rumah. Aku segera menghalau burung Gagak itu untuk menjauh. Burung itu menjauh tapi kak Enja mendekatiku sambil menarik kerah bajuku.
"Apa yang kamu lakukan. Aku sedang memberi burung itu makan." Bentak kak Enja membuatku ketakutan.
Kak Enja melepaskan genggaman eratnya dari kerah bajuku setelah kancing bajuku terlepas. Kak Enja menatapku aneh. Sambil memegang bajuku yang terbuka. Aku berlari masuk ke dalam rumah.

Saat memasuki rumah, badanku gemetar dan mataku berkaca-kaca, aku bahkan bicara sendiri.
"Kak Enja jahat. Lebih menyayangi burung Gagak itu dibandingkan aku."
Tiba-tiba aku mendengar suara ibu dari belakang, "Benarkah itu?"
Aku kaget sekaligus cemas jika ibu melihatku dalam keadaan baju terbuka seperti ini. Aku baru ingat, sepertinya ibu baru selesai bekunjung ke rumah tante Yena seperti biasanya. Tanpa menoleh ke arah ibu, aku memilih untuk jalan terus menuju kamar. Tapi ucapan ibu menghentikan langkahku.
"Jika benar yang kamu katakan tadi, berarti kak Enjamu sama seperti ayah yang dapat mendekati burung Gagak!"
"Apa ayah pernah membentak ibu?" Tanyaku tanpa berbalik badan.
"Ayahmu tidak pernah membentak dan kasar kepada ibu bahkan orang lain." Ucapan ibu langsung aku jawab.
"Berarti kak Enja tidak sama dengan ayah." Aku langsung berlari masuk kamar.

Di dalam kamar sambil bergelinang air mata, aku memperbaiki baju seragamku. Air mataku berhenti mengalir saat cahaya senja tiba-tiba bersinar terang memukauku dengan keindahannya. Kemudian menghilang dengan sekejap. Membuatku kembali bicara sendiri.
"Sudah waktunya ya Senja, padahal aku ingin lebih lama lagi memandang pesonamu." Ucapku sambil menghadap ke arah jendela.

Setelah kejadian sore itu, hubungan persaudaraanku dengan kak Enja mulai tidak harmonis. Jika aku Korea Selatan maka kak Enja Korea Utaranya. Tapi hal itu tidak disadari oleh ibu. Malam harinya saat kami makan bersama, aku mencoba membalas perbuatan kak Enja.
"Ibu!, kak Enja lihatin dadaku sore tadi." Ucapku.
"Enja, jangan pernah melakukan itu lagi. Dia itu adikmu. Ibu tidak ingin kamu berpikiran yang tidak-tidak." Marah ibu.
"Aku tidak sengaja lihatinnya bu." Balas kak Enja yang tidak bisa bohong. Mengatakan sejujurnya saat kejadian sore tadi.
"Ibu gak mau tahu. Kamu harus janji dan terima hukumannya, uang saku kamu dipotong." Ancam ibu.
"Iya bu." Jawab kak Enja tidak mau memperpanjang masalah.

Saat paginya, kami sama-sama berangkat sekolah dan kak Enja seperti biasa dapat perintah temani aku sampai ke sekolah baru menuju sekolahnya. Aku takut kak Enja kasar lagi padaku. Dalam perjalanan kami saling diam dan membuatku merasa was-was. Akhirnya aku mengalah dan memilih menyudahi perang dingin ini.
"Kak, aku minta maaf." Ucapku tapi tidak dijawab. Apa mungkin aku tidak sopan bicara tanpa menghadap. Aku lalu menoleh ke belakang untuk menghadap kak Enja. Tapi saat aku menoleh ke belakang kak Enja sudah tidak ada.
"Grrr, kakak benar-benar mengajakku perang. Meninggalkanku seorang diri." Ucapku kesal.

Aku melanjutkan pergi ke sekolah. Beruntung saat sadar kak Enja pergi, aku sudah melewati jalan menyeramkan itu. Saat sampai di sekolah, aku merasakan ada keanehan. Tidak ada pelajar yang lalu lalang di gerbang sekolah seperti biasa. Aku melihat jam di ponsel. Jam pelajaran pertama sudah mau mulai mungkin mereka sudah berada di dalam kelas. Saat aku masuk ke kelas, aku tercengang. Tidak ada satupun teman sekelas di ruangan. Suasana mencekam seketika.

(Bersambung)

Posting Komentar