Kejadian Malang di Rumah Sendiri (Part 7)
Tiba-tiba rambutku seperti melayang dan tubuhku bergerak.
"Aaa..." Teriakku kesakitan.
Rambutku ditarik paksa, membuat tubuhku terseret hingga mendekati sofa. Terlihat ada seorang pria datang dari belakang dan memperlihatkan dirinya di depanku. Pria itu menggunakan topeng, sehingga aku tidak mengenalinya. Sepertinya dia yang tadi mendorongku saat membuka pintu lalu beralih dengan cepat ke belakang tanpa sempat ku lihat.
Aku mencoba berontak saat dia menyentuhku.
"Lepaskan..." Teriakku saat dia menaikan tubuhku di atas sofa.
Dia berusaha melepaskan celanaku, aku menahannya sambil memohon, "Jangan..."
Brakkk... Buk...Buk...
"Ampun!" Teriak pria itu.
Aku syok. Air mataku menetes. Saat tiba-tiba Fian masuk, menarik lalu menjatuhkan ke lantai dan memukuli pria yang ingin berbuat jahat padaku.
Fian berhenti mencoba mendengarkan pria itu bicara, "Kita sama laki-laki, kita bisa melakukannya bersama-sama. Gadis itu cuma tinggal sendiri."
Buk... Buk... Fian memukulinya membabi buta di depanku. Seakan aku mendukung yang dilakukan Fian. Aku membiarkannya. Tapi tiba-tiba...
"Hentikan Fian, kamu akan membunuhnya." Teriak Indri yang tiba-tiba muncul.
Saat Fian berhenti, pria itu menendang Fian hinga jatuh lalu melarikan diri dengan cepat.
~
Di dalam kamar, Indri menenangkanku yang benar-benar syok. Setelah aku mulai tenang. Indri memanggil Fian, "Kamu boleh masuk!"
Fian masuk dan membawa kotak HP.
"Kamu tidak apa-apa, Enli?"
Aku tidak menjawab dan hanya menundukan kepala.
Fian meletakan kotak HP di sampingku.
"Siang tadi, ketika kamu pergi dengan Ari. Aku menunggumu pulang di depan pagar, lalu Indri datang untuk membicarakan pekerjaan tapi kamu tidak ada. Aku kenalan dengan Indri dan banyak tanya tentang kamu. Kata Indri, kamu tidak mempunyai HP, jadi aku membelikannya untukmu."
Fian diam menunggu aku bicara, tapi aku tidak sanggup bicara.
Dia kemudian pamit pergi, "Aku pulang ya. Indri kamu temani Enli. Kalau ada apa-apa, telpon aku. Aku ngekost dekat sini."
Saat Fian dekat pintu.
Aku berucap, "Terima kasih." Sambil melihat ke arahnya. Berusaha tersenyum tapi tidak bisa.
Fian membalasnya dengan sedikit senyuman kemudian pergi.
~
Pagi harinya aku terbangun saat sinar mentari menyinari wajahku. Terlihat Indri sedang membawa makanan dan meletakannya di meja dekat kasurku.
"Makanlah, masakanku tidak kalah enaknya dari restoran kemaren." Ucap Indri.
Aku membalasnya dengan senyuman yang kupaksakan, lalu mengeluarkan uang dari hasil sewa Villa milik ibu.
"Ambilah uang ini, sebagai ganti uang Angkot kemarin dan gaji pertamamu. Sekalian berikan untuk Fian sebagai ganti uangnya membelikan aku HP." Ucapku dengan nada lemah.
Indri menolaknya, "Aku ikhlas untuk uang Angkot itu. Uang Fian lebih baik kamu sendiri yang serahkan langsung. Mengenai gaji, aku tidak bisa terima sekarang karena belum bekerja untukmu."
Aku meletakan uang itu ke tangannya, "Pekerjaanmu, temani aku sampai keluargaku tiba. Jika kamu tidak mau, bisa letakan uang itu di meja."
Indri terdiam. Kemudian dia menerima uangku dan memasukannya ke kantong.
Indri memperlihatkan pakaian yang dia bawa, "Saat aku membawamu ke kamar. Lemarimu sudah terbuka dan tidak ada pakaian di sana. Fian juga selalu menanyakan tentang keadaanmu. Jadi aku bilang kamu gak punya pakaian lain. Dia lalu membelikan ini untukmu. Kamu gak marahkan? aku bicara gitu ke Fian..."
Aku mengambil pakaiannya dan bersiap pergi, "Temani aku ke kantor polisi, pria itu tidak bisa dibiarkan. Bahaya bagi gadis lain. Mereka mungkin tidak seberuntung aku."
Kami ke kantor polisi menggunakan Angkot. Saat aku melaporkan yang terjadi. Polisi itu juga melaporkan informasi ke aku secara tidak langsung.
"Di mana ayahmu sampai membiarkan putrinya dalam bahaya?"
Aku kaget, "Jadi benar, ayahku masih hidup."
Polisi itu kembali menjawab, "Bapak rekan kerja ayahmu dulu, beberapa hari yang lalu ayahmu ke sini melaporkan Yena yang melakukan percobaan ilegal terhadap tubuh manusia, kemudian dia pergi."
Aku senang sekaligus marah, "Jangan pernah salahkan ayahku. Beliau sedang mencari ibu dan kakak."
Polisi itu menjelaskan, "Kamu harus tahu! Ibu dan kakakmu sudah tidak ada."
Aku terkejut, "Aku tidak percaya!" Teriakku.
Saat aku pergi, polisi itu bicara, "Sebaiknya datangi kuburan ibumu."
Aku keluar dari kantor polisi itu dalam keadaan emosi.
Indri menghampiriku, "Ini alamat pemakaman ibumu. Mengenai kakakmu, jasadnya tidak ditemukan."
Aku yakin kakak masih hidup.
Kami lalu pergi ke pemakaman umum.
Indri mencarikan kuburan bernama Lina Sanja. Ibu menambahkan nama ayah di belakang namanya. Polisi bilang ke Indri, tidak ada yang menyamai nama ibu di sini.
Tidak menunggu lama Indri datang dengan wajah syok, "Aku sudah menemukannya."
Aku mendatangi kuburan ibu dengan mengikuti Indri dari belakang.
Aku tercengang, melihat kuburan ibu terbongkar, terlihat papan nisan bertuliskan Lina Sanja.
Napasku sesak. Dadaku sakit. Tiba-tiba terdengar suara wanita, "Enli..." Sambil menyentuh bahuku. Aku gemetar.
(Bersambung)
"Aaa..." Teriakku kesakitan.
Rambutku ditarik paksa, membuat tubuhku terseret hingga mendekati sofa. Terlihat ada seorang pria datang dari belakang dan memperlihatkan dirinya di depanku. Pria itu menggunakan topeng, sehingga aku tidak mengenalinya. Sepertinya dia yang tadi mendorongku saat membuka pintu lalu beralih dengan cepat ke belakang tanpa sempat ku lihat.
Aku mencoba berontak saat dia menyentuhku.
"Lepaskan..." Teriakku saat dia menaikan tubuhku di atas sofa.
Dia berusaha melepaskan celanaku, aku menahannya sambil memohon, "Jangan..."
Brakkk... Buk...Buk...
"Ampun!" Teriak pria itu.
Aku syok. Air mataku menetes. Saat tiba-tiba Fian masuk, menarik lalu menjatuhkan ke lantai dan memukuli pria yang ingin berbuat jahat padaku.
Fian berhenti mencoba mendengarkan pria itu bicara, "Kita sama laki-laki, kita bisa melakukannya bersama-sama. Gadis itu cuma tinggal sendiri."
Buk... Buk... Fian memukulinya membabi buta di depanku. Seakan aku mendukung yang dilakukan Fian. Aku membiarkannya. Tapi tiba-tiba...
"Hentikan Fian, kamu akan membunuhnya." Teriak Indri yang tiba-tiba muncul.
Saat Fian berhenti, pria itu menendang Fian hinga jatuh lalu melarikan diri dengan cepat.
~
Di dalam kamar, Indri menenangkanku yang benar-benar syok. Setelah aku mulai tenang. Indri memanggil Fian, "Kamu boleh masuk!"
Fian masuk dan membawa kotak HP.
"Kamu tidak apa-apa, Enli?"
Aku tidak menjawab dan hanya menundukan kepala.
Fian meletakan kotak HP di sampingku.
"Siang tadi, ketika kamu pergi dengan Ari. Aku menunggumu pulang di depan pagar, lalu Indri datang untuk membicarakan pekerjaan tapi kamu tidak ada. Aku kenalan dengan Indri dan banyak tanya tentang kamu. Kata Indri, kamu tidak mempunyai HP, jadi aku membelikannya untukmu."
Fian diam menunggu aku bicara, tapi aku tidak sanggup bicara.
Dia kemudian pamit pergi, "Aku pulang ya. Indri kamu temani Enli. Kalau ada apa-apa, telpon aku. Aku ngekost dekat sini."
Saat Fian dekat pintu.
Aku berucap, "Terima kasih." Sambil melihat ke arahnya. Berusaha tersenyum tapi tidak bisa.
Fian membalasnya dengan sedikit senyuman kemudian pergi.
~
Pagi harinya aku terbangun saat sinar mentari menyinari wajahku. Terlihat Indri sedang membawa makanan dan meletakannya di meja dekat kasurku.
"Makanlah, masakanku tidak kalah enaknya dari restoran kemaren." Ucap Indri.
Aku membalasnya dengan senyuman yang kupaksakan, lalu mengeluarkan uang dari hasil sewa Villa milik ibu.
"Ambilah uang ini, sebagai ganti uang Angkot kemarin dan gaji pertamamu. Sekalian berikan untuk Fian sebagai ganti uangnya membelikan aku HP." Ucapku dengan nada lemah.
Indri menolaknya, "Aku ikhlas untuk uang Angkot itu. Uang Fian lebih baik kamu sendiri yang serahkan langsung. Mengenai gaji, aku tidak bisa terima sekarang karena belum bekerja untukmu."
Aku meletakan uang itu ke tangannya, "Pekerjaanmu, temani aku sampai keluargaku tiba. Jika kamu tidak mau, bisa letakan uang itu di meja."
Indri terdiam. Kemudian dia menerima uangku dan memasukannya ke kantong.
Indri memperlihatkan pakaian yang dia bawa, "Saat aku membawamu ke kamar. Lemarimu sudah terbuka dan tidak ada pakaian di sana. Fian juga selalu menanyakan tentang keadaanmu. Jadi aku bilang kamu gak punya pakaian lain. Dia lalu membelikan ini untukmu. Kamu gak marahkan? aku bicara gitu ke Fian..."
Aku mengambil pakaiannya dan bersiap pergi, "Temani aku ke kantor polisi, pria itu tidak bisa dibiarkan. Bahaya bagi gadis lain. Mereka mungkin tidak seberuntung aku."
Kami ke kantor polisi menggunakan Angkot. Saat aku melaporkan yang terjadi. Polisi itu juga melaporkan informasi ke aku secara tidak langsung.
"Di mana ayahmu sampai membiarkan putrinya dalam bahaya?"
Aku kaget, "Jadi benar, ayahku masih hidup."
Polisi itu kembali menjawab, "Bapak rekan kerja ayahmu dulu, beberapa hari yang lalu ayahmu ke sini melaporkan Yena yang melakukan percobaan ilegal terhadap tubuh manusia, kemudian dia pergi."
Aku senang sekaligus marah, "Jangan pernah salahkan ayahku. Beliau sedang mencari ibu dan kakak."
Polisi itu menjelaskan, "Kamu harus tahu! Ibu dan kakakmu sudah tidak ada."
Aku terkejut, "Aku tidak percaya!" Teriakku.
Saat aku pergi, polisi itu bicara, "Sebaiknya datangi kuburan ibumu."
Aku keluar dari kantor polisi itu dalam keadaan emosi.
Indri menghampiriku, "Ini alamat pemakaman ibumu. Mengenai kakakmu, jasadnya tidak ditemukan."
Aku yakin kakak masih hidup.
Kami lalu pergi ke pemakaman umum.
Indri mencarikan kuburan bernama Lina Sanja. Ibu menambahkan nama ayah di belakang namanya. Polisi bilang ke Indri, tidak ada yang menyamai nama ibu di sini.
Tidak menunggu lama Indri datang dengan wajah syok, "Aku sudah menemukannya."
Aku mendatangi kuburan ibu dengan mengikuti Indri dari belakang.
Aku tercengang, melihat kuburan ibu terbongkar, terlihat papan nisan bertuliskan Lina Sanja.
Napasku sesak. Dadaku sakit. Tiba-tiba terdengar suara wanita, "Enli..." Sambil menyentuh bahuku. Aku gemetar.
(Bersambung)
Posting Komentar
Posting Komentar