Melawan Akhir Perjalanan (Part 2)
Aku berusaha menahan pisau yang ingin kakak tancapkan ke badanku. Hingga membuat tanganku berdarah. Perasaan yang terluka karena kakak kandung sendiri ingin membunuhku ditambah darah yang terus mengalir di tangan, membuatku tak kuasa menahan air mata.
Di tengah tangisanku terdengar suara, "Hentikanlah!" Kakak menatap tajam ke arah ayah yang tiba-tiba datang, "Dia telah membuat ibu celaka!"
Tanpa meleraiku ayah kembali bicara, "Adikmu bisa terluka, masih percaya dia bisa melayang dan membuat ibu kaget hingga kecelakaan!"
Kakak melepaskan pisaunya kemudian pergi. Ayah mendekatiku sambil membawakan kotak P3K, "Obati sendiri lukamu, setelah itu temui ayah di mobil!"
Aku membersikan lukaku, baik darah maupun air mata tak berhenti mengalir. Aku menjahit sendiri kulit tanganku yang sobek, rasa sakitnya tak tertahankan. Setelah selesai memperban kedua telapak tanganku. Aku segera menemui ayah.
Terlihat ayah tertidur di dalam mobil. Kedatanganku membuat ayah terbangun, "Maaf ayah, aku lama!"
Tanpa menjawab, ayah melajukan mobilnya setelah aku masuk.
Perjalanan yang lama dan rasa lelahku menahan sakit membuatku tertidur hingga malam hari. Aku terbangun saat diseret keluar dari mobil, "Ayah ingin membuangku lagi?"
Ayah yang ingin masuk mobil menyempatkan membalas, "Sekarang kau tinggal di ibu kota!"
Aku berdiri dengan mata berkaca-kaca, "Aku anak gadismu, kau tega membiarkanku hidup sendiri di kota asing. Aku takut, ayah!"
Ayah melemparkan amplop ke arahku, "Selama kamu memiliki uang, hidup di kota besar tidak masalah. Bahkan teman bisa kau beli dengan uang!"
Saatku mengambil amplop di tanah, ayah pergi dengan mobilnya. Meninggalkanku di jalan yang sunyi ini seorang diri. Perasaan yang sangat rapuh membuatku menangis kembali.
Aku segera memasukan amplop ke dalam saku, takut ada orang mencurinya. Lalu menyelusuri jalan menuju kota yang cahayanya terlihat kelap kelip dari kejauhan. Lapar dan lelah membuatku berlutut, "Aku tak sanggup lagi!" Aku berkhayal semua ini hanyalah suatu acara TV. Ingin rasanya ku melambaikan tangan ke kamera untuk mengakhiri penderitaan ini.
Disaat keputusasaan, aku menyadari ada taksi yang akan lewat meski tidak melihatnya. Dugaanku tepat, sebuah taksi berhenti di dekatku. Segeraku berdiri dan masuk ke dalam taksi. Si supir keluar dan mengangkat koperku ke jok mobil.
Selama perjalanan, si supir terus menatapku melalui kaca spion, "Aku ditinggal di pinggir jalan, saat dia tahu aku mengidap HIV." Setelah ku mengucapkan kalimat bohong itu, si supir berhenti menatapku. Lalu fokus mengantarkanku ke rumah kontrakan. Aku membayarnya dengan uang yang diberikan almarhum kakek.
Di dalam rumah kontrakan aku membuka isi amplop dengan suasana hati senang. Alangkah terkejutnya aku. Bukan uang yang ku temukan melainkan sepucuk surat bertuliskan, "Menurut orang pintar, kamu yang dilahirkan saat gerhana. Membawa sial bagi kami. Jadi, kau harus berada jauh dari kami, jangan pernah dekati kami lagi. Sebagai anak gadis, kau tak berguna dan cepat atau lambat akan membuat aib bagi keluarga! Tertanda Orang Tua kandungmu."
Membaca surat itu, aku masih bisa tersenyum. Aku berpikir, ayah dan ibu tidak sanggup mengucapkan langsung kalimat sadis itu kepadaku. Aku yakin masih ada sedikit rasa kasih sayangnya untukku.
Aku masih punya uang tabungan yang diberikan almarhum kakek, hasil kerja kerasnya di desa. Aku harus bisa menjalani kehidupan di kota asing ini.
(Bersambung)
Di tengah tangisanku terdengar suara, "Hentikanlah!" Kakak menatap tajam ke arah ayah yang tiba-tiba datang, "Dia telah membuat ibu celaka!"
Tanpa meleraiku ayah kembali bicara, "Adikmu bisa terluka, masih percaya dia bisa melayang dan membuat ibu kaget hingga kecelakaan!"
Kakak melepaskan pisaunya kemudian pergi. Ayah mendekatiku sambil membawakan kotak P3K, "Obati sendiri lukamu, setelah itu temui ayah di mobil!"
Aku membersikan lukaku, baik darah maupun air mata tak berhenti mengalir. Aku menjahit sendiri kulit tanganku yang sobek, rasa sakitnya tak tertahankan. Setelah selesai memperban kedua telapak tanganku. Aku segera menemui ayah.
Terlihat ayah tertidur di dalam mobil. Kedatanganku membuat ayah terbangun, "Maaf ayah, aku lama!"
Tanpa menjawab, ayah melajukan mobilnya setelah aku masuk.
Perjalanan yang lama dan rasa lelahku menahan sakit membuatku tertidur hingga malam hari. Aku terbangun saat diseret keluar dari mobil, "Ayah ingin membuangku lagi?"
Ayah yang ingin masuk mobil menyempatkan membalas, "Sekarang kau tinggal di ibu kota!"
Aku berdiri dengan mata berkaca-kaca, "Aku anak gadismu, kau tega membiarkanku hidup sendiri di kota asing. Aku takut, ayah!"
Ayah melemparkan amplop ke arahku, "Selama kamu memiliki uang, hidup di kota besar tidak masalah. Bahkan teman bisa kau beli dengan uang!"
Saatku mengambil amplop di tanah, ayah pergi dengan mobilnya. Meninggalkanku di jalan yang sunyi ini seorang diri. Perasaan yang sangat rapuh membuatku menangis kembali.
Aku segera memasukan amplop ke dalam saku, takut ada orang mencurinya. Lalu menyelusuri jalan menuju kota yang cahayanya terlihat kelap kelip dari kejauhan. Lapar dan lelah membuatku berlutut, "Aku tak sanggup lagi!" Aku berkhayal semua ini hanyalah suatu acara TV. Ingin rasanya ku melambaikan tangan ke kamera untuk mengakhiri penderitaan ini.
Disaat keputusasaan, aku menyadari ada taksi yang akan lewat meski tidak melihatnya. Dugaanku tepat, sebuah taksi berhenti di dekatku. Segeraku berdiri dan masuk ke dalam taksi. Si supir keluar dan mengangkat koperku ke jok mobil.
Selama perjalanan, si supir terus menatapku melalui kaca spion, "Aku ditinggal di pinggir jalan, saat dia tahu aku mengidap HIV." Setelah ku mengucapkan kalimat bohong itu, si supir berhenti menatapku. Lalu fokus mengantarkanku ke rumah kontrakan. Aku membayarnya dengan uang yang diberikan almarhum kakek.
Di dalam rumah kontrakan aku membuka isi amplop dengan suasana hati senang. Alangkah terkejutnya aku. Bukan uang yang ku temukan melainkan sepucuk surat bertuliskan, "Menurut orang pintar, kamu yang dilahirkan saat gerhana. Membawa sial bagi kami. Jadi, kau harus berada jauh dari kami, jangan pernah dekati kami lagi. Sebagai anak gadis, kau tak berguna dan cepat atau lambat akan membuat aib bagi keluarga! Tertanda Orang Tua kandungmu."
Membaca surat itu, aku masih bisa tersenyum. Aku berpikir, ayah dan ibu tidak sanggup mengucapkan langsung kalimat sadis itu kepadaku. Aku yakin masih ada sedikit rasa kasih sayangnya untukku.
Aku masih punya uang tabungan yang diberikan almarhum kakek, hasil kerja kerasnya di desa. Aku harus bisa menjalani kehidupan di kota asing ini.
(Bersambung)
Posting Komentar
Posting Komentar