Menghilang Saat Butuh (Part 13)
Sanja mematikan motornya yang sempat dia nyalakan tadi.
"Kamu tahu kisah manusia pertama di bumi?" Tanya Sanja melanjutkan bicaranya.
"Tentu, nabi Adam. Kenapa?" Balasku.
"Ada berapa jenis makhluk yang menghormati nabi Adam." Tanyanya lagi.
"Jin dan Malaikat!" Jawabku.
"Pernah dengar manusia bersekutu dengan Jin?" Tanyanya.
"Sering. Untuk ilmu hitamkan." Balasku.
"Kalau manusia yang bersekutu dengan malaikat?" Sambungnya.
"Lina, ngapain berdiri di sana." Teriak ayah yang tiba-tiba datang.
Aku segera membuka pagar lebih luas agar mobil ayah dapat masuk.
Mobil ayah menghalangi pandanganku dari motor Sanja. Aku segera berlari ke balik mobil takut Sanja keburu pulang.
"Om, saya mau pamit pulang. Terimakasih bantuannya. Pasti akan saya balas." Ucap Sanja yang sedang berbincang dengan ayah. Membuatku tersenyum dan senang.
"Seharusnya om yang terima kasih, karena udah lindungi putri om." Balas ayah.
"Mana Sanja ayah?" Tanyaku tiba-tiba Sanja menghilang.
"Udah pulang. Kamu sih melamun. Jadi gak sadar." Balas ayah.
Sial, aku benar-benar terjebak dalam ilusi karena terlalu kagum dengan kesopanan Sanja.
Dari siang hingga malam aku menunggu Sanja menghubungiku. Tapi, HPku penuh dengan pesan bully teman sekelas yang menyalahkan aku atas kematian Iwan.
Ada yang ngatakan gadis sombong, iblis pemberi harapan palsu, sampai nyuruh aku keluar dari sekolah takut siswa lainnya jadi korbanku. Meski hatiku sakit, aku tidak pedulikan.
Sampai akhirnya, aku benar-benar emosi. Sanja yang kuharapkan dapat menghiburku, malah gak menghubungiku. Aku nyerah jadi egois dan terpaksa hubungi Sanja duluan. Aku menelponnya.
"Teman-teman di sekolah pada bully aku." Ucapku langsung.
"Kamu mau minta aku bully juga." Jawab Sanja.
Aku benar-benar marah. Cacian dan makian aku ucapkan. Sampai aku menangis.
"Lampiaskan saja semua kekesalanmu ke aku. Jangan ke mereka. Biar saja mereka memusuhimu, kamu jangan musuhi mereka. Jika bikin mereka emosi aku khawatir mereka dendam lalu nekat menyakitimu. Sebanyak apapun kata makian yang kamu berikan kepadaku. Aku janji tidak akan marah, apalagi dendam ke kamu." Balas Sanja. Aku hanya bisa mendengarkannya. Air mata ini tidak berhenti mengalir.
"Aku takut sekolah besok." Ucapku.
"Kamu bisa melapor ke guru jika ada yang menyakitimu. Jangan takut diancam." Ucap Sanja.
Malam itu aku bisa tidur dengan tenang. Aku bahkan melupakan keingintahuanku tentang dugaan Sanja memiliki teman hantu yang seharusnya aku tanyakan tadi.
Pagi harinya aku tetap sekolah. Dijemput oleh sahabatku Sintia dan Aya.
Di dalam mobil mereka tampak aneh. Terlihat berhati-hati mengatakan sesuatu ke aku, mungkin takut menyinggung perasaanku.
Sesampainya di sekolah, siswa dan siswi melihatku dengan tatapan tajam. Di kelas tidak jauh berbeda. Tidak ada teman yang mau bicara denganku bahkan sengaja menjauh ketika ku dekati.
"Ketua kelas, mereka kenapa?" Tanyaku.
"Kamu disuruh bersihin WC." Tanpa menjawab pertanyaanku malah kasih perintah.
"Kok aku."
"Kamu di hukum."
"Kenapa?"
"Bolos kemaren."
"Akukan izin."
"Aku tidak menerima suratmu."
Aya tiba-tiba datang karena melihat aku berdebat dengan ketua kelas, "Bukannya aku udah kasih suratnya." Ucap Aya marah, sepertinya dia dengar perbincangan kami.
"Mana saksinya. Jangan asal tuduh."
Aya manarik kerah baju ketua kelas, aku langsung mencegahnya.
"Sudahlah Aya jangan berantem." Ucapku ke Aya.
"Bukannya kemaren gak ada kegiatan belajar." Sambung Sintia yang datang.
"Tapi tetap cek kehadiran. Kamu mau membela yang salah?" Balas ketua kelas.
Aku memilih menjalani hukuman daripada membuat mereka bermusuhan.
Saatku menuju WC dan melewati lorong. Tiba-tiba kaki kananku di tendang oleh siswa yang lewat berlawanan arah. Membuatku terjatuh. Aku langsung berpaling ke belakang.
"Kau sengaja ya tendang aku?" Teriakku.
"Tidak sengaja." Jawabnya singkat.
Aku baru menyadarinya, dia kakak kelasku dan juga kakak kandung Iwan. Aku memilih diam tidak melanjutkan protes.
Sesampainya di WC, segera aku kerjakan tugasku. Setelah bersih aku keluar. Saat di pintu luar, tiba-tiba aku di siram sekelompok pelajar yang langsung berlari. Ini sudah keterlaluan membuat bajuku basah. Aku tidak terima dan melaporkannya ke guru BP.
"Siapa yang menyirammu?" Tanya guru BP.
"Aku gak tahu bu, mereka langsung lari." Jawabku.
"Kalau gak tahu, gimana cari pelakunya. Ini jam pelajaran. Ayo masuk kelas."
Aku baru ingat, kepala sekolah di sini orang tua Iwan. Aku memilih untuk menerima perlakuan tidak adil ini.
Aku SMS Sanja untuk bawakan baju seragam baru untukku.
Tidak lama aku menunggu di balik pagar, Sanja tiba.
"Mana baju seragamku." Tanyaku langsung.
"Rumahmu gak ada orang." Jawab Sanja.
"Terus aku gimana. Siswa-siswa pada lihatin aku mulu." Balasku.
"Aku belikan kamu seragam baru." Ucapnya.
Tapi aku tidak melihat Sanja membawa sesuatu.
"Mana? kamu gak bawa apa-apa!" Tanyaku.
"Ini seragamnya." Seorang gadis datang dan langsung memberikan seragam baru ke aku. Membuatku kaget.
"Dia kenalanku." Jawab Sanja.
Aku kaku, dan hanya diam.
"Kakimu kenapa?" Tanya Sanja.
"Bukan urusanmu." Jawabku entah kenapa kesal.
"Dia ditendang." Ucap Aya yang datang.
Sanja terdiam.
"Ini tidak bisa dibiarkan. Mereka keterlaluan. Entah kenapa aku tidak terima kamu disakiti." Ucap Sanja.
"Sudah jangan lama-lama bertamu. Ini jam sekolah." Perintah pak satpam.
"Iya pak. Maaf." Jawab Sanja kemudian pergi.
"Itu kenapa sih berisik amat." Ucap Aya mendengar kegaduhan dari dalam sekolah.
Sintia terlihat berlari panik ke arah kami.
"Di di dalam, banyak yang kesurupan." Ucap Sintia terengah-engah.
(Bersambung)
"Kamu tahu kisah manusia pertama di bumi?" Tanya Sanja melanjutkan bicaranya.
"Tentu, nabi Adam. Kenapa?" Balasku.
"Ada berapa jenis makhluk yang menghormati nabi Adam." Tanyanya lagi.
"Jin dan Malaikat!" Jawabku.
"Pernah dengar manusia bersekutu dengan Jin?" Tanyanya.
"Sering. Untuk ilmu hitamkan." Balasku.
"Kalau manusia yang bersekutu dengan malaikat?" Sambungnya.
"Lina, ngapain berdiri di sana." Teriak ayah yang tiba-tiba datang.
Aku segera membuka pagar lebih luas agar mobil ayah dapat masuk.
Mobil ayah menghalangi pandanganku dari motor Sanja. Aku segera berlari ke balik mobil takut Sanja keburu pulang.
"Om, saya mau pamit pulang. Terimakasih bantuannya. Pasti akan saya balas." Ucap Sanja yang sedang berbincang dengan ayah. Membuatku tersenyum dan senang.
"Seharusnya om yang terima kasih, karena udah lindungi putri om." Balas ayah.
"Mana Sanja ayah?" Tanyaku tiba-tiba Sanja menghilang.
"Udah pulang. Kamu sih melamun. Jadi gak sadar." Balas ayah.
Sial, aku benar-benar terjebak dalam ilusi karena terlalu kagum dengan kesopanan Sanja.
Dari siang hingga malam aku menunggu Sanja menghubungiku. Tapi, HPku penuh dengan pesan bully teman sekelas yang menyalahkan aku atas kematian Iwan.
Ada yang ngatakan gadis sombong, iblis pemberi harapan palsu, sampai nyuruh aku keluar dari sekolah takut siswa lainnya jadi korbanku. Meski hatiku sakit, aku tidak pedulikan.
Sampai akhirnya, aku benar-benar emosi. Sanja yang kuharapkan dapat menghiburku, malah gak menghubungiku. Aku nyerah jadi egois dan terpaksa hubungi Sanja duluan. Aku menelponnya.
"Teman-teman di sekolah pada bully aku." Ucapku langsung.
"Kamu mau minta aku bully juga." Jawab Sanja.
Aku benar-benar marah. Cacian dan makian aku ucapkan. Sampai aku menangis.
"Lampiaskan saja semua kekesalanmu ke aku. Jangan ke mereka. Biar saja mereka memusuhimu, kamu jangan musuhi mereka. Jika bikin mereka emosi aku khawatir mereka dendam lalu nekat menyakitimu. Sebanyak apapun kata makian yang kamu berikan kepadaku. Aku janji tidak akan marah, apalagi dendam ke kamu." Balas Sanja. Aku hanya bisa mendengarkannya. Air mata ini tidak berhenti mengalir.
"Aku takut sekolah besok." Ucapku.
"Kamu bisa melapor ke guru jika ada yang menyakitimu. Jangan takut diancam." Ucap Sanja.
Malam itu aku bisa tidur dengan tenang. Aku bahkan melupakan keingintahuanku tentang dugaan Sanja memiliki teman hantu yang seharusnya aku tanyakan tadi.
Pagi harinya aku tetap sekolah. Dijemput oleh sahabatku Sintia dan Aya.
Di dalam mobil mereka tampak aneh. Terlihat berhati-hati mengatakan sesuatu ke aku, mungkin takut menyinggung perasaanku.
Sesampainya di sekolah, siswa dan siswi melihatku dengan tatapan tajam. Di kelas tidak jauh berbeda. Tidak ada teman yang mau bicara denganku bahkan sengaja menjauh ketika ku dekati.
"Ketua kelas, mereka kenapa?" Tanyaku.
"Kamu disuruh bersihin WC." Tanpa menjawab pertanyaanku malah kasih perintah.
"Kok aku."
"Kamu di hukum."
"Kenapa?"
"Bolos kemaren."
"Akukan izin."
"Aku tidak menerima suratmu."
Aya tiba-tiba datang karena melihat aku berdebat dengan ketua kelas, "Bukannya aku udah kasih suratnya." Ucap Aya marah, sepertinya dia dengar perbincangan kami.
"Mana saksinya. Jangan asal tuduh."
Aya manarik kerah baju ketua kelas, aku langsung mencegahnya.
"Sudahlah Aya jangan berantem." Ucapku ke Aya.
"Bukannya kemaren gak ada kegiatan belajar." Sambung Sintia yang datang.
"Tapi tetap cek kehadiran. Kamu mau membela yang salah?" Balas ketua kelas.
Aku memilih menjalani hukuman daripada membuat mereka bermusuhan.
Saatku menuju WC dan melewati lorong. Tiba-tiba kaki kananku di tendang oleh siswa yang lewat berlawanan arah. Membuatku terjatuh. Aku langsung berpaling ke belakang.
"Kau sengaja ya tendang aku?" Teriakku.
"Tidak sengaja." Jawabnya singkat.
Aku baru menyadarinya, dia kakak kelasku dan juga kakak kandung Iwan. Aku memilih diam tidak melanjutkan protes.
Sesampainya di WC, segera aku kerjakan tugasku. Setelah bersih aku keluar. Saat di pintu luar, tiba-tiba aku di siram sekelompok pelajar yang langsung berlari. Ini sudah keterlaluan membuat bajuku basah. Aku tidak terima dan melaporkannya ke guru BP.
"Siapa yang menyirammu?" Tanya guru BP.
"Aku gak tahu bu, mereka langsung lari." Jawabku.
"Kalau gak tahu, gimana cari pelakunya. Ini jam pelajaran. Ayo masuk kelas."
Aku baru ingat, kepala sekolah di sini orang tua Iwan. Aku memilih untuk menerima perlakuan tidak adil ini.
Aku SMS Sanja untuk bawakan baju seragam baru untukku.
Tidak lama aku menunggu di balik pagar, Sanja tiba.
"Mana baju seragamku." Tanyaku langsung.
"Rumahmu gak ada orang." Jawab Sanja.
"Terus aku gimana. Siswa-siswa pada lihatin aku mulu." Balasku.
"Aku belikan kamu seragam baru." Ucapnya.
Tapi aku tidak melihat Sanja membawa sesuatu.
"Mana? kamu gak bawa apa-apa!" Tanyaku.
"Ini seragamnya." Seorang gadis datang dan langsung memberikan seragam baru ke aku. Membuatku kaget.
"Dia kenalanku." Jawab Sanja.
Aku kaku, dan hanya diam.
"Kakimu kenapa?" Tanya Sanja.
"Bukan urusanmu." Jawabku entah kenapa kesal.
"Dia ditendang." Ucap Aya yang datang.
Sanja terdiam.
"Ini tidak bisa dibiarkan. Mereka keterlaluan. Entah kenapa aku tidak terima kamu disakiti." Ucap Sanja.
"Sudah jangan lama-lama bertamu. Ini jam sekolah." Perintah pak satpam.
"Iya pak. Maaf." Jawab Sanja kemudian pergi.
"Itu kenapa sih berisik amat." Ucap Aya mendengar kegaduhan dari dalam sekolah.
Sintia terlihat berlari panik ke arah kami.
"Di di dalam, banyak yang kesurupan." Ucap Sintia terengah-engah.
(Bersambung)
Posting Komentar
Posting Komentar