Satu Hati Untuk Semua (Part 12)
Dihadapanku Yena terlihat ragu dan takut. Di tambah suasana gelap padahal baru tengah hari. Mendung dengan awan tebal di langit hampir membuat siang ini jadi malam. Suasana sepi di perkampungan dekat area tambang yang tandus meyebabkan di sini terlihat seram dan angin bertiup aneh.
"Kamu ingin bilang tentang Sanja yang harus aku tahukan! Katakanlah ." Ucapku tidak ingin berlama-lama di sini.
"Aku sering menelponnya saat bangun tidur tengah malam. Jam berapa pun, dia selalu mengangkat telponku dengan cepat. Karena itu, aku tahu Sanja mengidap insomnia yang aneh! " Balas Yena. Buatku ragu dia bukan sekedar sahabat.
"Aneh gimana?" Dibandingkan menanyakan kenapa dia selalu menelpon Sanja, aku jauh lebih penasaran tentang Sanja.
"Aku berpikir dia hanya membutuhkan waktu tidur sedikit. Jadi jangan kasih dia Kopi..."
"Dia punya penyakit elergi Kopi?" Tanyaku cemas.
"Dia bisa lupa untuk tidur kalau dikasih kopi, haha." Balas Yena mencoba bercanda denganku.
Melihatku tidak tertawa Yena melanjutkan bicara.
"Aku tahu Sanja jarang tidur, ketika tengah malam aku sering ke rumahnya, dia langsung membukakan pintu saat aku tiba. Padahal aku datang dijam yang berbeda dan kami tidak janji sebelumnya. Anehnya lagi, wajahnya tidak menunjukan rasa ngantuk sama sekali." Penjelasan Yena bikin aku kesal.
"Ngapain kamu tengah malam ke rumah Sanja?"
"Memberikan dia jatah!" Jawaban Yena bikin aku tercengang.
"Apa kamu bilang?"
"Maksud aku kebiasaan makannya berbeda dari orang pada umumnya!" Yena tidak menjawab pertanyaanku malah menambah misteri tentang Sanja.
"Berbeda seperti apa? Apa dia membutuhkan darah suci? "' Tanyaku mulai takut, dugaan liarku muncul, efek jadi penggemar sinetron Ganteng Ganteng Serigala dulu.
"Tetap makanan manusialah..." Jawab Yena kesal.
"...Aku memasakan makanan buat Sanja dan mengantarkannya. Karena dia terlihat lemas. Aku berinisiatif, menambah jatah makannya saat tengah malam. Semenjak itu dia terlihat segar." Keterangan Yena memuaskan rasa penasaranku tentang Sanja tapi malah membuatku penasaran tentangnya.
"Sebenarnya kamu siapanya Sanja?"
"Dia selalu cerita tentang kehidupannya ke aku. Bisa dikatakan aku buku hariannya..."
Aku kesal, "Sebenarnya hubungan kalian sudah sejauh apa?"
"Jangan salah sangka dulu Lina. Semenjak kematian ibunya. Dia kurang kasih sayang dari sosok wanita. Kehadiranku dikehidupannya menggantikan sosok ibunya..."
Aku emosi, air mataku menetes.
"Kasih sayang seperti apa yang kamu berikan ke Sanja?"
"Katanya membicarakan tentang masalah pribadi wanita. Kenapa membicarakan aku?" Ucap Sanja yang tiba-tiba muncul.
"Selama ini aku melayani kamu. Karena kamu sudah punya pendamping hidup. Kamu tidak butuh aku lagi. Jadi aku cuma beri tahu dia bagaimana cara melayanimu!" Balas Yena sambil terlihat menahan air matanya.
"Lina bukan pelayan. Dia istriku." Jawab Sanja.
Yena langsung pergi ke arah Pukesmas. Aku tahu dia kesal. Tapi dia tetap mengerjakan perintah Sanja.
"Aku tidak tahu apa yang dikatakan Yena sampai kamu menangis. Apapun itu. Dia sudah aku anggap adikku sendiri." Ucap Sanja ke aku.
"Kalian seusiakan..." Ucapku kesal.
"Yena bilang, dia menggantikan posisi ibumu dengan memberi kasih sayang ke kamu." Ucapku lagi sambil mengusap air mata.
Sanja terdiam. Kemudian bicara.
"Bukan kasih sayang, tapi perhatian." Terlihat wajahnya, menunjukan dia sedih.
"Hampiri Yena. Aku tidak ingin kamu kehilangan sahabat juga seperti aku. Aku akan berusaha menjadi istri yang pengertian." Ucapku menahan emosi.
Aku memilih masuk ke dalam mobil. Di sana aku sudah berhenti menangis tapi masih sesenggukan.
Lamaku menunggu. Akhirnya Sanja tiba juga.
Dia duduk di sampingku. Lalu menjalankan mobilnya. Melihatku diam. Sanja bercerita.
"Yena, dia anak yatim piatu..."
"...orang tuanya dulu berkerja keluar pulau lalu mengontrak rumah di kota ini yang jauh dari keluarga besarnya. Saat ayah dan ibunya tewas dalam kecelakaan, dia hidup sebatang kara..."
Aku tertegun mengetahuinya. Tangisanku seketika berhenti.
"...dia hampir terjerumus di dunia gelap. Beruntung aku melihatnya waktu itu. Aku menjadi pelanggan pertamanya. Karena dia perawan. Aku harus mengeluarkan banyak uang. Termasuk tabunganku yang ingin ku gunakan sebagai modal usaha..."
"Kamu tergoda dengan Yena waktu itu?" Tanyaku, mengingat Yena lebih cantik dan bertubuh indah dibandingkanku.
"Saat itu adalah ujian terberatku! Tapi itu adalah awal aku bisa mengutamakan akal dibandingkan nafsu." Balas Sanja.
Aku diam untuk mendengar penjelasannya lagi.
"...daripada menghancurkan hidupnya aku memilih membangun kembali hidupnya. Jadi aku memberi dia tempat tinggal..."
"...setelah itu, aku berjuang bersamanya, dibawah dukungannya aku membangun kerajaan bisnis dari nol..."
Mendengar kisah masa lalu Yena, aku tahu alasan kenapa Sanja tidak menggunakan uang sama sekali untuk memulai bisnis. Dia hanya membutuhkan motivasi.
"...semenjak itu, aku menggantikan posisi kedua orang tuanya, dari membiayai kehidupan hingga kuliah agar bisa mewujudkan cita-citanya..."
"Kenapa berhenti bercerita? Aku mendengarkanmu! Meski tidak aku balas." Tanyaku.
"Kita sudah sampai di mesjid, sebentar lagi waktu Zuhur tiba. Di depan mesjid ada supermarket. Mungkin kamu ingin beli sesuatu?" Balas Sanja.
Sanja menemaniku ke supermarket untuk membeli bahan makanan buat dimasak untuk berbuka puasa nanti.
"Kamu suka dimasakan apa?" Tanyaku.
"Apapun yang kamu suka!" Jawab Sanja bikin aku bingung.
"Kalau gitu sebutin apa yang tidak kamu suka?" Tanyaku lagi.
"Yang tidak aku suka, jika aku membuatmu bersedih." Balasnya bikin aku tersenyum.
"Aku tidak sedih lagi, kamu tidak perlu khawatir." Balasku.
Selesai belanja. Kami masukan belanjaan ke mobil lalu menuju mesjid tidak bersamaan. Saat aku ingin masuk mesjid, baru sampai halaman. Aku merasakan ada yang salah. Aku memilih duduk saja di halaman mesjid menunggu Sanja tiba karena jarak mobil cukup jauh dan banyak orang yang lalu lalang.
Tidak beberapa lama Sanja datang dan menghampiriku.
"Kamu di sini saja dari tadi?"
"Iya Sanja, aku kayaknya lagi ments." Balasku pelan.
"Kamu women bukan men!" Jawab Sanja aneh.
"Jangan becanda Sanja." Balasku tidak suka.
Sanja duduk di depanku.
"Kamu tidak menghitung siklusnya?" Tanyanya serius.
"Udah. Kayaknya tidak teratur. Aku lupa buat persiapan." Jawabku.
"Apa gara-gara aku buatmu setres. Maafkan aku..."
"Aku terlalu bahagia Sanja. Udah, ambilkan jaketku di dalam koper di mobil." Potongku.
Sanja mengambilkan jaket yang kupinta. Aku segera mengambil lalu mengikatnya dipinggang dan menutupi bagian belakangku.
Kami kemudian masuk ke mobil dan melanjutkan pergi ke rumah baru.
Di dalam perjalanan.
"Kita akan tinggal di desa. Jauh dari pusat kota. Udaranya masih segar." Ucap Sanja.
"Kemanapun kamu membawaku. Itu tidak masalah." Balasku, berhasil membuatnya tersenyum.
Aku seperti mengenal jalan ini.
"Jalannya bagus dan mulus! Aku gak nyangka pemerintah memperhatikan desa yang jauh juga." Komentarku.
"Seperti daerah lainnya. Jika jauh dari pusat pemerintahan maka pembangunan tidak diploritaskan." Balas Sanja.
"Maksudmu jalan ini bukan pemerintah yang bangun. Pantesan aku rasa pernah lewat sini. Dulu jalan ini sangat rusak. Saat berkemah dulu mobil kami terjebak lumpur." Aku bercerita pengalaman SMAku dulu.
"Jalan ini baru saja selesai diperbaiki." Sambung Sanja.
"Siapa yang memperbaikinya?" Tanyaku.
Sanja terdiam. Bikin aku curiga ini ulahnya.
"Kita sudah sampai!" Ucap Sanja.
Kami keluar dari mobil dan aku dibuat heran lagi.
"Rumahnya cukup mewah. Aku pikir kamu tidak suka hidup bermewah-mewahan." Komentarku.
"Sepertinya aku kenal apa yang kamu ucapkan. Kayak judul lagu." Balas Sanja.
"Maaf Sanja, bukan menuduhmu seperti koruptor." Balasku cemas.
Sanja tersenyum.
"Ini rumah pak RT, kita lapor dulu." Jawab Sanja.
"Oh, hehe." Balasku malu sambil tersenyum.
Di dalam rumah, kami di sambut pak RT dan dipersilahkan duduk.
"Ini istri saya, pak. Lina." Sanja memperkenalkanku.
"Jadi dia yang kamu ceritakan. Kalian terlihat sama-sama muda. Bukan tidak percaya. Bapak ingin lihat buku nikah kalian." Ucap Pak RT.
Aku segera menyerahkan buku nikah kami. Setelah di data. Kami bersiap pergi.
Tidak membutuhkan waktu lama kami sampai di rumah yang dimaksud Sanja.
"Terlihat terlalu sederhana ya?" Tanya Sanja.
"Asalkan dapat berlindung dari panas dan hujan, itu sudah cukup." Balasku.
Rumah ini minimalis, tanpa pagar, berlantai dua. Ada satu pintu besar mungkin itu buat mobil dan ada pintu kecil, kami masuk lewat sana. Pintu ini di buka dengan cara digeser. Di dalam kami dihadapkan ruang tamu putih polos dengan hanya ada meja dan sofa berwarna abu-abu. Kami lanjut ke ruang berikutnya. Di samping kanan ada kamar kecil dan kamar mandi saling berdampingan. Di sisi kiri ada tangga menuju lantai dua. Di depan ada dapur yang menyatu dengan meja makan. Sanja meletakan bahan makanan di sana.
"Kamar kita ada di lantai dua." Ucap Sanja mempersilahkanku naik duluan. Diikuti dirinya sambil bawa koperku.
Sampai di lantai atas. Kami disungguhkan pemadangan ruang keluarga yang indah.
"Kamar kita ada di kanan. Yang di kiri kamar kosong." Ucap Sanja, tapi aku masih ingin menikmati ruang keluarga ini. Apalagi karpet yang ku injak terasa lembut.
Ku pikir Sanja akan bikin dinding rumah ini polos, ternyata saat aku menoleh ke belakang ada foto kami di dinding saat di pantai tersembunyi dan saat menikah di kantor polisi. Membuatku sedikit terharu. Di bawahnya ada TV, akan membuatku dilema memilih melihat acara TV atau foto kami berdua.
"Di depan ada teras. Maaf ya. Terasnya gak di lantai satu." Ucap Sanja.
"Gak apa Sanja. Aku bisa menikmati pemandangan desa tanpa takut diganggu orang kalau di lantai dua." Balasku.
Dia tersenyum. Rumah rancangannya sesuai harapanku.
"Ayo kita ke kamar!" Ajakku.
Sesampainya di kamar yang cukup luas. Di sebelah kanan aku melihat ada dua meja dengan pasangannya bangku, satunya dilengkapi cermin dan satunya dilengkapi komputer yang dipisahkan sebuah lemari. Aku sedikit tersenyum karena merasa lucu. Senyumanku sirna saat melihat kasur lebar di sisi kiri.
"Isi kopermu. Mau aku bantu masukan ke dalam lemari." Ucap Sanja.
"Iya." Jawabku singkat.
Kami saling membantu memasukan pakaianku ke dalam lemari bahkan hampir bersamaan.
"Maaf ya, gara-garaku Ments aku tidak bisa memberikan malam pertama untukmu!" Ucapku.
"Kamu lupa, aku tidak memiliki kemampuan untuk itu. Jadi tidak masalah." Balas Sanja.
"Tapi, aku rasa nafsu priamu masih ada. Tidak sepenuhnya hilang. Ketika di kantor malam kemaren, kamu gugupkan saat aku goda?" Tanyaku.
Sanja cuma diam.
"Jawab Sanja!" Ucapku kesal.
"Ada pilihannya..." Tanya balik Sanja.
"Ih, Sanja... Emang kuis?" Ucapku kesal.
Tiba-tiba bunyi bel berbunyi dan terdengar jelas dari lantai dua.
Saat aku menoleh ke arah Sanja, dia tidak ada. Aku mulai cemas.
Aku ke luar kamar.
"Sanja, kamu ada di mana?" Ucapku tapi tidak ada jawaban.
Aku melihat di teras lewat jendela ada tangga. Aku pergi ke sana. Ternyata ada tangga lain di teras sebelah kiri yang menuju ke lantai satu. Di sebelah kanan ada tangga yang kulihat tadi menuju ke atas.
Apa rumah ini punya tiga lantai. Pikirku. Tapi aku memilih ke lantai satu. Berpikiran Sanja sedang menyambut tamu di sana.
Turun ke lantai satu aku sampai ke garasi ada motor Sanja di sana dan pintu menuju ruang tamu. Saat aku masuk ke ruang tamu. Tidak ada Sanja. Aku mulai ragu. Tapi entah kenapa ada dorongan untuk membuka pintu.
Saat aku menyentuh ganggang pintu. Tiba-tiba...
(Bersambung)
"Kamu ingin bilang tentang Sanja yang harus aku tahukan! Katakanlah ." Ucapku tidak ingin berlama-lama di sini.
"Aku sering menelponnya saat bangun tidur tengah malam. Jam berapa pun, dia selalu mengangkat telponku dengan cepat. Karena itu, aku tahu Sanja mengidap insomnia yang aneh! " Balas Yena. Buatku ragu dia bukan sekedar sahabat.
"Aneh gimana?" Dibandingkan menanyakan kenapa dia selalu menelpon Sanja, aku jauh lebih penasaran tentang Sanja.
"Aku berpikir dia hanya membutuhkan waktu tidur sedikit. Jadi jangan kasih dia Kopi..."
"Dia punya penyakit elergi Kopi?" Tanyaku cemas.
"Dia bisa lupa untuk tidur kalau dikasih kopi, haha." Balas Yena mencoba bercanda denganku.
Melihatku tidak tertawa Yena melanjutkan bicara.
"Aku tahu Sanja jarang tidur, ketika tengah malam aku sering ke rumahnya, dia langsung membukakan pintu saat aku tiba. Padahal aku datang dijam yang berbeda dan kami tidak janji sebelumnya. Anehnya lagi, wajahnya tidak menunjukan rasa ngantuk sama sekali." Penjelasan Yena bikin aku kesal.
"Ngapain kamu tengah malam ke rumah Sanja?"
"Memberikan dia jatah!" Jawaban Yena bikin aku tercengang.
"Apa kamu bilang?"
"Maksud aku kebiasaan makannya berbeda dari orang pada umumnya!" Yena tidak menjawab pertanyaanku malah menambah misteri tentang Sanja.
"Berbeda seperti apa? Apa dia membutuhkan darah suci? "' Tanyaku mulai takut, dugaan liarku muncul, efek jadi penggemar sinetron Ganteng Ganteng Serigala dulu.
"Tetap makanan manusialah..." Jawab Yena kesal.
"...Aku memasakan makanan buat Sanja dan mengantarkannya. Karena dia terlihat lemas. Aku berinisiatif, menambah jatah makannya saat tengah malam. Semenjak itu dia terlihat segar." Keterangan Yena memuaskan rasa penasaranku tentang Sanja tapi malah membuatku penasaran tentangnya.
"Sebenarnya kamu siapanya Sanja?"
"Dia selalu cerita tentang kehidupannya ke aku. Bisa dikatakan aku buku hariannya..."
Aku kesal, "Sebenarnya hubungan kalian sudah sejauh apa?"
"Jangan salah sangka dulu Lina. Semenjak kematian ibunya. Dia kurang kasih sayang dari sosok wanita. Kehadiranku dikehidupannya menggantikan sosok ibunya..."
Aku emosi, air mataku menetes.
"Kasih sayang seperti apa yang kamu berikan ke Sanja?"
"Katanya membicarakan tentang masalah pribadi wanita. Kenapa membicarakan aku?" Ucap Sanja yang tiba-tiba muncul.
"Selama ini aku melayani kamu. Karena kamu sudah punya pendamping hidup. Kamu tidak butuh aku lagi. Jadi aku cuma beri tahu dia bagaimana cara melayanimu!" Balas Yena sambil terlihat menahan air matanya.
"Lina bukan pelayan. Dia istriku." Jawab Sanja.
Yena langsung pergi ke arah Pukesmas. Aku tahu dia kesal. Tapi dia tetap mengerjakan perintah Sanja.
"Aku tidak tahu apa yang dikatakan Yena sampai kamu menangis. Apapun itu. Dia sudah aku anggap adikku sendiri." Ucap Sanja ke aku.
"Kalian seusiakan..." Ucapku kesal.
"Yena bilang, dia menggantikan posisi ibumu dengan memberi kasih sayang ke kamu." Ucapku lagi sambil mengusap air mata.
Sanja terdiam. Kemudian bicara.
"Bukan kasih sayang, tapi perhatian." Terlihat wajahnya, menunjukan dia sedih.
"Hampiri Yena. Aku tidak ingin kamu kehilangan sahabat juga seperti aku. Aku akan berusaha menjadi istri yang pengertian." Ucapku menahan emosi.
Aku memilih masuk ke dalam mobil. Di sana aku sudah berhenti menangis tapi masih sesenggukan.
Lamaku menunggu. Akhirnya Sanja tiba juga.
Dia duduk di sampingku. Lalu menjalankan mobilnya. Melihatku diam. Sanja bercerita.
"Yena, dia anak yatim piatu..."
"...orang tuanya dulu berkerja keluar pulau lalu mengontrak rumah di kota ini yang jauh dari keluarga besarnya. Saat ayah dan ibunya tewas dalam kecelakaan, dia hidup sebatang kara..."
Aku tertegun mengetahuinya. Tangisanku seketika berhenti.
"...dia hampir terjerumus di dunia gelap. Beruntung aku melihatnya waktu itu. Aku menjadi pelanggan pertamanya. Karena dia perawan. Aku harus mengeluarkan banyak uang. Termasuk tabunganku yang ingin ku gunakan sebagai modal usaha..."
"Kamu tergoda dengan Yena waktu itu?" Tanyaku, mengingat Yena lebih cantik dan bertubuh indah dibandingkanku.
"Saat itu adalah ujian terberatku! Tapi itu adalah awal aku bisa mengutamakan akal dibandingkan nafsu." Balas Sanja.
Aku diam untuk mendengar penjelasannya lagi.
"...daripada menghancurkan hidupnya aku memilih membangun kembali hidupnya. Jadi aku memberi dia tempat tinggal..."
"...setelah itu, aku berjuang bersamanya, dibawah dukungannya aku membangun kerajaan bisnis dari nol..."
Mendengar kisah masa lalu Yena, aku tahu alasan kenapa Sanja tidak menggunakan uang sama sekali untuk memulai bisnis. Dia hanya membutuhkan motivasi.
"...semenjak itu, aku menggantikan posisi kedua orang tuanya, dari membiayai kehidupan hingga kuliah agar bisa mewujudkan cita-citanya..."
"Kenapa berhenti bercerita? Aku mendengarkanmu! Meski tidak aku balas." Tanyaku.
"Kita sudah sampai di mesjid, sebentar lagi waktu Zuhur tiba. Di depan mesjid ada supermarket. Mungkin kamu ingin beli sesuatu?" Balas Sanja.
Sanja menemaniku ke supermarket untuk membeli bahan makanan buat dimasak untuk berbuka puasa nanti.
"Kamu suka dimasakan apa?" Tanyaku.
"Apapun yang kamu suka!" Jawab Sanja bikin aku bingung.
"Kalau gitu sebutin apa yang tidak kamu suka?" Tanyaku lagi.
"Yang tidak aku suka, jika aku membuatmu bersedih." Balasnya bikin aku tersenyum.
"Aku tidak sedih lagi, kamu tidak perlu khawatir." Balasku.
Selesai belanja. Kami masukan belanjaan ke mobil lalu menuju mesjid tidak bersamaan. Saat aku ingin masuk mesjid, baru sampai halaman. Aku merasakan ada yang salah. Aku memilih duduk saja di halaman mesjid menunggu Sanja tiba karena jarak mobil cukup jauh dan banyak orang yang lalu lalang.
Tidak beberapa lama Sanja datang dan menghampiriku.
"Kamu di sini saja dari tadi?"
"Iya Sanja, aku kayaknya lagi ments." Balasku pelan.
"Kamu women bukan men!" Jawab Sanja aneh.
"Jangan becanda Sanja." Balasku tidak suka.
Sanja duduk di depanku.
"Kamu tidak menghitung siklusnya?" Tanyanya serius.
"Udah. Kayaknya tidak teratur. Aku lupa buat persiapan." Jawabku.
"Apa gara-gara aku buatmu setres. Maafkan aku..."
"Aku terlalu bahagia Sanja. Udah, ambilkan jaketku di dalam koper di mobil." Potongku.
Sanja mengambilkan jaket yang kupinta. Aku segera mengambil lalu mengikatnya dipinggang dan menutupi bagian belakangku.
Kami kemudian masuk ke mobil dan melanjutkan pergi ke rumah baru.
Di dalam perjalanan.
"Kita akan tinggal di desa. Jauh dari pusat kota. Udaranya masih segar." Ucap Sanja.
"Kemanapun kamu membawaku. Itu tidak masalah." Balasku, berhasil membuatnya tersenyum.
Aku seperti mengenal jalan ini.
"Jalannya bagus dan mulus! Aku gak nyangka pemerintah memperhatikan desa yang jauh juga." Komentarku.
"Seperti daerah lainnya. Jika jauh dari pusat pemerintahan maka pembangunan tidak diploritaskan." Balas Sanja.
"Maksudmu jalan ini bukan pemerintah yang bangun. Pantesan aku rasa pernah lewat sini. Dulu jalan ini sangat rusak. Saat berkemah dulu mobil kami terjebak lumpur." Aku bercerita pengalaman SMAku dulu.
"Jalan ini baru saja selesai diperbaiki." Sambung Sanja.
"Siapa yang memperbaikinya?" Tanyaku.
Sanja terdiam. Bikin aku curiga ini ulahnya.
"Kita sudah sampai!" Ucap Sanja.
Kami keluar dari mobil dan aku dibuat heran lagi.
"Rumahnya cukup mewah. Aku pikir kamu tidak suka hidup bermewah-mewahan." Komentarku.
"Sepertinya aku kenal apa yang kamu ucapkan. Kayak judul lagu." Balas Sanja.
"Maaf Sanja, bukan menuduhmu seperti koruptor." Balasku cemas.
Sanja tersenyum.
"Ini rumah pak RT, kita lapor dulu." Jawab Sanja.
"Oh, hehe." Balasku malu sambil tersenyum.
Di dalam rumah, kami di sambut pak RT dan dipersilahkan duduk.
"Ini istri saya, pak. Lina." Sanja memperkenalkanku.
"Jadi dia yang kamu ceritakan. Kalian terlihat sama-sama muda. Bukan tidak percaya. Bapak ingin lihat buku nikah kalian." Ucap Pak RT.
Aku segera menyerahkan buku nikah kami. Setelah di data. Kami bersiap pergi.
Tidak membutuhkan waktu lama kami sampai di rumah yang dimaksud Sanja.
"Terlihat terlalu sederhana ya?" Tanya Sanja.
"Asalkan dapat berlindung dari panas dan hujan, itu sudah cukup." Balasku.
Rumah ini minimalis, tanpa pagar, berlantai dua. Ada satu pintu besar mungkin itu buat mobil dan ada pintu kecil, kami masuk lewat sana. Pintu ini di buka dengan cara digeser. Di dalam kami dihadapkan ruang tamu putih polos dengan hanya ada meja dan sofa berwarna abu-abu. Kami lanjut ke ruang berikutnya. Di samping kanan ada kamar kecil dan kamar mandi saling berdampingan. Di sisi kiri ada tangga menuju lantai dua. Di depan ada dapur yang menyatu dengan meja makan. Sanja meletakan bahan makanan di sana.
"Kamar kita ada di lantai dua." Ucap Sanja mempersilahkanku naik duluan. Diikuti dirinya sambil bawa koperku.
Sampai di lantai atas. Kami disungguhkan pemadangan ruang keluarga yang indah.
"Kamar kita ada di kanan. Yang di kiri kamar kosong." Ucap Sanja, tapi aku masih ingin menikmati ruang keluarga ini. Apalagi karpet yang ku injak terasa lembut.
Ku pikir Sanja akan bikin dinding rumah ini polos, ternyata saat aku menoleh ke belakang ada foto kami di dinding saat di pantai tersembunyi dan saat menikah di kantor polisi. Membuatku sedikit terharu. Di bawahnya ada TV, akan membuatku dilema memilih melihat acara TV atau foto kami berdua.
"Di depan ada teras. Maaf ya. Terasnya gak di lantai satu." Ucap Sanja.
"Gak apa Sanja. Aku bisa menikmati pemandangan desa tanpa takut diganggu orang kalau di lantai dua." Balasku.
Dia tersenyum. Rumah rancangannya sesuai harapanku.
"Ayo kita ke kamar!" Ajakku.
Sesampainya di kamar yang cukup luas. Di sebelah kanan aku melihat ada dua meja dengan pasangannya bangku, satunya dilengkapi cermin dan satunya dilengkapi komputer yang dipisahkan sebuah lemari. Aku sedikit tersenyum karena merasa lucu. Senyumanku sirna saat melihat kasur lebar di sisi kiri.
"Isi kopermu. Mau aku bantu masukan ke dalam lemari." Ucap Sanja.
"Iya." Jawabku singkat.
Kami saling membantu memasukan pakaianku ke dalam lemari bahkan hampir bersamaan.
"Maaf ya, gara-garaku Ments aku tidak bisa memberikan malam pertama untukmu!" Ucapku.
"Kamu lupa, aku tidak memiliki kemampuan untuk itu. Jadi tidak masalah." Balas Sanja.
"Tapi, aku rasa nafsu priamu masih ada. Tidak sepenuhnya hilang. Ketika di kantor malam kemaren, kamu gugupkan saat aku goda?" Tanyaku.
Sanja cuma diam.
"Jawab Sanja!" Ucapku kesal.
"Ada pilihannya..." Tanya balik Sanja.
"Ih, Sanja... Emang kuis?" Ucapku kesal.
Tiba-tiba bunyi bel berbunyi dan terdengar jelas dari lantai dua.
Saat aku menoleh ke arah Sanja, dia tidak ada. Aku mulai cemas.
Aku ke luar kamar.
"Sanja, kamu ada di mana?" Ucapku tapi tidak ada jawaban.
Aku melihat di teras lewat jendela ada tangga. Aku pergi ke sana. Ternyata ada tangga lain di teras sebelah kiri yang menuju ke lantai satu. Di sebelah kanan ada tangga yang kulihat tadi menuju ke atas.
Apa rumah ini punya tiga lantai. Pikirku. Tapi aku memilih ke lantai satu. Berpikiran Sanja sedang menyambut tamu di sana.
Turun ke lantai satu aku sampai ke garasi ada motor Sanja di sana dan pintu menuju ruang tamu. Saat aku masuk ke ruang tamu. Tidak ada Sanja. Aku mulai ragu. Tapi entah kenapa ada dorongan untuk membuka pintu.
Saat aku menyentuh ganggang pintu. Tiba-tiba...
(Bersambung)
Posting Komentar
Posting Komentar