Cerpen Indonesia

Kumpulan Cerita Pendek dan Bersambung Yang Menarik Berbahasa Indonesia

Iklan Atas Artikel

Selalu Mendapat Jawaban (Part 25)

Author
Published Minggu, Juli 01, 2018
Selalu Mendapat Jawaban (Part 25)
Sintia terlihat kaget.
"Kamu mau mengambil mata kanan Sanja?" Tanyaku ke Sintia.
"Buat apa aku melakukan itu? Aku cuma membersihkan darah di wajah Sanja." Balas Sintia terlihat panik.
"Buat gantiin matamu agar dapat mengeluarkan dan memasukan roh lewat mata itu!" Ucapku meski cuma dugaan aku menyampaikannya dengan yakin.
"Kamu terlalu banyak nonton kartun." Ucap Sanja.
"Terus kenapa matamu mengeluarkan darah? apa karena kamu terlalu lama mengeluarkan rohmu." Balasku menduga.
"Ini mungkin penyakit sama yang terjadi di India, Haemolacria" Jawab Sanja, diapun tidak yakin.
"Maksudmu nangis darah. Tapi kenapa mata kananmu berwarna hitam pekat, itu sangat jarang dan sama dengan mata burung gagak. Sedangkan mata kirimu berwarna coklat." Balasku lagi.
"Itu mungkin kelainan, dalam dunia kedokteran kalau gak salah disebut Heterochromia Iridium." Jelas Sanja.

Aku menyerah. Sanja selalu mendapat jawaban logisnya. Dugaan dia punya kemampuan mistis masih belum cukup kuat.
"Biar aku yang bersihkan." Ucapku.
Sintia bergeser untuk memberikan ruang untukku duduk. Sambil membersihkan darah di wajah Sanja aku bicara.
"Berapa lama Sanja cuma duduk diam?" Tanyaku ke Sintia.
"Mungkin sekitar 9 menitan. Sanja lagi berpikir setelah mendengar penjelasanku tentang adikku yang hilang." Jelas Sintia. Aku berpikir berbeda. Menurutku itu terjadi karena Sanja terlalu lama mengeluarkan rohnya. Tapi percuma jika aku ungkapkan hal itu pasti tidak akan dipercaya.

"Sudah cukup. Nanti tanganmu pegal." Ucap Sanja memegang tanganku agar berhenti membersihkan darah di wajahnya yang tidak keluar lagi dari mata kanannya.
"Kalau cuma diam saja kita tidak akan menemukan adik Sintia." Lanjutku.
"Semua sudut rumah sudah ditelusuri, sama sekali tidak ada petunjuk." Jawab Sintia.
"Gambar buatan adikmu ini bisa jadi petunjuk." Balas Sanja sambil mengambil kertas di meja.
Aku mencoba melihatnya. Terlihat terlalu seram untuk di gambar oleh anak SD. Seperti coretan, hanya saja membentuk tubuh panjang lengkap dengan dua tangan, dua kaki dan satu kepala.

"Kamu sudah lapor polisi?" Tanyaku ke Sintia.
"Kejadiannya baru malam tadi, tiba-tiba adikku tidak ada di tempat tidur." Balas Sintia.
"Harus segera di cari cepat oleh polisi. Nanti penculiknya akan membawa jauh adikmu." Balasku.

Ibu Sintia mendengar kami lalu menghampiri.
"Biar ibu saya yang lapor ke kantor polisi. Jika pergi ke sekolah, kunci saja rumahnya." Kemudian ibu Sintia pergi.
"Jadi cuma kita bertiga di rumah?" Tanya Sanja.
"Iya." Kata Sintia.

Tidak beberapa lama Sintia mendapat telpon. Lalu melempar HPnya ke meja.
"Ih ketua kelas sombong banget. Masa gak pake salam langsung bicara, gak sempat aku bicara langsung di tutup." Ucap Sintia kesal.
"Gak penting keluhmu. Yang penting pesan ketua kelas." Balasku.
"Katanya sekolah diliburkan." Jawab Sintia.
"Ada kasus apalagi di sekolah kalian?" Tanya Sanja.
"Kunci sekolah hilang semua." Balas Sintia.

"Prankkk!" Tiba-tiba terdengar suara piring pecah di dapur.
"Apa itu?" Tanyaku panik.
"Mungkin Hamster." Balas Sintia ragu.
"Kamu memeliharanya?" Tanya Sanja.
"Gak." Jawab Sintia.
"Berarti itu tikus. Gak usah dibikin keren sebutannya." Balasku.
"Prakkk!" Kemudian terdengar lagi dari arah berlawanan di dalam kamar Sintia, seperti suara pot jatuh dan pecah.
"Itu apa lagi?" Tanyaku selalu penasaran.
"Mungkin Anggora." Balas Sintia.
"Kucing kali. Kaya kebun binatang aja rumahmu." Ucapku.
"Emang kamu punya?" Tanya Sanja.
"Gak. Kok rumahku jadi seram gini sih." Sambung Sintia terlihat cemas.

(Bersambung)

Posting Komentar