Siswi dan Pakaiannya (Part 13)
Ahaya memegangi kepalanya yang berdarah. Sebuah batu tergeletak di dekatnya. Aku mencoba menoleh ke belakangnya, tapi dia menghalangiku. Sekilas aku melihat kaca jendela sudah pecah. Suara pecahan kaca kalah keras dengan teriakan orang-orang di luar, "BUNUH BALAS BUNUH!!!"
Kejadiannya sangat cepat Ahaya diseret keluar oleh sejumlah orang, "Ampun pak..." Tapi ucapannya diabaikan.
Sejumlah orang mencoba merobek pakaiannya, "Jangan, AKKKH" Teriak Ahaya.
Aku segera ingin mencegah, tapi Buna menahanku, "Jangan Enli, bahaya!"
Kak Enja terlihat sangat cepat melewati kami dan mendorong warga yang melepaskan baju Ahaya.
Saling dorong terjadi. Suasana pagi itu, menjadi sangat mencekam.
Kak Enja melepaskan jaket putihnya dan menutupi badan Ahaya, "Dia perempuan yang punya perasaan, kalian tidak punya hati, mempermalukannya begini!"
Beberapa warga juga berusaha merekam dengan HPnya, "Dia mempermalukan orang lain, pantas juga dipermalukan!"
Kak Enja menatap para ke warga, "Yang mengubur perempuan itu dalam kondisi tanpa busana bukan dia, walaupun dia mengakui yang membelah perut dan mengeluarkan bayinya, tapi itu dilakukan untuk memancing pembunuhnya!" Entah apa yang terjadi tiba-tiba mereka terdiam dan memperhatikan penjelasan kakak.
Aku ke sana perlahan. Ahaya memelukku. Aku segera membawanya ke dalam. Alangkah terkejutnya aku di atas rumah bertengger puluhan burung Gagak hitam. Jadi itu yang menyita perhatian warga. Aku meneruskan melangkah masuk ke rumah. Menganggap kejadian aneh itu tidak ada. Sekilas aku menoleh ke belakang, terlihat para warga membubarkan diri. Tidak beberapa lama terdengar suara sirine mobil polisi datang mendekat.
Di dalam kamar, aku memberikan pakaian baru untuk Ahaya.
Buna terlihat panik, "Ahaya, sebaiknya kamu melarikan diri lewat pintu belakang. Enja sedang berusaha menahan polisi itu di luar."
Ahaya justru menuju pintu depan, "Aku tahu, Enja seperti apa! Tidak mungkin dia mau mencegah polisi itu."
Entah sejauh mana Ahaya mengenal kak Enja. Yang dia katakan benar. Kak Enja datang dengan jaket baru berwarna hitam dari balik pintu bersama polisi. Ahaya yang menghampiri mereka langsung diborgol dan dibawa oleh polisi.
Aku kesal dengan kak Enja, "Kakak sebagai pacar, seharusnya melindungi bukan menyerahkan."
Salah satu mata kak Enja terlihat meneteskan air mata sedangkan salah satunya tidak, "Dia bukan pacarku."
Dia sepertinya sangat sedih tapi menyembunyikan dengan wajah yang biasa saja.
...
Pagi itu berlalu. Sekarang tibalah senja menyapa. Diluar rumah kak Enja sedang sibuk memperbaiki kaca jendela rumah yang pecah.
Karena ibu tiba-tiba harus menjenguk kakek, ayah dari ayah kami, yang lagi sakit. Jadi, cuma aku dan kak Enja di rumah. Kami terpaksa tidak ikut karena harus sekolah besok.
Aku mengantarkan minuman dan kue untuk kakak. Aku teringat dengan keanehannya, "Kak, aku mau tanya?"
Kakak menghampiriku. Bulu kudukku seketika merinding, cahaya senja yang terlihat indah tiba-tiba terlindungi oleh awan hingga membuat langit mendung dan gelap, "Iya, tanya saja!"
Dengan keadaan gugup aku beranikan bicara, "Mereka tadi, seperti takut melihat kakak! Apa yang kakak perbuat?"
Kakak melepaskan jaketnya, membuatku cemas, "Kakak mau apa?" Tanyaku panik.
Kak Enja malah tersenyum, "Berhubung tidak ada ibu, tidak apa jika aku melakukannya, aku sudah menginginkan ini sejak lama."
(Bersambung)
Kejadiannya sangat cepat Ahaya diseret keluar oleh sejumlah orang, "Ampun pak..." Tapi ucapannya diabaikan.
Sejumlah orang mencoba merobek pakaiannya, "Jangan, AKKKH" Teriak Ahaya.
Aku segera ingin mencegah, tapi Buna menahanku, "Jangan Enli, bahaya!"
Kak Enja terlihat sangat cepat melewati kami dan mendorong warga yang melepaskan baju Ahaya.
Saling dorong terjadi. Suasana pagi itu, menjadi sangat mencekam.
Kak Enja melepaskan jaket putihnya dan menutupi badan Ahaya, "Dia perempuan yang punya perasaan, kalian tidak punya hati, mempermalukannya begini!"
Beberapa warga juga berusaha merekam dengan HPnya, "Dia mempermalukan orang lain, pantas juga dipermalukan!"
Kak Enja menatap para ke warga, "Yang mengubur perempuan itu dalam kondisi tanpa busana bukan dia, walaupun dia mengakui yang membelah perut dan mengeluarkan bayinya, tapi itu dilakukan untuk memancing pembunuhnya!" Entah apa yang terjadi tiba-tiba mereka terdiam dan memperhatikan penjelasan kakak.
Aku ke sana perlahan. Ahaya memelukku. Aku segera membawanya ke dalam. Alangkah terkejutnya aku di atas rumah bertengger puluhan burung Gagak hitam. Jadi itu yang menyita perhatian warga. Aku meneruskan melangkah masuk ke rumah. Menganggap kejadian aneh itu tidak ada. Sekilas aku menoleh ke belakang, terlihat para warga membubarkan diri. Tidak beberapa lama terdengar suara sirine mobil polisi datang mendekat.
Di dalam kamar, aku memberikan pakaian baru untuk Ahaya.
Buna terlihat panik, "Ahaya, sebaiknya kamu melarikan diri lewat pintu belakang. Enja sedang berusaha menahan polisi itu di luar."
Ahaya justru menuju pintu depan, "Aku tahu, Enja seperti apa! Tidak mungkin dia mau mencegah polisi itu."
Entah sejauh mana Ahaya mengenal kak Enja. Yang dia katakan benar. Kak Enja datang dengan jaket baru berwarna hitam dari balik pintu bersama polisi. Ahaya yang menghampiri mereka langsung diborgol dan dibawa oleh polisi.
Aku kesal dengan kak Enja, "Kakak sebagai pacar, seharusnya melindungi bukan menyerahkan."
Salah satu mata kak Enja terlihat meneteskan air mata sedangkan salah satunya tidak, "Dia bukan pacarku."
Dia sepertinya sangat sedih tapi menyembunyikan dengan wajah yang biasa saja.
...
Pagi itu berlalu. Sekarang tibalah senja menyapa. Diluar rumah kak Enja sedang sibuk memperbaiki kaca jendela rumah yang pecah.
Karena ibu tiba-tiba harus menjenguk kakek, ayah dari ayah kami, yang lagi sakit. Jadi, cuma aku dan kak Enja di rumah. Kami terpaksa tidak ikut karena harus sekolah besok.
Aku mengantarkan minuman dan kue untuk kakak. Aku teringat dengan keanehannya, "Kak, aku mau tanya?"
Kakak menghampiriku. Bulu kudukku seketika merinding, cahaya senja yang terlihat indah tiba-tiba terlindungi oleh awan hingga membuat langit mendung dan gelap, "Iya, tanya saja!"
Dengan keadaan gugup aku beranikan bicara, "Mereka tadi, seperti takut melihat kakak! Apa yang kakak perbuat?"
Kakak melepaskan jaketnya, membuatku cemas, "Kakak mau apa?" Tanyaku panik.
Kak Enja malah tersenyum, "Berhubung tidak ada ibu, tidak apa jika aku melakukannya, aku sudah menginginkan ini sejak lama."
(Bersambung)
Posting Komentar
Posting Komentar