Tidak Memiliki Ketertarikan (Part 32)
Suasana di dalam toilet semakin dingin. Lampu kedap kedip dan mulai redup. Di luar terdengar suara-suara aneh. Aku segera mengakhiri pembicaraanku lewat telpon dengan Sintia.
"Nanti aku hubungi lagi, jangan lupa bawa bonekanya." Ucapku kemudian menutup telpon.
Sendiri saja sudah menakutkan apalagi berlama-lama di tempat sepi. Aku bergegas keluar. Saat berada di luar, langit sudah gelap. Di sertai hujan yang turun kembali. Sambil gemetar aku membuka payung yang diberikan Sanja. Ketika memperhatikan ke depan aku lupa di mana posisi mobil Sanja berada, pikiranku terlalu penuh dengan niat jahatku pada Sanja. Bahkan lampu mobil Sanjapun berbaur sempurna dengan lampu pagar taman.
Dipenuhi rasa cemas aku mengeluarkan HP untuk mengaktifkan lampu led sebagai alat bantu penerangan jalan yang kulewati nanti. Nasibku benar-benar sial, HPku malah jatuh ke kubangan lumpur. Awalnya kupikir begitu ternyata malah masuk ke dalam aliran selokan, HPku hanyut. Aku kejar, justru aku kecebur. Paling tidak HP ku bisa ku dapatkan kembali walaupun HPnya mati. Yang pertama aku lakukan menepuk jidat.
"Betapa cerobohnya kamu, Lina." Ngatain diri sendiri.
Lalu mengeluarkan kartu SIM telponnya, cuma ini satu-satunya penghubungku dengan Sanja. Aku membuka kalung liontinku dan memasukan SIMnya di sana.
Saat aku cari payungku. Payungku udah hilang di bawa lari angin entah ke mana.
Aku memberanikan diri menerobos hujan dan kegelapan malam. Hasilnya kakiku terjebak di lumpur. Napasku mulai tidak beraturan, sudah dipastikan aku deg-degan.
"Jangan mendekat..." Teriakku mendengar langkah kaki mendekatiku.
"Aku punya kenalan polisi..." Ancamanku justru membuat langkah kaki semakin jelas terdengar di tengah-tengah suara gerimis.
"Jangan macam-macam denganku..." Ucapku tegas.
Tapi itu percuma. Dia semakin mendekat dan menyentuh bahuku.
Aku menunduk, "Tolong kasihani aku..."
"Lina, kamu tidak apa-apa?" Itu suara Sanja.
Sanja membantuku berdiri. Aku menangis, malu dan kesal.
Melampiaskannya dengan memukul dada Sanja berkali-kali, tapi Sanja hanya diam.
"Kamu kejutkan aku, Sanja." Marahku.
"Maaf. Aku mengkhawatirkanmu." Balasnya.
Aku terlalu lelah. Kepalaku terasa pusing.
Saat aku bangun. Aku sudah berada di kasur. Cahaya matahari bersinar lewat celah jendela, apa itu mentari atau senja. Aku memegang pakaianku. Terasa hangat. Perasaanku sudah mulai tidak enak. Aku menyingkirkan selimut. Benar saja, pakaianku sudah diganti. Aku syok.
Meskipun Sanja tidak mempunyai nafsu dan aku tidak di apa-apain. Tetap saja, aku tidak terima Sanja mengganti pakaianku yang basah walaupun dia pacarku.
"Sanjaaa..." Teriakku histeris.
"Ada apa Lina?" Ibuku masuk ke kamar.
Aku memperhatikan ke sekeliling. Baru sadar ini kamarku sendiri, aku kira kamar Sanja.
"Tadi malam kamu diantar oleh pacar dan sahabatmu dalam keadaan basah kuyub. " Ucap Ibu melihatku bingung.
"Sanja dan Aya maksud ibu!" Tanyaku memastikan.
"Iya." Jawab ibu dan membuatku lega, pasti ibu yang gantikan pakaianku.
Aku segera mengambil HP jadulku dan memasukan SIM yang ku keluarkan dari liontinku, lalu menghubungi Aya untuk tahu posisinya. Jika Aya di rumah Yena, aku bisa tanya ke Yena di mana rumah Sanja. Lucukan, aku sendiri gak tahu rumah pacarku, harus lewat orang segala. Aku berencana mau kasih Sanja kejutan.
Aku juga hubungi Sintia untuk minta dijemput mumpung bisa dimanfaatkan kembali dan yang terpenting karena aku gak bisa bawa motor sekaligus mobil.
Setelah mandi yang lebih mirip bertapa saking lamanya, lalu berpakaian rapi dan menemui Sintia yang udah hampir lumutan karena lama menungguku. Bagaimanapun aku harus berpenampilan sempurna untuk berkunjung pertama kalinya ke rumah Sanja.
"Kamu sudah nunggu lama?" Tanyaku menyapa Sintia, basa-basi.
"Tidak. Ayo kita pergi." Jawab Sintia sambil berdiri dari duduknya.
"Aduh, kakiku kesemutan." Ucap Sintia memegangi kakinya.
"Maaf ya." Ucapku menyadari kesalahanku.
"Iya, gak apa-apa. Aku mengerti kok. Ini akan sembuh sendiri tanpa harus di obati." Balas Sintia, dan kalimat terakhirnya mirip dengan diucapkan Sanja.
"Kamu tidak apa?" Tanya Sintia lihat aku bengong.
"Iya tidak apa." Jawabku meski hati ini sakit.
Kami menuju alamat rumah Yena yang dikasih tahu Aya lewat SMS. Tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai di rumah Yena. Ternyata aku satu komplek dengannya tapi gak kenal dengan Yena. Resiko jadi anak rumahan.
Rumah Yena terbuat dari beton, minimalis berlantaikan dua, dan cukup terlihat mewah. Aku juga melihat mobil Sanja terpakir di dalam pagar rumahnya. Kami disapa oleh yang punya rumah.
"Kamu sudah baikan?" Tanya Yena sambil membuka pagar.
"Iya." Jawabku.
"Apa Sanja ada di dalam rumahmu?" Tanyaku.
"Sanja di rumahnya." Jawab Yena membuatku heran.
Kami masuk ke rumah Yena. Lalu duduk di ruang tamu. Tidak beberapa lama Aya datang membawa minuman dan cemilan.
"Kenapa Sanja pakir mobilnya di rumahmu? Apa di rumahnya gak ada tempat pakir." Tanyaku ke Yena.
"Sanja menyembunyikan kekayaannya dari keluarganya. Padahal keluarganya sendiri hidup sederhana meskipun berkecukupan. Dia akan menjadi anggota keluarga pertama yang kaya jika saja dia mengakuinya." Jelas Yena.
"Aneh, bukannya seharusnya Sanja menyembunyikan kekayaannya dari cewe yang dia suka biar gak dapat cewe matre." Sambung Aya melirikku.
"Dia bisa kaya memang bekerja apa?" Tanya Sintia penasaran.
"Selain pekerjaan yang sudah diketahui Lina. Dia sebelumnya sudah punya beberapa aset yang menghasilkan uang. Yang aku tahu cuma Resort, mungkin itu membuat dia kaya." Jelas Yena.
Aku baru tahu dia punya Resort. Tapi itu masih belum cukup mengobati rasa penasaranku.
"Kalau dia lama punya aset itu? kenapa dia baru bisa beli mobil." Tanyaku.
"Rumah ini juga punyanya." Jawab Yena.
Aku baru ingat, Sanja juga membiayai kuliah Yena.
"Kamu nyerahin apa saja, sampai Sanja nyerahin salah satu asetnya ke kamu?" Tanya Aya ke Yena.
Yena terlihat bingung harus jawab apa.
"Yena bekerja untuk Sanja, sebagai asistennya." Ucapku ngasal membantu Yena.
"Iya." Sambung Yena.
"Kamu sendiri kenapa berpakaian menarik gitu? Mau cari pacar cadangan?" Celoteh Aya lagi.
"Aku mau ke rumah pacarku lah!" Ucapku.
"Emang kamu diajak Sanja?" Ucap Aya.
Aku bingung harus berkata apa. Jika aku bilang, aku sendiri yang mau kesana pasti akan ditertawakannya.
Tiba-tiba HPku berbunyi. Dari Sanja.
"Kamu mau gak? kuajak bertemu dengan orang tuaku." Ucap Sanja, seakan dia selalu ada saat aku butuhkan.
"Iya, tentu." Jawabku, kaget dan kagum. Justru dia yang memberi kejutan ke aku.
"Aku akan jemput. Kamu di rumah Yena kan!" Balas Sanja nebak. Lucunya tebakannya tepat atau dia memang sudah tahu. Ah sudahlah.
"Iya." Jawabku, tidak mempermasalahkan keanehan yang ada.
"Tidak masalahkan jika aku bawa kamu pake motor saja?" Tanyanya lagi.
"Tidak apa." Jawabku, tidak peduli dia bawa aku pakai apa.
"Kalau gitu aku ke sana." Balas Sanja lalu menutup telponnya.
"Jangan senyum-senyum sendiri gitu. Aku takut lihatnya." Ucap Aya bikin aku kesal seperti biasa. Sepertinya dia sudah sembuh dari kepribadian gandanya. Aku harus pasang hati yang kuat agar tidak mudah tersinggung menghadapi karakter aslinya.
"Kalau ada cerita menarik? Bagi-bagi sama kami!" Ucap Sintia.
"Rahasia. " Ucapku.
"Masa sama teman main rahasiaan sih." Balas Sintia.
Aku terdiam, mau bilang aku baru diajak Sanja ke rumahnya tapi aku udah duluan bilang mau ke rumah Sanja. Pasti aku dianggap aneh.
Sepertinya aku bisa merasakan posisi Sanja saat merahasiakan sesuatu.
Tidak beberapa lama Sanja datang. Aku langsung keluar menyambutnya.
"Maaf, aku baru sekarang mengajakmu bertemu ayahku. Beliau baru ada waktu untuk kita." Sapa Sanja.
Sintia, Aya dan Yena juga ikut menghampiri.
Sanja juga menyapa mereka, "Wah lagi ada pertemuan para gadis nih? Apa yang kalian bicarakan? Aku!" Tebak Sanja.
"Ayo kita pergi Sanja?" Ucapku tidak sabar lagi melihat penampakan rumah Sanja dan seperti apa keluarga Sanja.
"Kamu melupakan boneka yang kamu pesan!" Ucap Sintia membuatku kaget. Aku baru ingat tentang boneka itu. Kenapa dia memberikannya saat ini sih. Apa dia akan membongkar niatku memata-matai Sanja. Aduh!!!
(Bersambung)
"Nanti aku hubungi lagi, jangan lupa bawa bonekanya." Ucapku kemudian menutup telpon.
Sendiri saja sudah menakutkan apalagi berlama-lama di tempat sepi. Aku bergegas keluar. Saat berada di luar, langit sudah gelap. Di sertai hujan yang turun kembali. Sambil gemetar aku membuka payung yang diberikan Sanja. Ketika memperhatikan ke depan aku lupa di mana posisi mobil Sanja berada, pikiranku terlalu penuh dengan niat jahatku pada Sanja. Bahkan lampu mobil Sanjapun berbaur sempurna dengan lampu pagar taman.
Dipenuhi rasa cemas aku mengeluarkan HP untuk mengaktifkan lampu led sebagai alat bantu penerangan jalan yang kulewati nanti. Nasibku benar-benar sial, HPku malah jatuh ke kubangan lumpur. Awalnya kupikir begitu ternyata malah masuk ke dalam aliran selokan, HPku hanyut. Aku kejar, justru aku kecebur. Paling tidak HP ku bisa ku dapatkan kembali walaupun HPnya mati. Yang pertama aku lakukan menepuk jidat.
"Betapa cerobohnya kamu, Lina." Ngatain diri sendiri.
Lalu mengeluarkan kartu SIM telponnya, cuma ini satu-satunya penghubungku dengan Sanja. Aku membuka kalung liontinku dan memasukan SIMnya di sana.
Saat aku cari payungku. Payungku udah hilang di bawa lari angin entah ke mana.
Aku memberanikan diri menerobos hujan dan kegelapan malam. Hasilnya kakiku terjebak di lumpur. Napasku mulai tidak beraturan, sudah dipastikan aku deg-degan.
"Jangan mendekat..." Teriakku mendengar langkah kaki mendekatiku.
"Aku punya kenalan polisi..." Ancamanku justru membuat langkah kaki semakin jelas terdengar di tengah-tengah suara gerimis.
"Jangan macam-macam denganku..." Ucapku tegas.
Tapi itu percuma. Dia semakin mendekat dan menyentuh bahuku.
Aku menunduk, "Tolong kasihani aku..."
"Lina, kamu tidak apa-apa?" Itu suara Sanja.
Sanja membantuku berdiri. Aku menangis, malu dan kesal.
Melampiaskannya dengan memukul dada Sanja berkali-kali, tapi Sanja hanya diam.
"Kamu kejutkan aku, Sanja." Marahku.
"Maaf. Aku mengkhawatirkanmu." Balasnya.
Aku terlalu lelah. Kepalaku terasa pusing.
Saat aku bangun. Aku sudah berada di kasur. Cahaya matahari bersinar lewat celah jendela, apa itu mentari atau senja. Aku memegang pakaianku. Terasa hangat. Perasaanku sudah mulai tidak enak. Aku menyingkirkan selimut. Benar saja, pakaianku sudah diganti. Aku syok.
Meskipun Sanja tidak mempunyai nafsu dan aku tidak di apa-apain. Tetap saja, aku tidak terima Sanja mengganti pakaianku yang basah walaupun dia pacarku.
"Sanjaaa..." Teriakku histeris.
"Ada apa Lina?" Ibuku masuk ke kamar.
Aku memperhatikan ke sekeliling. Baru sadar ini kamarku sendiri, aku kira kamar Sanja.
"Tadi malam kamu diantar oleh pacar dan sahabatmu dalam keadaan basah kuyub. " Ucap Ibu melihatku bingung.
"Sanja dan Aya maksud ibu!" Tanyaku memastikan.
"Iya." Jawab ibu dan membuatku lega, pasti ibu yang gantikan pakaianku.
Aku segera mengambil HP jadulku dan memasukan SIM yang ku keluarkan dari liontinku, lalu menghubungi Aya untuk tahu posisinya. Jika Aya di rumah Yena, aku bisa tanya ke Yena di mana rumah Sanja. Lucukan, aku sendiri gak tahu rumah pacarku, harus lewat orang segala. Aku berencana mau kasih Sanja kejutan.
Aku juga hubungi Sintia untuk minta dijemput mumpung bisa dimanfaatkan kembali dan yang terpenting karena aku gak bisa bawa motor sekaligus mobil.
Setelah mandi yang lebih mirip bertapa saking lamanya, lalu berpakaian rapi dan menemui Sintia yang udah hampir lumutan karena lama menungguku. Bagaimanapun aku harus berpenampilan sempurna untuk berkunjung pertama kalinya ke rumah Sanja.
"Kamu sudah nunggu lama?" Tanyaku menyapa Sintia, basa-basi.
"Tidak. Ayo kita pergi." Jawab Sintia sambil berdiri dari duduknya.
"Aduh, kakiku kesemutan." Ucap Sintia memegangi kakinya.
"Maaf ya." Ucapku menyadari kesalahanku.
"Iya, gak apa-apa. Aku mengerti kok. Ini akan sembuh sendiri tanpa harus di obati." Balas Sintia, dan kalimat terakhirnya mirip dengan diucapkan Sanja.
"Kamu tidak apa?" Tanya Sintia lihat aku bengong.
"Iya tidak apa." Jawabku meski hati ini sakit.
Kami menuju alamat rumah Yena yang dikasih tahu Aya lewat SMS. Tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai di rumah Yena. Ternyata aku satu komplek dengannya tapi gak kenal dengan Yena. Resiko jadi anak rumahan.
Rumah Yena terbuat dari beton, minimalis berlantaikan dua, dan cukup terlihat mewah. Aku juga melihat mobil Sanja terpakir di dalam pagar rumahnya. Kami disapa oleh yang punya rumah.
"Kamu sudah baikan?" Tanya Yena sambil membuka pagar.
"Iya." Jawabku.
"Apa Sanja ada di dalam rumahmu?" Tanyaku.
"Sanja di rumahnya." Jawab Yena membuatku heran.
Kami masuk ke rumah Yena. Lalu duduk di ruang tamu. Tidak beberapa lama Aya datang membawa minuman dan cemilan.
"Kenapa Sanja pakir mobilnya di rumahmu? Apa di rumahnya gak ada tempat pakir." Tanyaku ke Yena.
"Sanja menyembunyikan kekayaannya dari keluarganya. Padahal keluarganya sendiri hidup sederhana meskipun berkecukupan. Dia akan menjadi anggota keluarga pertama yang kaya jika saja dia mengakuinya." Jelas Yena.
"Aneh, bukannya seharusnya Sanja menyembunyikan kekayaannya dari cewe yang dia suka biar gak dapat cewe matre." Sambung Aya melirikku.
"Dia bisa kaya memang bekerja apa?" Tanya Sintia penasaran.
"Selain pekerjaan yang sudah diketahui Lina. Dia sebelumnya sudah punya beberapa aset yang menghasilkan uang. Yang aku tahu cuma Resort, mungkin itu membuat dia kaya." Jelas Yena.
Aku baru tahu dia punya Resort. Tapi itu masih belum cukup mengobati rasa penasaranku.
"Kalau dia lama punya aset itu? kenapa dia baru bisa beli mobil." Tanyaku.
"Rumah ini juga punyanya." Jawab Yena.
Aku baru ingat, Sanja juga membiayai kuliah Yena.
"Kamu nyerahin apa saja, sampai Sanja nyerahin salah satu asetnya ke kamu?" Tanya Aya ke Yena.
Yena terlihat bingung harus jawab apa.
"Yena bekerja untuk Sanja, sebagai asistennya." Ucapku ngasal membantu Yena.
"Iya." Sambung Yena.
"Kamu sendiri kenapa berpakaian menarik gitu? Mau cari pacar cadangan?" Celoteh Aya lagi.
"Aku mau ke rumah pacarku lah!" Ucapku.
"Emang kamu diajak Sanja?" Ucap Aya.
Aku bingung harus berkata apa. Jika aku bilang, aku sendiri yang mau kesana pasti akan ditertawakannya.
Tiba-tiba HPku berbunyi. Dari Sanja.
"Kamu mau gak? kuajak bertemu dengan orang tuaku." Ucap Sanja, seakan dia selalu ada saat aku butuhkan.
"Iya, tentu." Jawabku, kaget dan kagum. Justru dia yang memberi kejutan ke aku.
"Aku akan jemput. Kamu di rumah Yena kan!" Balas Sanja nebak. Lucunya tebakannya tepat atau dia memang sudah tahu. Ah sudahlah.
"Iya." Jawabku, tidak mempermasalahkan keanehan yang ada.
"Tidak masalahkan jika aku bawa kamu pake motor saja?" Tanyanya lagi.
"Tidak apa." Jawabku, tidak peduli dia bawa aku pakai apa.
"Kalau gitu aku ke sana." Balas Sanja lalu menutup telponnya.
"Jangan senyum-senyum sendiri gitu. Aku takut lihatnya." Ucap Aya bikin aku kesal seperti biasa. Sepertinya dia sudah sembuh dari kepribadian gandanya. Aku harus pasang hati yang kuat agar tidak mudah tersinggung menghadapi karakter aslinya.
"Kalau ada cerita menarik? Bagi-bagi sama kami!" Ucap Sintia.
"Rahasia. " Ucapku.
"Masa sama teman main rahasiaan sih." Balas Sintia.
Aku terdiam, mau bilang aku baru diajak Sanja ke rumahnya tapi aku udah duluan bilang mau ke rumah Sanja. Pasti aku dianggap aneh.
Sepertinya aku bisa merasakan posisi Sanja saat merahasiakan sesuatu.
Tidak beberapa lama Sanja datang. Aku langsung keluar menyambutnya.
"Maaf, aku baru sekarang mengajakmu bertemu ayahku. Beliau baru ada waktu untuk kita." Sapa Sanja.
Sintia, Aya dan Yena juga ikut menghampiri.
Sanja juga menyapa mereka, "Wah lagi ada pertemuan para gadis nih? Apa yang kalian bicarakan? Aku!" Tebak Sanja.
"Ayo kita pergi Sanja?" Ucapku tidak sabar lagi melihat penampakan rumah Sanja dan seperti apa keluarga Sanja.
"Kamu melupakan boneka yang kamu pesan!" Ucap Sintia membuatku kaget. Aku baru ingat tentang boneka itu. Kenapa dia memberikannya saat ini sih. Apa dia akan membongkar niatku memata-matai Sanja. Aduh!!!
(Bersambung)
Posting Komentar
Posting Komentar