Tunangan Seperti Teman (Part 6)
Aku dan Sanja berdiri di antara pagar. Tiba-tiba hujan turun dengan deras. Tanpa memberikan tanda gerimis.
"Masuklah! Nanti kamu sakit." Ucap Sanja sambil mengeluarkan jas hujan dari jok motor lalu mengenakannya.
"Hati-hati di jalan." Teriakku sambil berlari menuju rumah dengan tangan melindungi kepala dari tetesan hujan.
Sampai di teras rumah. Aku baru ingat. Tadi lagi tanya persyaratan apa yang diberikan oleh orang tuaku kepada Sanja untuk menikahiku. Saat aku menoleh, Sanja sudah tidak ada. Aku mencoba menghubunginya. Tapi nomornya kembali tidak aktif.
"Apa-apaan, HPnya mati hidup melulu. Seperti pemiliknya yang kadang ada tiba-tiba dan menghilang begitu saja." Keluhku.
Pagi harinya aku sekolah. Di antar oleh ayahku. Di sekolah aku bertemu dengan sahabatku yang tersisa.
"Aya!" Teriakku.
Dia menoleh ke arahku. Kemudian melanjutkan pergi menjauh.
"Dia sudah memaafkanku. Tapi sikapnya tetap memusuhiku." Keluhku.
Aku seperti orang asing di sekolahku sendiri.
Pulang sekolah aku menunggu bus. Saat aku mendekati halte sekelompok siswa dan siswi menjaga jarak cukup jauh dariku.
"Emang aku menularkan penyakit!" Keluhku lagi.
Aku pura-pura menyibukan diri dengan memainkan HP. Tiba-tiba HP ku diambil seseorang. Sontak aku teriak, "Maaa..." Mulutku di sentuh dengan jari.
"Iya aku maling hatimu!" Ucap Sanja di hadapanku.
Aku terdiam. Telihat warga sekitar memperhatikanku. Kalau siswa dan siswi di pojok sana sudah tentu tidak bakalan menolongku. Terlihat dari tatapan mereka yang tajam.
Hampir saja aku buat wajah calon suamiku babak belur dipukul massa. Dia lalu berdiri di sampingku.
"Ngapain kamu, seperti kurang kerjaan saja?" Tanyaku.
"Menemanimu hingga bus tiba dan aku memang lagi kekurangan kerjaan." Balas dia.
Aku senang tidak sendiri di sini. Kemudian aku kaget.
"Jangan bilang kamu dipecat lagi dari kepolisian." Tanyaku.
"Tebakanmu selalu tepat tentangku. Aku semakin yakin kamu tulang rusukku." Balasnya.
"Berhenti becanda. Kenapa bisa, kamu dipecat?"
"Ada yang melaporkan. Aku telah menyalahgunakan jabatan."
"Pasti ulah siswa siswi di sekolahku. Maaf, gara-gara kamu ingin membelaku waktu itu. Jadi harus kehilangan pekerjaan."
"Tidak apa. Tapi setidaknya aku punya waktu untukmu."
Aku teringat sesuatu, "Jadi apa yang kamu katakan kepada orang tuaku untuk menafkahiku nanti?"
"Aku bilang, aku punya beberapa Resort, penginapan di tempat wisata."
Akhirnya dia katakan juga pekerjaan utamanya.
"Aku akan janji mengajarimu menyetir mobil jika kamu lulus ujian." Ucap Sanja lagi melihatku cuma diam.
"Kamu tahu keinginanku? pasti ayahku yang bilang." Ucapku. Karena mengendarai mobil adalah impianku, tapi ayah selalu tidak punya waktu untuk mengajariku. Aku ingin diajari oleh orang terdekatku.
"Mengenai persyaratan orang tuaku, itu apa?" Tanyaku baru ingat.
"Cepat masuk. Busnya sudah datang." Ucap Sanja.
Aku bergegas menuju bus yang berhenti di tempat siswa-siswi berkumpul.
Di dalam bus.
"Permisi, aku mau duduk di kursi kosong di sampingmu." Ucapku kepada siswa yang duduk.
"Kursi ini sudah ditempati tasku." Balasnya sambil meletakan tasnya di kursi kosong.
Aku terpaksa harus berdiri di dalam bus sambil berpegangan dengan tiang yang ada di tengah bus.
"Sayang Sanja gak bisa muncul di dalam bus tiba-tiba." Ucapku di dalam hati. Bikin aku tersenyum sendiri. Menyedihkan.
***
Hari ujian kelulusan telah tiba. Aku konsentrasi menggunakan kemampuan ku yang ada. Memanfaatkan semua ilmu yang diajarkan Sanja. Meski dia sengaja menghilang entah kemana. Setidaknya dia punya janji yang harus ditepatinya.
***
Hari terus berlalu. Setiap aku bersedih dikucilkan di sekolah aku membayangkan Sanja dengan segala keanehannya.
Hingga pengumuman kelulusan tiba. Aku menunggu di dalam sekolah.
"Ibu tidak bisa datang karena jenguk kakek yang sakit. Kenapa Ayah juga ikutan tidak bisa. Aku membutuhkan Ayah jadi waliku untuk mengambil surat kelulusan. Rapat mendadaknya bisa ayah batalkan demi aku." Ucapku di telpon.
"Ayah harus cari uang untuk biaya berobat kakekmu. Berhenti menyusahkan ayah." Balas ayah kemudian menutup telpon.
Aku sangat sedih tertunduk hingga meneteskan air mata.
Lalu ada yang memberikanku tisu. Tidak menyangka di sekolah ini masih ada yang baik padaku. Ku kira udah punah.
"Aku yang akan jadi walimu." Ucapnya.
Aku segera menghadapkan wajahku ke depan.
"Sanja? Kenapa selalu harus kamu!" Ucapku kesal. Seakan-akan cuma ada Sanja di dalam kehidupanku.
"Aku empat tahun lebih tua darimu. Wajar saja jika jadi walimu dan aku sebentar lagi akan jadi imammu!" Balasnya.
Aku menunggu dengan cemas. Sanja akhirnya datang dengan surat pemberitahuan kelulusan di tangannya.
"Meskipun kamu tidak lulus. Aku akan tetap menikahimu." Ucap Sanja bikin aku syok.
Segera aku ambil suratnya untuk melihat sendiri hasilnya.
"Aku lulus..." Ucapku terharu, meski dengan nilai pas-pasan.
"Selamat ya Lina." Ucap Sanja.
"Kamu hampir bikin jantung copot tau." Balasku kesal.
"Aku udah tanya ke orang tuamu. Kamu gak punya riwayat penyakit jantung. Jadi aku berani bikin kamu kaget. Maaf ya." Ucapnya. Aku heran dia berpikiran sampai ke situ.
"Iya ku maafkan. Cuma ucapan selamat saja." Godaku.
"Oh iya. Aku punya sesuatu untukmu." Sanja menarik tanganku ke arah mobilnya.
Dia lalu mengambil sesuatu.
Sanja memberikan tas belanja ke aku.
"Apa ini?"
"Hadiah buat kamu. Isinya pakaian." Jawab Sanja.
Sanja menatapku aneh. Apa dia ingin aku berganti pakaian.
"Ada apa Sanja?"
"Teman-temanmu sedang memperhatikan kita. Aku suka grogi jika diperhatikan banyak orang."
Aku melihat ke belakang. Benar, siswa dan siswi memperhatikan kami.
"Aku saja gak yakin mereka temanku." Balasku.
"Apa ini kali pertama kamu bawa mobil ke sekolah?" Tanyaku lagi.
"Iya." Balasnya.
"Pantesan." Balasku.
"Aku ganti pakaian dulu di toilet sekolah. Kamu tunggu ya." Ucapku lagi.
Tidak beberapa lama kemudian aku mendatangi Sanja kembali dengan mengenakan pakaian yang dia berikan. Terlihat beberapa siswi sedang mendekati Sanja.
"Ada apa Sanja?" Tanyaku langsung.
"Mereka tanya pekerjaanku sekarang apa? dan mau minta bantu carikan pekerjaan!" Balas Sanja.
"Bukannya kalian tahu dia baru saja di pecat. Aku aja gak tahu bakalan kerja apa setelah lulus, masa kalian minta bantuan ke kami, pasangan pengangguran." Ucapku meluapkan kekesalanku.
Mereka terdiam. Semakin meyakinkanku mereka tahu apa maksud yang kubicarakan.
Kami lalu pamit masuk mobil dan pergi meninggalkan sekolah.
Di dalam mobil. Kami melihat di luar sekelompok siswa-siswi merayakan kelulusan dengan memilok seragamnya.
"Semua seragam sekolahmu ada di dalam tas?" Tanya Sanja.
"Iya. Masih bagus. Tidak ada yang rusak." Jawabku.
''Kita akan ke panti anak!" Ucap Sanja.
"Bukannya panti asuhan! Emang ada panti anak?" Tanyaku bingung.
"Ada. Itu panti tempat tinggal anak jalanan, anak telantar, dan anak yang tidak punya keluarga." Jelas Sanja.
"Aku baru dengar." Ucapku.
"Di sana ada remaja yang mau masuk SMA. Mereka pasti sangat membutuhkan." Terang Sanja.
Sesampainya di panti anak. Aku menyumbangkan semua seragam sekolahku. Aku ke sana sendiri. Sanja menunggu di luar.
"Tempat yang luas dan juga bersih!" Pujiku ke pengurus panti.
"Anak-anak di sini sangat menjaga tempat ini. Mereka senang memiliki tempat tinggal. Ini berkat seorang pemuda yang menyediakan tempat ini. Dia bagaikan malaikat penolong bagi mereka." Ucap pengurus panti.
"Sanja!" Ucapku. Entah kenapa setiap aku dengar kata malaikat pasti yang terlintas dipikiranku adalah Sanja.
"Nona tahu Sanja?. Kami tidak pernah melihatnya. Hanya bantuan mengatas namakan dia." Pengurus Panti itu terkejut.
Sanja pasti ingin membantu tanpa pamrih. Aku harus mendukungnya.
"Maksud saya, sudah senja. Bentar lagi gelap. Saya harus buru-buru pulang." Balasku buat alasan, kemudian pergi.
Sanja kemudian langsung mengantarku pulang.
***
Memasuki bulan Ramadan. Sanja mengajariku menyetir mobil sambil menunggu berbuka puasa.
"Putar stirnya ke kiri. Sesuaikan dengan laju mobil dan yang penting Despacito saja!" Ucap Sanja.
"Maksudmu pelan-pelan. Jangan becanda Sanja. Perutku sakit. Aku gak fokus nyetirnya." Ucapku sambil menahan tawa.
"Kamu pintar mengendalikan mobilnya. Apa lagi pemiliknya." Ucap Sanja lagi.
"Kamu mengodaku." Balasku.
"Kita istirahat di sini." Ucap Sanja kemudian turun dari mobil.
"Gak ada warung di sini." Balasku.
"Ayo ikut aku." Ucap Sanja sambil menerobos semak-semak.
Aku sedikit ragu tapi sanja mendekatiku lalu meraih tanganku.
Kami menerobos semak-semak dan juga pepohonan besar yang lebat.
Setelah menerobos itu semua. Aku dibuat tercengang dengan apa yang ku lihat dihadapanku.
(Bersambung)
"Masuklah! Nanti kamu sakit." Ucap Sanja sambil mengeluarkan jas hujan dari jok motor lalu mengenakannya.
"Hati-hati di jalan." Teriakku sambil berlari menuju rumah dengan tangan melindungi kepala dari tetesan hujan.
Sampai di teras rumah. Aku baru ingat. Tadi lagi tanya persyaratan apa yang diberikan oleh orang tuaku kepada Sanja untuk menikahiku. Saat aku menoleh, Sanja sudah tidak ada. Aku mencoba menghubunginya. Tapi nomornya kembali tidak aktif.
"Apa-apaan, HPnya mati hidup melulu. Seperti pemiliknya yang kadang ada tiba-tiba dan menghilang begitu saja." Keluhku.
Pagi harinya aku sekolah. Di antar oleh ayahku. Di sekolah aku bertemu dengan sahabatku yang tersisa.
"Aya!" Teriakku.
Dia menoleh ke arahku. Kemudian melanjutkan pergi menjauh.
"Dia sudah memaafkanku. Tapi sikapnya tetap memusuhiku." Keluhku.
Aku seperti orang asing di sekolahku sendiri.
Pulang sekolah aku menunggu bus. Saat aku mendekati halte sekelompok siswa dan siswi menjaga jarak cukup jauh dariku.
"Emang aku menularkan penyakit!" Keluhku lagi.
Aku pura-pura menyibukan diri dengan memainkan HP. Tiba-tiba HP ku diambil seseorang. Sontak aku teriak, "Maaa..." Mulutku di sentuh dengan jari.
"Iya aku maling hatimu!" Ucap Sanja di hadapanku.
Aku terdiam. Telihat warga sekitar memperhatikanku. Kalau siswa dan siswi di pojok sana sudah tentu tidak bakalan menolongku. Terlihat dari tatapan mereka yang tajam.
Hampir saja aku buat wajah calon suamiku babak belur dipukul massa. Dia lalu berdiri di sampingku.
"Ngapain kamu, seperti kurang kerjaan saja?" Tanyaku.
"Menemanimu hingga bus tiba dan aku memang lagi kekurangan kerjaan." Balas dia.
Aku senang tidak sendiri di sini. Kemudian aku kaget.
"Jangan bilang kamu dipecat lagi dari kepolisian." Tanyaku.
"Tebakanmu selalu tepat tentangku. Aku semakin yakin kamu tulang rusukku." Balasnya.
"Berhenti becanda. Kenapa bisa, kamu dipecat?"
"Ada yang melaporkan. Aku telah menyalahgunakan jabatan."
"Pasti ulah siswa siswi di sekolahku. Maaf, gara-gara kamu ingin membelaku waktu itu. Jadi harus kehilangan pekerjaan."
"Tidak apa. Tapi setidaknya aku punya waktu untukmu."
Aku teringat sesuatu, "Jadi apa yang kamu katakan kepada orang tuaku untuk menafkahiku nanti?"
"Aku bilang, aku punya beberapa Resort, penginapan di tempat wisata."
Akhirnya dia katakan juga pekerjaan utamanya.
"Aku akan janji mengajarimu menyetir mobil jika kamu lulus ujian." Ucap Sanja lagi melihatku cuma diam.
"Kamu tahu keinginanku? pasti ayahku yang bilang." Ucapku. Karena mengendarai mobil adalah impianku, tapi ayah selalu tidak punya waktu untuk mengajariku. Aku ingin diajari oleh orang terdekatku.
"Mengenai persyaratan orang tuaku, itu apa?" Tanyaku baru ingat.
"Cepat masuk. Busnya sudah datang." Ucap Sanja.
Aku bergegas menuju bus yang berhenti di tempat siswa-siswi berkumpul.
Di dalam bus.
"Permisi, aku mau duduk di kursi kosong di sampingmu." Ucapku kepada siswa yang duduk.
"Kursi ini sudah ditempati tasku." Balasnya sambil meletakan tasnya di kursi kosong.
Aku terpaksa harus berdiri di dalam bus sambil berpegangan dengan tiang yang ada di tengah bus.
"Sayang Sanja gak bisa muncul di dalam bus tiba-tiba." Ucapku di dalam hati. Bikin aku tersenyum sendiri. Menyedihkan.
***
Hari ujian kelulusan telah tiba. Aku konsentrasi menggunakan kemampuan ku yang ada. Memanfaatkan semua ilmu yang diajarkan Sanja. Meski dia sengaja menghilang entah kemana. Setidaknya dia punya janji yang harus ditepatinya.
***
Hari terus berlalu. Setiap aku bersedih dikucilkan di sekolah aku membayangkan Sanja dengan segala keanehannya.
Hingga pengumuman kelulusan tiba. Aku menunggu di dalam sekolah.
"Ibu tidak bisa datang karena jenguk kakek yang sakit. Kenapa Ayah juga ikutan tidak bisa. Aku membutuhkan Ayah jadi waliku untuk mengambil surat kelulusan. Rapat mendadaknya bisa ayah batalkan demi aku." Ucapku di telpon.
"Ayah harus cari uang untuk biaya berobat kakekmu. Berhenti menyusahkan ayah." Balas ayah kemudian menutup telpon.
Aku sangat sedih tertunduk hingga meneteskan air mata.
Lalu ada yang memberikanku tisu. Tidak menyangka di sekolah ini masih ada yang baik padaku. Ku kira udah punah.
"Aku yang akan jadi walimu." Ucapnya.
Aku segera menghadapkan wajahku ke depan.
"Sanja? Kenapa selalu harus kamu!" Ucapku kesal. Seakan-akan cuma ada Sanja di dalam kehidupanku.
"Aku empat tahun lebih tua darimu. Wajar saja jika jadi walimu dan aku sebentar lagi akan jadi imammu!" Balasnya.
Aku menunggu dengan cemas. Sanja akhirnya datang dengan surat pemberitahuan kelulusan di tangannya.
"Meskipun kamu tidak lulus. Aku akan tetap menikahimu." Ucap Sanja bikin aku syok.
Segera aku ambil suratnya untuk melihat sendiri hasilnya.
"Aku lulus..." Ucapku terharu, meski dengan nilai pas-pasan.
"Selamat ya Lina." Ucap Sanja.
"Kamu hampir bikin jantung copot tau." Balasku kesal.
"Aku udah tanya ke orang tuamu. Kamu gak punya riwayat penyakit jantung. Jadi aku berani bikin kamu kaget. Maaf ya." Ucapnya. Aku heran dia berpikiran sampai ke situ.
"Iya ku maafkan. Cuma ucapan selamat saja." Godaku.
"Oh iya. Aku punya sesuatu untukmu." Sanja menarik tanganku ke arah mobilnya.
Dia lalu mengambil sesuatu.
Sanja memberikan tas belanja ke aku.
"Apa ini?"
"Hadiah buat kamu. Isinya pakaian." Jawab Sanja.
Sanja menatapku aneh. Apa dia ingin aku berganti pakaian.
"Ada apa Sanja?"
"Teman-temanmu sedang memperhatikan kita. Aku suka grogi jika diperhatikan banyak orang."
Aku melihat ke belakang. Benar, siswa dan siswi memperhatikan kami.
"Aku saja gak yakin mereka temanku." Balasku.
"Apa ini kali pertama kamu bawa mobil ke sekolah?" Tanyaku lagi.
"Iya." Balasnya.
"Pantesan." Balasku.
"Aku ganti pakaian dulu di toilet sekolah. Kamu tunggu ya." Ucapku lagi.
Tidak beberapa lama kemudian aku mendatangi Sanja kembali dengan mengenakan pakaian yang dia berikan. Terlihat beberapa siswi sedang mendekati Sanja.
"Ada apa Sanja?" Tanyaku langsung.
"Mereka tanya pekerjaanku sekarang apa? dan mau minta bantu carikan pekerjaan!" Balas Sanja.
"Bukannya kalian tahu dia baru saja di pecat. Aku aja gak tahu bakalan kerja apa setelah lulus, masa kalian minta bantuan ke kami, pasangan pengangguran." Ucapku meluapkan kekesalanku.
Mereka terdiam. Semakin meyakinkanku mereka tahu apa maksud yang kubicarakan.
Kami lalu pamit masuk mobil dan pergi meninggalkan sekolah.
Di dalam mobil. Kami melihat di luar sekelompok siswa-siswi merayakan kelulusan dengan memilok seragamnya.
"Semua seragam sekolahmu ada di dalam tas?" Tanya Sanja.
"Iya. Masih bagus. Tidak ada yang rusak." Jawabku.
''Kita akan ke panti anak!" Ucap Sanja.
"Bukannya panti asuhan! Emang ada panti anak?" Tanyaku bingung.
"Ada. Itu panti tempat tinggal anak jalanan, anak telantar, dan anak yang tidak punya keluarga." Jelas Sanja.
"Aku baru dengar." Ucapku.
"Di sana ada remaja yang mau masuk SMA. Mereka pasti sangat membutuhkan." Terang Sanja.
Sesampainya di panti anak. Aku menyumbangkan semua seragam sekolahku. Aku ke sana sendiri. Sanja menunggu di luar.
"Tempat yang luas dan juga bersih!" Pujiku ke pengurus panti.
"Anak-anak di sini sangat menjaga tempat ini. Mereka senang memiliki tempat tinggal. Ini berkat seorang pemuda yang menyediakan tempat ini. Dia bagaikan malaikat penolong bagi mereka." Ucap pengurus panti.
"Sanja!" Ucapku. Entah kenapa setiap aku dengar kata malaikat pasti yang terlintas dipikiranku adalah Sanja.
"Nona tahu Sanja?. Kami tidak pernah melihatnya. Hanya bantuan mengatas namakan dia." Pengurus Panti itu terkejut.
Sanja pasti ingin membantu tanpa pamrih. Aku harus mendukungnya.
"Maksud saya, sudah senja. Bentar lagi gelap. Saya harus buru-buru pulang." Balasku buat alasan, kemudian pergi.
Sanja kemudian langsung mengantarku pulang.
***
Memasuki bulan Ramadan. Sanja mengajariku menyetir mobil sambil menunggu berbuka puasa.
"Putar stirnya ke kiri. Sesuaikan dengan laju mobil dan yang penting Despacito saja!" Ucap Sanja.
"Maksudmu pelan-pelan. Jangan becanda Sanja. Perutku sakit. Aku gak fokus nyetirnya." Ucapku sambil menahan tawa.
"Kamu pintar mengendalikan mobilnya. Apa lagi pemiliknya." Ucap Sanja lagi.
"Kamu mengodaku." Balasku.
"Kita istirahat di sini." Ucap Sanja kemudian turun dari mobil.
"Gak ada warung di sini." Balasku.
"Ayo ikut aku." Ucap Sanja sambil menerobos semak-semak.
Aku sedikit ragu tapi sanja mendekatiku lalu meraih tanganku.
Kami menerobos semak-semak dan juga pepohonan besar yang lebat.
Setelah menerobos itu semua. Aku dibuat tercengang dengan apa yang ku lihat dihadapanku.
(Bersambung)
Posting Komentar
Posting Komentar