Boneka Pembuka Rahasia (Part 36)

Boneka Pembuka Rahasia (Part 36)

Aku tidak habis pikir. Malam tadi Sanja berhasil mencegahku khawatir. Kali ini dia juga bisa mencegahku menghubunginya. Bagaimana bisa dia menghilangkan HPku begitu saja.
"Lina! Berhenti main HP terus!" Teriak ayahku yang baru kusadari dari tadi ada di depanku.
"Ayah sudah pulang kerja?" Tanyaku takut dimarahin.
"Ayah pulang jam 3 dini hari tadi. Ibu banyak cerita ke ayah. Kamu mulai berubah dan tidak pernah lepas dari HPmu!" Balas ayah.
"Saya butuh HP ayah, buat hubungi Sintia minta jemput." Ucapku sambil tersenyum manis.
"Sintia sudah di depan menunggu kamu." Balas ayah tidak mau mengembalikan HPku.
"Tapi tetap saya butuh HP." Jawabku.
"Kamu dilarang main HP untuk sementara waktu." Ucap ayah bikin aku syok.

Aku menghampiri Sintia tanpa semangat hidup. Terlalu lebay yah?
Kami lalu ke sekolah. Dalam perjalanan aku pinjam HP Sintia untuk mengobati rasa khawatirku. Anehnya di HP Sintia dapat terhubung langsung dengan Sanja.
"Maaf Sintia, aku tidak bisa membantumu setiap saat. Aku juga harus menjaga perasaan Lina." Ucap Sanja, mengira Sintia yang menelpon.
"Kenapa aku sulit menghubungimu?" Ucapku.
"Ini Lina?" Tanya dia balik.
"Ku kira kamu melupakan suaraku. Iya ini aku. Pinjam HP Sintia." Balasku.
"Aku mau menghubungimu, tapi keduluan kamu. HP ku, aku kasih ke orang lain." Balas Sanja.
"Aku mau ketemu kamu, pulang sekolah nanti!, jemput aku di depan pagar sekolah." Ucapku.
"Aku akan jemput di rumahmu." Balas Sanja diluar dugaanku. Secara tidak langsung dia bermaksud menyuruhku pamit dulu dengan orang tua.
"Iya." Jawabku kemudian menutup telpon.
Lalu mengembalikan HP ke Sintia dengan senyum yang kupaksakan. Selama ini Sintia minta bantuan Sanja tanpa sepengetahuanku. Aku memilih mendiamkannya saja.

Di Sekolah aku berjalan sendiri ke kelas karena Sintia lagi memakir mobilnya. Sedangkan teman-teman lainnya mengacuhkanku. Paling tidak mereka tidak tersenyum sinis lagi. Tapi pikiran burukku kayaknya salah. Ada siswi yang tiba-tiba menghampiriku, "Lina, temenin aku lagi ya nanti ketemuan cowo kemaren." Ternyata itu Aya. Sepertinya dia tidak di skorsing lagi.
"Iya!" Jawabku.

Di dalam kelas aku duduk di belakang bersama Sintia.
"Kamu harus ambil kartu memori di boneka yang kamu kasih ke Sanja." Ucap Sintia.
Aku baru ingat tujuan awalku bukan mendapatkan hati Sanja tapi untuk tahu keanehan Sanja. Rasa penasaranku sama kuat dengan rasa cintaku. Membuatku bimbang.
"Jika kita merekam keanehannya kita bisa gunakan untuk mengancam Sanja memberitahu rahasia kemampuan mistisnya." Lanjut Sintia membujukku.
"Kamu tahu tentang keanehan Sanja?" Tanyaku kaget.
"Tentulah, akukan selalu memperhatikannya." Balas Sintia.
"Maksudku, jika kita tahu rahasia kemampuannya kita mungkin bisa mendapatkan kemampuan itu juga." Lanjut Sintia sadar ucapan sebelumnya bikin aku kesal.
"Kita tidak perlu takut lagi sendiri ke mana-mana." Bujuk Sintia lagi.
"Seharusnya kita belajar ilmu bela diri bukan kemampuan mistis itu." Balasku.
"Kamu tidak takut, Sanja mendekatimu untuk dijadikan tumbal." Ucap Sintia bikin aku kesal.
"Maksudmu apa?" Teriakku.

"Lina, Sintia. Berdiri di lapangan." Teriak guru yang lagi ngajar.
Kami berdua lalu dijemur di lapangan sambil hormat ke bendera. Tapi itu tidak menghentikan kami ngobrol.
"Kamu mau rusak hubunganku sama Sanja?" Ucapku.
"Mainan kali dirusak." Ledek Sintia.
"Kamu gak curiga, pasti ada yang harus dikorbankan Sanja untuk mendapatkan kemampuan tidak biasa itu." Lanjut Sintia.
Jika diingat-ingat Sanja tidak pernah ngatakan cintanya ke aku. Dia terima saja ajakanku menjadi pacar pura-pura. Saat aku serius dengannya dia juga serius denganku. Hubungan ini terlalu aneh.
"Iya, aku akan ambil kartu memori di boneka itu. Moga saja ada yang bisa kita manfaatkan di rekaman itu." Balasku luluh.

Pulang sekolah aku langsung ke rumah. Setelah ganti pakaian aku menunggu ke datangan Sanja di teras. Tidak beberapa lama Sanja datang dengan mobilnya. Aku menghampirinya sambil lihat-lihat kesekeliling. Kali aja ada burung Gagak atau Merpati yang mengawasiku.
"Aku ada di sini bukan di langit." Sapa Sanja.
"Oh, maaf. Aku sulit membedakan antara kamu dan malaikat." Ledekku balik.
Sanja senyum kalah.
"Boneka yang aku kasih mana? Jangan bilang kamu kasih ke orang kayak HPmu." Lanjutku.
"Itu boneka gantungkan. Aku gantung di kaca depan mobilku." Ucap Sanja.
"Ayo kita pergi." Ucapku.
"Aku pamit dulu sama orang tuamu." Balas Sanja.
"Silahkan. Masuk saja langsung. Aku tunggu di sini." Balasku entah kenapa bawaanku kesal mulu.

Sanja masuk ke dalam rumah. Sedangkan aku masuk ke dalam mobil Sanja. Di dalam ada boneka yang aku kasih tertempel di tengah kaca samping stir. Aku ambil dan segera mencari kartu memori di balik boneka itu. Saat aku menemukannya, langsung aku lepas dan simpan di liontinku. Lalu kembali menempelkan boneka itu.
Boneka itu seakan menatapku sinis.
"Apa loh buaya, lirik-lirik aku gitu." Marahku sama boneka berbentuk buaya itu. Udah gila ya aku?
Aku tiba-tiba pusing. Perutku juga keram.
"Kamu tidak apa-apa?" Tanya Sanja yang tiba-tiba datang.
"Gak apa. Ayo kita jalan." Ucapku.
"Ke rumah sakit?" Balas Sanja.
"Yang benar saja. Masa kita kencan di rumah sakit sih." Marahku.
"Lina, sering pendarahan Sanja. Sebaiknya di bawa ke rumah sakit." Ucap Ibu yang baru ku sadari datang bersama Sanja.
"Ibu!, aku tidak suka ibu bicara masalah pribadiku." Ucapku sangat marah. Segera aku keluar mobil. Berlari masuk ke rumah dan mengunci diri di kamar.

Tidak beberapa lama ibu mengetuk pintu kamar.
"Maaf jika ibu salah. Ibu mengkhawatirkanmu. Buka pintunya." Ucap ibu di balik pintu.
"Lina, ibumu meneteskan air matanya. Sebaiknya kamu keluar. Aku akan segera pergi." Ucap Sanja.
Aku menyesal buat ibu menangis. Aku memilih untuk membuka pintu. Ibu langsung memelukku.
"Lina juga minta maaf bu." Ucapku sangat menyesal.

"Sanja sudah pergi." Tanyaku.
''Iya dia sudah pulang." Balas ibu.
Jadi cuma sebatas itu perhatian Sanja ke aku.
"Sanja minta sampaikan ke kamu,' lain waktu jalan-jalannya. Kamu harus istirahat dulu'." Lanjut ibu.
Lumayan juga perhatian Sanja ke aku.
"Iya bu." Balasku.
Ibu terlihat mau menelpon seseorang.
"Ibu mau telpon siapa?" Tanyaku.
"Nelpon dokter Yena." Balas Ibu.
Pasti Sanja yang kasih tahu ibu. Perhatian Sanja terlalu berlebihan.
"Aku baik saja bu. Tidak perlu dirawat oleh Yena segala." Ucapku.
"Aku pinjam telponnya bu." Lanjutku lagi.
"Tapi kalau sakit kamu terasa semakin parah langsung kasih tahu ibu." Balas ibu sambil mengeluarkan HPku dari saku dan memberikannya ke aku.
"Ibu ambilkan dari Ayah. Makasih bu." Ucapku sambil menyambut HPku.
"Ayah juga udah tahu." Balas Ibu.

Di dalam kamar. Aku telpon Sintia. Beberapa lama kemudian Sintia datang. Kami mengunci kamar. Aku segera mengeluarkan kartu memori dari dalam liontin. Udah mirip brankas saja ya kalung liontinku?
Aku lalu memasang kartu memori itu ke laptop Sintia. Memutar rekamannya. Kami benar-benar terpaku dengan layar.

Terlihat Sanja masuk mobil sendiri. Dia cuma diam. Tapi tiba-tiba bicara sendiri.
"Jadi, aku harus nyebutmu apa?" Ucap Sanja.
Dia diam seakan membiarkan sesuatu menjawab pertanyaannya.
"Hana, nama yang bagus." Ucap Sanja lagi.

"Siapa Hana?" Tanya Sintia.
"Kamu lihat seseorang selain Sanja di dalam rekaman itu!" Tanyaku.
Kami saling bertanya heran.

(Bersambung)

Download Wallpaper