Datang Sebelum Dipanggil (Part 20)

Datang Sebelum Dipanggil (Part 20)

Aku berusaha menahan kegugupanku. Keluar dari mobil.
"Jangan berpikir untuk menjahuiku lagi." Ucapku di tengah kerumunan massa yang ingin melihat kecelakaan.
"Maaf Lina. Tadi di sekolah aku ada keperluan mendadak. Jadi tidak sempat pamit." Balas Sanja dari jauh.
Aku mendekati Sanja yang berhadapan dengan Hita.
"Kamu masih ingin melakukan hal buruk itu lagi." Ucap Sanja ke Hita.
"Hal buruk apa yang dilakukan Hita? apa ada hubungannya dengan kejadian mistis di sekolah malam tadi." Sambungku menduga.
"Hita buru-buru berlari ke sisi kanan mobil untuk menggantikanku menyetir. Bukan sengaja melakukan hal buruk itu." Ucap Sintia ikut dalam pembicaraan.
Saat Sintia datang Sanja terlihat mau pergi.
"Kamu serius gak sih denganku? Kenapa selalu menghindariku. Akukan sudah kenalin kamu ke orang tuaku." Tanyaku.
"Ini aku mau pergi kerja. Sebagai bukti keseriusanku." Balas Sanja.
Aku merasa senang. Setelah melihat senyumanku Sanja pergi.
Kami juga bergegas pergi menghindari menjadi saksi kecelakaan di kepolisian.

Di mobil aku bertanya dengan Sintia.
"Kenapa kamu ngerem mendadak?" Karena menurutku aneh, burung gagak muncul setelah mobil berhenti. Bukan berhenti karena ada burung gagak.
"Aku melihat sosok tinggi besar berwarna hitam berlari tergesa-gesa ke arah kita. Kemudian hilang setelah kumpulan burung gagak itu muncul." Jawab Sintia.
Sudahku duga pasti ada yang aneh.
"Menurutmu, itu apa Hita?" Tanyaku minta pendapat Hita yang memang kelihatan tahu sesuatu.
"Mungkin itu jin." Balas Hita sambil mengemudikan mobil Sintia.
"Milikmu.'" Sambungku.
Hita terdiam.
Kemudian dia bicara.
"Bukanlah. Buat apa aku bersekutu dengan Jin." Ucap Hita.
Hita tidak seperti Sanja, dia pasti berbohong.
"Buat mendekati Aya, seperti malam tadi. Aku dan Sintia dibikin menjauh dari Aya dengan hal mistis, kemudian niatmu gagal karena ada Sanja, itu yang membuatmu terlihat kesal dengan Sanjakan?." Ucapku mengeluarkan yang dibenak.
Belum sempat dijawab Hita, eh Sintia malah potong pembicaraan.
"Berhenti di depan rumah yang punya halaman luas itu." Perintah Sintia ke Hita.

Kami bertiga berdiri di depan pagar.
"Bentar, aku telpon Aya dulu." Ucapku.
Tiba-tiba kami dikejutkan oleh sosok berpakaian merah di hadapan kami.
"Aya! Kok kamu gak ada tanda-tanda dipukuli ayahmu?" Tanyaku.
"Hukumanku dalam bentuk lain." Balas Aya.
"Kamu kok pucat." Tanyaku.
"Biasa aja, kulitku memang putih gini." Balasnya.
"Kamu kok punya kantong mata? abis nangis ya." Tanya Sintia.
"Kalian temanku atau wartawan sih. Ayo masuk." Balas Aya.

Halaman rumah Aya cukup luas terdapat dua pohon besar tua yang rindang dan di bawahnya ada meja lengkap dengan empat kursi. Kami dipersilahkan duduk oleh Aya di bawah pohon sebelah kiri yang dekat dengan dapur.
"Siapa dia?" Tanya Aya ke aku sambil nunjuk ke Hita.
"Kan kita udah kenalan." Balas Hita agak syok.
"Terlalu banyak cowo yang kenalan denganku. Aku gak ingat." Balas Aya.
"Kamu parah Aya, kejadiannya kan baru kemaren masa kamu udah lupa." Ucapku.
"Kalau aku lupakan berarti itu tidak penting. Kalian mau dibawakan minum apa?" Balas Aya.
"Minuman biasa." Ucap Sintia.
"Dan kamu orang asing mau minum apa?" Tanya Aya ke Hita yang terlihat frustasi. Akan sulit baginya mendapatkan hati Aya. Tapi itu baik untuk Sintia.
"Apapun yang kamu kasih, akan aku minum." Jawab Hita.

Saat Aya pergi ke dapur, ibunya mendekati kami.
"Apa kalian tahu yang membuat Aya berubah?" Tanya ibu Aya.
Aku ingat Sanja. Pasti dia tahu akan hal ini.
"Kami tidak tahu. Tapi mungkin saya punya kenalan yang tahu." Ucapku.
"Tante ingin Aya yang polos dan nurut. Tidak Aya sekarang yang keras kepala." Balas ibu Aya.
"Tapi, bukannya Aya sekarang, Aya yang tante kenal." Ucapku heran.
"Tante mohon tolong kembalikan Aya seperti kemaren." Bujuk ibu Aya.
"Emang Aya kenapa?" Tanya Sintia.
"Kata dokter Aya punya kepribadian ganda. Tante ingin kepribadian Aya yang polos, tapi dokter gak bisa. Kalian harapan tante." Ucap Ibu Aya.
"Lagi bicarakan apa bu?" Tanya Aya.
"Tidak apa-apa." Jawab ibunya kemudian pergi.

Saat aku ingin menelpon Sanja, HP Sintia bunyi.
"Itu wajar bu, adik usia seperti itu, melakukan hal aneh gitu." Ucap Sintia kemudian menutup telpon.
"Aneh gimana?" Tanyaku langsung.
"Ibu ingin aku temanin adik. Kasian adik bicara sendiri katanya. Itukan biasa dan aku lagi sibuk?" Jawab Sintia.
"Sibuk apa? Kamu cuma duduk-duduk di sini kok." Sambung Hita.
"Sibuk berteman." Ucap Sintia.

"Sebaiknya kamu pulang. Jika ibumu pinta. Keluarga nomor satu. Teman nomor dua." Sambung Sanja yang tiba-tiba muncul.
"Kok kamu ada di sini?" Tanyaku kaget.

(Bersambung)

Download Wallpaper