Dicintai Orang Tidak Dikenal (Part 9)

Dicintai Orang Tidak Dikenal (Part 9)

Setelah disentuh Sanja, aku Refleks menginjak rem. Seketika mobil yang ku kendarai berhenti. Di tengah kebingunganku Sanja berucap, "Emosi dapat merugikan diri sendiri dan orang lain, jadi aku mencoba menghilangkannya."
Sebenarnya aku ingin tahu bagaimana caranya Sanja membuatku bergerak tanpa sadar setelah dia sentuh. Tapi, aku cemas dengan seseorang yang hampir ku tabrak di depan. Segeraku ke luar mobil.

"Adik tidak apa-apa?" Tanyaku panik melihat seorang gadis yang sangat muda duduk sambil memegangi kakinya yang terluka dan mengeluarkan darah.
"Gimana sih kak. Kalau nyetir jangan seenaknya. Mentang-mentang kakak kaya. Hak pejalan kaki, kakak langgar." Marah gadis itu.
"Maafkan kakak!" Ucapku benar-benar takut.
"Saya jalan dijebra cross, masih aja mau ditabrak. Ngalah dikit napa!" Ucap gadis itu lagi.
Sanja kemana sih. Aku butuh dia untuk mengangkat gadis ini ke mobil buat di bawa ke rumah sakit. Dia justru santai sekali.
"San..." Ketika aku mau berteriak memanggil Sanja.
"Sandainya aku tidak emosi, aku tidak akan membuat celaka gadis cantik ini. Itu yang ingin kamu katakan Lina!" Sambung Sanja tiba-tiba datang dengan kotak P3K di tangannya
"Aduh. Masih sempat-sempatnya kamu becanda." Balasku.

Sanja membersihkan luka gadis itu, mengobatinya, lalu memperban lukanya.
"Apa dia baik-baik saja Sanja?" Tanyaku gemetar.
"Dia terluka bukan karena kamu tabrak, tapi karena dia berlari kemudian jatuh ke aspal, tepat di depan mobil kita." Jawab Sanja sambil menatap gadis itu.
Gadis itu bicara, "Iya kak. Aku buru-buru."
Aku lega, bukan salahku sepenuhnya. Tapi aku cemburu Sanja menatap gadis itu lebih dari tatapannya ke aku.
"Sanja, apa yang kamu perhatikan?" Tanyaku.
Masa sih Sanja terpesona dengan gadis ABG itu. Meskipun berpenampilannya cuma mengenakan baju kaos biasa dengan celana pendek. Telihat menggoda. Tetap saja usianya jauh dari kami.

Bukannya menjawabku. Sanja malah bilang, "Kita akan antar dia pulang." Sanja mengangkat tubuh gadis itu lalu memasukannya ke kursi belakang mobil.
Aku segera masuk ke kursi depan dan yang tidak ku sangka. Sanja malah duduk di belakang samping gadis itu.
"Kamu bisa jalankan mobilnya sekarang, Lina." Perintah Sanja.
Aku seperti supirnya saja. Tentu aku tidak terima.
"Kak Lina tahu, aku terluka gini juga karena kakak. Aku terkejut saat kakak lajukan mobilnya cepat." Ucap gadis itu seakan menyalahkanku.
Aku mau tidak mau segera menjalankan mobilnya dengan rasa kesal.

"Siapa namamu?" Tanya Sanja ke gadis itu.
"Sani kak." Jawabnya.
"Kamu masih SMP?" Tebak Sanja.
"Iya." Jawab Sani singkat.
"Kamu berlari dari apa?" Tanya Sanja.
"Dari kakak sepupu, paman dan kakekku." Jawabnya.
"Kenapa?"
"..." Sani tidak menjawabnya.
"Mau diantar ke sana?" Ucap Sanja lagi.
"Jangan." Jawabnya cepat.
"Terus kamu mau kami antar ke mana?" Tanya Sanja lagi.
"Terserah kakak. Panti Asuhan mungkin." Balasnya.
"Mau tinggal di rumah kakak." Ucap Sanja bikin aku semakin mengira Sanja menyukai Sani.
"Mau." Jawabnya Sani cepat.
"Tapi kenapa kakak mau membantuku?" Tanya Sani lagi.
"Karena hati kakak tertarik denganmu." Jawab Sanja. Membuatku yang mendengar benar-benar emosi. Aku menghentikan laju mobil lalu berbicara ke belakang.
"Sanja, Kamu udah punya aku. Jangan jadi pedofil." Ucapku marah.

Sanja keluar dari mobil. Menuju ke arahku dan membuka pintu di sampingku. Tentu aku kaget.
"Bukan berarti kamu harus memakaiku saat ini juga Sanja!" Ucapku cemas.
"Kamu ngomong apa sih Lina, ada anak kecil tahu!" Balas Sanja.
"Kamu masih emosi? Biar aku yang gantikan kamu menyetir." Ucap Sanja lagi. Entah dia tahu aku gak suka jadi supir atau apa. Yang jelas dia dapat mengerti aku.
Kami lalu bertukar tempat duduk.
Aku sekarang duduk di samping Sani.

"Mendengar kisah hidupnya hatiku tertarik untuk membantunya!" Ucap Sanja sambil menyetir.
"Oh, ku pikir kamu suka anak kecil." Balasku.
"Kedua orang tuanya meninggal. Dia dititipkan ke rumah keluarganya. Di sana cuma ada kakak sepupu, paman dan kakeknya yang kemudian berniat jahat padanya." Jelas Sanja padahal Sani tidak bercerita seperti itu. Apa dia cuma menebak?
"Bagaimana bisa kak Sanja tahu apa yang terjadi padaku." Tanya Sani heran. Padahal Sanja tidak menyertakan nama Sani dalam ucapannya. Tapi Sani menanggapinya seakan yang dikatakan Sanja tepat.

Sanja tidak henti-hentinya memukauku dengan kemampuan-kemampuan anehnya. Entah itu ilmu mistisnya atau ilmu kepolisiannya.

Melihat Sanja terdiam. Aku mencoba bicara.
"Sebaiknya adik jangan berpakaian terlalu seksi. Itu mungkin yang membuat mereka berniat jahat ke adik!" Nasehatku pada Sani mencoba membantu Sanja yang tidak bisa menjawab dengan mengalihkan pembicaraan.
"Sebenarnya saya pakai rok ka. Paman yang melepaskannya secara paksa. Kakak sepupu yang pegangi aku. Kakek juga raba-raba aku." Aku terkejut mendengar penjelasan Sani.

Sanja terlihat memperhatikan kami di belakang melalui kaca spion tengah.
Aku meneruskan bertanya.
"Dik Sani berhasil lolos. Apa karena ada burung Merpati yang masuk dan menyerang mereka." Tanyaku bikin Sanja geleng-geleng kepala, dia tahu yang sedang ku omongin ini hewan peliharaannya.
"Karena aku tahu mereka berniat melepas semua pakaianku. Aku gigit tangan kakak sepupu yang menahan gerakanku dan berontak. Jadi aku berhasil melarikan diri." Jawab Sani.

Sanja menghentikan mobilnya.
"Kenapa Sanja? Apa kata-kataku tadi bikin kamu emosi." Ucapku tersenyum.
"Aku bukan kamu, Lina. Kita sudah sampai." Balas Sanja bikin aku kalah telak.

Kami keluar dari mobil. Aku bingung dengan yang aku lihat.
"Ini bukan rumah yang baru dibangun, Sanja?" Tanyaku.
"Iya. Ini bukan rumah kita. Aku baru beli. Daripada kosong lebih baik ada yang tempati." Jawab Sanja.
"Aku suka rumahnya. Terlihat seram. Orang-orang akan takut ke sini." Ucap Sani.
"Jangan bilang, kamu ingin Sani tinggal sendiri di sini." Tanyaku ke Sanja.
"Aku sudah hubungi Yena, dia akan temani Sani di sini." Balas Sanja.
"Jadi kamu masih berhubungan dengan Yena?" Tanyaku.
"Iya kami masih sahabatan." Balas Sanja.
Aku jadi iri. Karena tidak punya sahabat lagi.
"Bagaimana bisa persahabatanmu awet?" Tanyaku ingin tahu.
"Kami saling membantu saat saling butuh." Jawab Sanja.
Pantesan persahabatanku cepat hancur. Selama ini aku selalu meminta bantuan tanpa membantu balik.
"Aya, sahabatmu, masih tinggal di rumah Yena, kamu mau berkunjung ke sana?" Tanya Sanja.
Aku merasa sedih, "Tidak Sanja. Dia tidak ingin bertemu aku lagi."
"Kalau ke rumah ayahku, kamu mau?" Ucapnya bikin aku tersenyum.

Tidak beberapa lama Yena datang dengan menggunakan motornya.
"Aku nitip Sani ya ke kamu. " Ucap Sanja ke Yena.
"Iya, apa yang tidak, buat kamu Sanja." Balas Yena bikin aku cemburu.
Sani tiba-tiba memeluk Sanja, "Kak Sanja janji akan menemui aku lagi."
Aduh kok Sanja disukai banyak wanita sih.
"Iya kakak janji dan akan mengajarimu ilmu bela diri biar bisa jaga diri." Ucap Sanja.
Aku benar-benar diuji agar tidak egois dan ingin menang sendiri. Bagaimanapun Sanja dibutuhkan oleh mereka.

Sanja kemudian menghadapku.
"Aku suka kamu yang pengertian. Aku akan belajar mengerti kamu. Besok aku akan ajak kamu ke rumah ayahku. Agar kita segera menikah!" Ucap Sanja.

***

Keesokan harinya. Aku pergi ke luar kota bersama Sanja setelah pamit dengan kedua orang tuaku.
"Apa jaraknya jauh Sanja?" Tanyaku.
"Tidak akan terasa. Jika kamu tidur." Jawab Sanja yang menyetir.
Di tengah perjalan kami terjebak macet.
"Meskipun mereka punya mobil mewah. Tetap saja merasakan macet kaya kita." Ucap Sanja mengomentari mobil mewah di depan.
"Kamu juga, meskipun punya kemampuan mistis tapi tidak bisa lolos dari macet ini juga." Balasku.
Sanja malah tersenyum.

Udara di mobil Sanja seperti di pergunungan. Berbanding tebalik dengan cuaca panas di luar. Pasti AC nya mahal. Membuatku merasa nyaman. Belum sampai kota sebelah jadi masih cukup lama sampainya. Tidak masalah jika aku memejamkan mata sebentar, pikirku.

Baru beberapa detik aku menikmati tidurku. Tiba-tiba Sanja menyentuhku. Aku segera membuka mata dan aku terkejut.
"Tidak salah. Kita sudah sampai ke kota sebelah?" Tanyaku benar-benar bingung.
"Ayo turun. Kita sudah sampai di rumah ayahku." Ucap Sanja.
"Kamu gunakan kemampuan mistismu?" Tanyaku.
"Kamu tadi tidur nyenyak. Jadi gak enak bangunin kamu saat dalam perjalanan." Balas Sanja.
Aku jadi malu. Gimana aku saat tidur tadi. Moga gak malu-maluin di dekat Sanja.

Kami disambut ayah Sanja. Lalu diajak duduk di ruang tamu. Sanja mengawali pembicaraan.
"Ayah, ini Lina. Kami mau menikah. Mohon restu dari ayah?" Ucap Sanja langsung.
"Bukannya baru pacaran. Gimana nanti kamu nafkahi anak orang." Balas ayah Sanja.
"Lina punya perusahaan. Saya bekerja di sana." Ucap Sanja bikin aku tercengang. Jadi ini maksudnya kenapa Sanja jadikan aku pemilik perusahaan.
"Bagaimana Lina, apa itu betul?" Tanya ayah Sanja.
Sanja memang tidak bisa berbohong. Tapi ini tetap sama saja dengan memanipulasi kejujuran. Aku ikuti mau Sanja.
"Iya om. Sanja bekerja di perusahaan saya." Jawabku.
"Kalau kalian benar-benar saling suka. Tidak ada alasan lagi bagi Ayah untuk tidak merestuinya. Silahkan atur tanggal pernikahan kalian." Kemudian ayah Sanja pergi untuk bekerja lagi memperbaiki motor orang.
Kami ditinggalkan berdua begitu saja.
"Kita pulang sekarang!" Tanya Sanja ke aku.
"Terserah kamu saja." Balasku.
Kami lalu pamit dengan orang tua tunggal Sanja.

Saat menuju mobil kami berbincang.
"Kamu tidak jauh beda sama ayahmu." Ucapku.
"Maksudmu sama-sama tidak menyenangkan." Balas Sanja.
"Bukan. Maksudku ayahmu memperbaiki motor orang, kalau kamu memperbaiki kehidupan orang." Ucapku memberikan sedikit senyuman di wajah Sanja.

Kami pulang hari itu juga. Di tengah perjalanan. Banyak hal yang ingin aku tahu.
"Sebentar lagi kita akan menikah. Aku tidak ingin ada rahasia diantara kita dan aku sudah menerima semua keanehanmu. Yang tidak ku habis pikir. Kenapa kamu tidak mengatakan kepada keluargamu sendiri kamu sudah menjadi orang berada. Kamu bisa saja mengangkat kehidupan keluargamu." Ucapku terus terang.
Sanja menunjukan ekspresi datar, "Aku punya alasannya sendiri dan akan ku katakan ke kamu."
"Katakanlah sekarang!" Ucapku.

(Bersambung)

Download Wallpaper