Melamar Saat Genting (Part 4)

Melamar Saat Genting (Part 4)

"Lina! aku Sanja ingin melamarmu!" Ucap Sanja tanpa basa-basi.
Sintia memerintah salah satu siswa yang memegangi tanganku, "Dita, Lihat ke Jendela!"
Aku baru tahu nama siswa itu Dita seperti tidak asing di telingaku dan juga ternyata di baju seragamnya sudah tertera namanya. Hanya saja aku tidak menyadarinya.
Dita langsung melihat ke luar jendela, dan menengok ke bawah. Karena ruangan ini terletak di lantai dua.
"Sanja ada di tengah lapangan dengan alat pengeras suara, nona!" Ucap Dita seakan dia bawahan dari Sintia. Sintia mendorong Dita agar menjauh untuk melihat sendiri ke jendela.

Aku manfaatkan kesempatan ini agar Sintia mengurungkan niat jahatnya.
"Aku akan tunangan dengan Sanja. Kamu dengar sendirikan." Ucapku.
Sintia malah semakin marah, "Kamu tolak Sanja!"
"Tidak bisa, dia sudah menaruh kepercayaannya kepadaku." Balasku.
Aku semakin cemas saat Sintia kembali mendekatiku. Tapi tiba-tiba dia terjatuh. Dita dan temannya langsung menghampiri Sintia.
"Nona tidak apa-apa?" Tanya Dita.
Sintia seakan tidak bisa mengucapkan kata-kata.

"Ada apa Sintia?" Tanyaku sedikit cemas dan kecemasanku tidak salah. Niat baikku dibalas kekerasan. Tubuhku didorong hingga tersandar ke tembok.
"Aduh!!!" Tubuhku terasa sakit karena benturan dinding.
"Aku tahu Sanja punya kemampuan mistis. Ini pasti ulahnya. Cepat hampiri Sanja dan suruh dia hentikan, jika kamu benar-benar perhatian dengan sahabatmu." Perintah Dita.

Aku segera menuju ke tengah lapangan. Sepanjang perjalanan siswa-siswi terus melihatku. Aku merasa gugup. Aku terus berjalan dan berdiri di hadapan Sanja. Banyak yang melihat dan menyaksikan kami. Sanja mematikan alat pengeras suara yang dia pegang.
"Apa yang kamu lakukan. Bukannya malam tadi kamu sudah bilang mau melamarku. Kenapa bilang lagi?" Tanyaku.
"Mereka akan berhenti membullymu jika tahu kamu tunanganku. Karena mereka juga tahu aku berkerja di kepolisian dan sebagian dari mereka juga tahu kemampuan mistisku dari Sintia." Ucap Sanja.
"Kamu menggunakan kemampuan mistis itu untuk menyakiti Sintia?" Tanyaku.
"Aku tidak menyakitinya tapi menghukumnya atas kejahatan yang dia lakukan." Jawab Sanja.
"Apa jawaban ayahmu?" Tanya Sanja.
"Kamu bisa bertemu ayah nanti malam." Balasku.

Sanja kembali mengaktifkan pengeras suara.
"Jika kamu menerimaku, ambil cincin ini." Sanja menjulurkan tangannya.
"Mana cincinnya? Kamu mau permainkanku dan mempermalukanku di depan semua orang." Ucapku emosi tidak melihat cincin di telapak tangan Sanja.
Sanja terlihat bingung dan cemas, "Seharusnya burung Gagak peliharanku datang untuk mengantarkannya. Aku sudah melatihnya. Jangan salah sangka dulu Lina. "
Aku terdiam dan gugup, "Maaf Sanja. Peliharaanmu. Dia mati di depan rumahku."

Sanja terdiam tanpa ekspresi lalu menurunkan tangannya. Dia melepaskan alat pengeras suaranya hingga jatuh dan berbalik untuk pergi.
Aku segera memungut alat pengeras suara itu.
"Aku menerimamu, Sanja. Sebagai pendamping hidupku hingga akhir hayatku." Ucapku berhasil membuat Sanja berhenti melangkah pergi.
Aku mematikan alat pengeras suara lalu berkata lagi, "Kamu bilang, kamu setengah malaikat, tapi tindakanmu seperti iblis, menyalahgunakan kemampuanmu untuk membasmi yang tidak kamu suka." Ucapku.
"Aku cuma menjalankan hukum. Harus kamu tahu, aku juga setengah manusia yang bisa merasakan sakitnya hati ini saat seseorang yang disayang disakiti. Kemampuan ini bukan milik iblis, jadi aku tidak bisa membunuh manusia." Jelas Sanja kemudian pergi.

Aku segera berlari menuju tempat Sintia berada. Banyak siswa dan siswi menatapku tajam.
Dita berdiri di hadapanku.
"Di mana Sintia?" Tanyaku.
"Dia sudah dibawa ke ruang UKS. Sepertinya dia terkena stroke. Hal sama yang terjadi dengan kakakku Hita saat berurusan dengan calon suamimu." Ucap Dita.
Sesuai dugaanku Sintia tidak tewas tapi itu juga membuatku terpaku. Dihadapanku ternyata adalah adik dari musuhku yang ku pikir tidak perlu membuatku khawatir lagi.
"Kami tidak akan mengganggumu lagi. Tapi kamu juga harus menjauhi kami." Lanjut Dita kemudian pergi.

Aku menuju kelas dengan perasaan bersalah, dilain pihak aku senang tidak dicelakakan lagi. Tapi aku harus menerima akibatnya, perlakuan siswa dan siswi saat didekatku terkesan takut dan menghindar.

Aku harus kuat. Sebentar lagi aku akan meninggalkan sekolah jahat ini. Ucapku dalam benak.

***

Di rumah pada malam hari. Ibu mempersiapkan kedatangan Sanja di ruang makan.
"Apa ini tidak berlebihan bu?" Tanyaku takut kejadian siang tadi bikin suasana hati Sanja berubah padaku.
"Sanja jadi datangkan? Ayahmu sudah bela-belain libur kerja loh malam ini." Tanya ibu semakin bikin aku gugup.
"Bentar ya bu. Aku telpon Sanja. Tanya dia sudah sampai mana?" Ucapku lalu menelpon Sanja.
Tapi telponku tidak diangkat Sanja. Apa dia marah padaku.

Sial, aku baru ingat, tidak sempat katakan penyebab kematian burung Gagak peliharaannya waktu itu. Aku gemetar.

(Bersambung)

Download Wallpaper