Ada Di Mana-Mana (Part 15)
Aku dan Sintia melanjutkan perjalanan menuju sekolah setelah menjemput Aya. Sesampainya di sekolah aku bilang ke Aya, "Nanti kamu mengaku saja apa yang kamu perbuat sama kepala sekolah. Kami akan selalu bersamamu."
"Iya!" Jawab Aya singkat sambil tersenyum. Aku anggap dia mengerti.
Kami langsung ke ruang Kepsek sambil membawa papan nisan di dalam tas yang disandang Aya.
"Permisi bu, kami mau mengembalikan papan nisan yang hilang." Sapaku.
"Siapa yang ambil?" Tanya kepsek galak.
"Aya bu." Ucap Sintia takut, sambil menunjuk Aya yang berada di sebelah kirinya.
"Kamu tahu, akibat perbuatanmu itu. Para Arwah yang memiliki papan nisan itu marah lalu merasuki sebagian besar murid." Lanjut kepsek.
"Maaf bu." Jawab Aya sambil tersenyum.
Segera aku berbisik ke Aya yang berada di sebelah kananku, "Tunjukan rasa bersalahmu."
Ekspresi Aya berubah sedih, "Saya tidak akan mengulanginya lagi."
"Kenapa kamu melakukannya?" Teriak kepsek.
"Iseng bu." Jawab Aya ketakutan.
"Itu karena teman-teman membully Lina. Jika guru menghukum mereka. Ini tidak akan terjadi." Ucap Sintia bikin aku terharu.
"Ini salah saya bu. Saya tidak bilang ke mereka jangan melakukan belas dendam." Lanjutku.
Akhirnya kami semua di hukum bersihin lorong sekolah malam ini. Khusus untuk Aya dapat bonus hukuman Skorsing sampai hari senin. Sore itu kami membantu penjaga sekolah memasang kembali papan nisan di belakang sekolah tempat kuburan massal berada. Kemudian kami pulang untuk mandi di rumah masing-masing.
Malam harinya.
"Ayah, aku pergi sama teman." Pamitku melihat mobil Sintia sudah tiba.
"Mau ngapain malam jum'at gini." Balas ayah, bikin tubuhku gemetar karena baru sadar sekarang malam jum'at yang terkenal horor.
"Ngerjakan tugas dari sekolah." Balasku dengan wajah dingin.
Tubuhku langsung kaku.
"Lina, ngapain diam. Itu temanmu sudah nunggu." Ucap ayah.
Aku menghampiri Sintia di luar pagar dengan sedikit ragu.
"Ayo cepat Lina, Aya udah pergi duluan. Tadi dia SMS aku." Ucap Sintia.
"Pakai apa dia ke sana? mobil dan motorkan gak punya." Balasku khawatir.
"Pakai angkot, katanya biar semua tugas dia yang kerjakan." Balas Sintia.
Yang benar saja, seorang gadis naik angkot malam-malam. Tentu aku cemas dan segera masuk mobil Sintia.
Di tengah perjalanan aku milihat Sanja duduk di bangku pinggir jalan. Kebetulan sekali, kalau ada dia kami pasti aman dari gangguan makhluk halus dan tidak perlu khawatir jika berhadapan dengan pria jahat.
"Stop Sintia." Ucapku.
"Ada apa." Tanya Sintia.
"Minta bantuan, bentar." Jawabku langsung bergegas keluar mobil dan menghampiri Sanja.
"Kamu gak sibukkan?" Tanyaku.
"Lagi sibuk." Jawabnya.
"Kamu masih ngerjakan pekerjaan ilegal itu. Akukan sudah bilang cari pekerjaan lain." Bentakku.
Tiba-tiba Yena datang dan bicara kepada Sanja, "Aku udah dapat info lowongan kerja untukmu."
"Maaf, aku ganggu ya." Lanjut Yena yang baru melihatku.
Aku merasa malu, dikalahkan telak oleh Yena karena jauh lebih berguna dibandingkan aku. Dengan cepat aku kembali ke mobil Sintia.
"Kenapa Sanja, gak mau bantu?" Tanya Sintia.
"Ayo jalan. Aya butuh bantuan kita segera." Ucapku.
Di depan gerbang sekolah. Aya sudah berdiri. Aku segera menghampirinya.
"Kamu kenapa?, kok wajahmu sedih." Tanyaku langsung.
"Aku lupa bawa uang buat bayar Angkot." Jawab Aya.
"Terus mana supir angkotnya? Biar aku yang bayar." Sambung Sintia.
"Sudah pergi. Aku bayar pakai yang lain." Jawab Sintia.
Aku dan Sintia cemas.
"Kamu pakai apa bayarnya?" Tanyaku.
"Pakai sesuatu yang paling berharga bagiku." Balas Aya sambil menangis dipundakku.
"Kok kamu jadi polos gini sih. Aneh. Mana Aya yang kukenal, tegas?" Marahku.
"Bagaimana nasib masa depanmu nanti." Ucapku Sintia juga ikut marah.
"Sesuatu yang paling berharga bagi dia itu HPnya." Suara laki-laki tiba-tiba terdengar.
Kami langsung menoleh ke asal suara. Sosok pemuda tampan berdiri gagah dengan HP Aya di tangangnya.
"HPku." Ucap Aya langsung mengambil HPnya sambil mengusap air mata.
Siapa lagi pemuda misterius ini? dalam benakku bertanya-tanya.
(Bersambung)
"Iya!" Jawab Aya singkat sambil tersenyum. Aku anggap dia mengerti.
Kami langsung ke ruang Kepsek sambil membawa papan nisan di dalam tas yang disandang Aya.
"Permisi bu, kami mau mengembalikan papan nisan yang hilang." Sapaku.
"Siapa yang ambil?" Tanya kepsek galak.
"Aya bu." Ucap Sintia takut, sambil menunjuk Aya yang berada di sebelah kirinya.
"Kamu tahu, akibat perbuatanmu itu. Para Arwah yang memiliki papan nisan itu marah lalu merasuki sebagian besar murid." Lanjut kepsek.
"Maaf bu." Jawab Aya sambil tersenyum.
Segera aku berbisik ke Aya yang berada di sebelah kananku, "Tunjukan rasa bersalahmu."
Ekspresi Aya berubah sedih, "Saya tidak akan mengulanginya lagi."
"Kenapa kamu melakukannya?" Teriak kepsek.
"Iseng bu." Jawab Aya ketakutan.
"Itu karena teman-teman membully Lina. Jika guru menghukum mereka. Ini tidak akan terjadi." Ucap Sintia bikin aku terharu.
"Ini salah saya bu. Saya tidak bilang ke mereka jangan melakukan belas dendam." Lanjutku.
Akhirnya kami semua di hukum bersihin lorong sekolah malam ini. Khusus untuk Aya dapat bonus hukuman Skorsing sampai hari senin. Sore itu kami membantu penjaga sekolah memasang kembali papan nisan di belakang sekolah tempat kuburan massal berada. Kemudian kami pulang untuk mandi di rumah masing-masing.
Malam harinya.
"Ayah, aku pergi sama teman." Pamitku melihat mobil Sintia sudah tiba.
"Mau ngapain malam jum'at gini." Balas ayah, bikin tubuhku gemetar karena baru sadar sekarang malam jum'at yang terkenal horor.
"Ngerjakan tugas dari sekolah." Balasku dengan wajah dingin.
Tubuhku langsung kaku.
"Lina, ngapain diam. Itu temanmu sudah nunggu." Ucap ayah.
Aku menghampiri Sintia di luar pagar dengan sedikit ragu.
"Ayo cepat Lina, Aya udah pergi duluan. Tadi dia SMS aku." Ucap Sintia.
"Pakai apa dia ke sana? mobil dan motorkan gak punya." Balasku khawatir.
"Pakai angkot, katanya biar semua tugas dia yang kerjakan." Balas Sintia.
Yang benar saja, seorang gadis naik angkot malam-malam. Tentu aku cemas dan segera masuk mobil Sintia.
Di tengah perjalanan aku milihat Sanja duduk di bangku pinggir jalan. Kebetulan sekali, kalau ada dia kami pasti aman dari gangguan makhluk halus dan tidak perlu khawatir jika berhadapan dengan pria jahat.
"Stop Sintia." Ucapku.
"Ada apa." Tanya Sintia.
"Minta bantuan, bentar." Jawabku langsung bergegas keluar mobil dan menghampiri Sanja.
"Kamu gak sibukkan?" Tanyaku.
"Lagi sibuk." Jawabnya.
"Kamu masih ngerjakan pekerjaan ilegal itu. Akukan sudah bilang cari pekerjaan lain." Bentakku.
Tiba-tiba Yena datang dan bicara kepada Sanja, "Aku udah dapat info lowongan kerja untukmu."
"Maaf, aku ganggu ya." Lanjut Yena yang baru melihatku.
Aku merasa malu, dikalahkan telak oleh Yena karena jauh lebih berguna dibandingkan aku. Dengan cepat aku kembali ke mobil Sintia.
"Kenapa Sanja, gak mau bantu?" Tanya Sintia.
"Ayo jalan. Aya butuh bantuan kita segera." Ucapku.
Di depan gerbang sekolah. Aya sudah berdiri. Aku segera menghampirinya.
"Kamu kenapa?, kok wajahmu sedih." Tanyaku langsung.
"Aku lupa bawa uang buat bayar Angkot." Jawab Aya.
"Terus mana supir angkotnya? Biar aku yang bayar." Sambung Sintia.
"Sudah pergi. Aku bayar pakai yang lain." Jawab Sintia.
Aku dan Sintia cemas.
"Kamu pakai apa bayarnya?" Tanyaku.
"Pakai sesuatu yang paling berharga bagiku." Balas Aya sambil menangis dipundakku.
"Kok kamu jadi polos gini sih. Aneh. Mana Aya yang kukenal, tegas?" Marahku.
"Bagaimana nasib masa depanmu nanti." Ucapku Sintia juga ikut marah.
"Sesuatu yang paling berharga bagi dia itu HPnya." Suara laki-laki tiba-tiba terdengar.
Kami langsung menoleh ke asal suara. Sosok pemuda tampan berdiri gagah dengan HP Aya di tangangnya.
"HPku." Ucap Aya langsung mengambil HPnya sambil mengusap air mata.
Siapa lagi pemuda misterius ini? dalam benakku bertanya-tanya.
(Bersambung)
Posting Komentar
Posting Komentar