Dibutuhkan Banyak Orang (Part 21)
Kemunculan Sanja selalu membuatku bertanya.
"Bukannya kamu kerja? Kok malah ada di sini." Tanyaku.
"Aku sudah selesai kerja." Jawab Sanja.
"Siapa yang mengundang kamu di sini?" Sambung Hita.
"Aku yang undang. Aku bilang ke Sanja, kalau tiba di gerbang langsung masuk saja." Jawab Aya.
"Kamu punya nomor HP Sanja?" Tanyaku ke Aya.
"Iya, aku minta langsung sama HPmu yang ditinggal sendirian di mobil saat melayat di rumah Andi dulu." Jawab Aya.
Aku kesal. Tapi bingung harus bicara apa.
"Aku cuma sebentar di sini." Jelas Sanja.
"Ikut aku, Sanja." Ucap Aya sambil berjalan menjauhi kami.
Melihat Aya dan Sanja pergi ke samping rumah di luar dari pandangan kami, aku penasaran dan menghampirinya diam-diam. Lalu mengintip mereka.
"Aku ingin kau beritahu caraya?" Ucap Aya ke Sanja.
Terlihat Sanja mengalihkan pandangannya dari wajah Aya.
"Siapa di sana?" Tanya Aya yang menyadari keberadaanku padahal dia membelakangiku.
Aku menghampiri mereka.
"Apa yang kalian bicarakan?" Tanyaku.
"Tidak penting." Jawab Aya.
"Aku bertanya sama Sanja." Sambungku.
"Kami membicarakan tentang ayah Aya." Jawab Sanja.
Aya terlihat kesal. Saat aku ingin bertanya lagi Aya mendahuluiku.
"Ini bukan urusanmu." Ucap Aya.
Kali ini aku yang dibuat kesal. Aku memilih pergi meninggalkan mereka.
"Lina mau pergi ke mana?" Tanya Sintia.
"Kamu juga punya nomor HPnya Sanja!" Tanyaku balik.
"Iya, tapi aku minta langsung sama Sanja." Jawab Sintia tambah aku kesal.
"Kenapa kalian tidak menghargai aku sebagai pacarnya. Kan bisa minta lewat aku dulu." Balasku emosi.
"Kenapa gak ada yang minta nomorku." Sambung Hita yang aku abaikan.
Aku melanjutkan pergi menuju pagar. Sampai di muka pagar aku menoleh kebelakang. Terlihat Sanja berbincang dengan mereka bukan menghentikanku pergi. Aku benar-benar kesal dan keluar pagar. Aku menelpon ayah untuk minta jemput. Kemudian aku sadar. Buat apa cemburu, aku jadian dengan Sanja melalui cara yang aneh, kami bukan pasangan sesungguhnya.
"Katakan apa yang membuatmu kesal. Biar aku perbaiki." Ucap Sanja. Tiba-tiba muncul di sampingku.
"Tidak ada." Balasku mulai tidak emosi lagi.
"Apa yang kamu bicarakan sama Hita dan Sintia tadi?" Tanyaku tidak bisa menahan penasaran.
"Dia tanya kenapa aku muncul tiba-tiba sebelum kecelakaan tadi." Balas Sanja.
"Apa jawabanmu?" Tanyaku.
"Aku lewat di sana." Jawab Sanja.
"Kamu yang kalahkan Jin Hita malam tadi. Lalu membuat Jinnya kesal dan mencelakakan Hita." Ucapku menduga.
"Kalau kamu diam berarti iya. Kamu bukan hanya menyelamatkan Hita tapi juga membunuh Jinnya? Hita terlihat tidak panik lagi setelah kejadian itu. Mungkin dia tidak melihat jinnya lagi." Tanyaku. Kali ini Sanja tidak bisa mengelak lagi.
"Itu mobil ayahmu kan." Bicara Sanja, bikin aku tidak mendapatkan jawaban yang pasti darinya untuk kesekian kali.
"Terima kasih, Sanja. Udah jaga anak om sampai om tiba." Sapa Ayah.
"Sama-sama om." Jawab Sanja sambil membukakan pintu mobil untukku.
Mau tidak mau aku segera masuk.
"Kita makan siang dulu." Kata Ayah.
"Iya." Jawabku Singkat.
Saat aku dan ayah makan di restoran, aku melihat Yena sedang makan bersama seorang pria dewasa. Awalnya aku pikir itu ayahnya. Tapi ketika melihat pergelangan tangan Yena dipegang erat hingga membuat ekspresi Yena terlihat menahan sakit, aku merasakan ada sesuatu yang aneh. Apalagi saat mereka keluar dari restoran dan Yena terlihat terpaksa mengikuti pria itu.
"Ayah, aku pergi sebentar. Mau lihat teman." Izinku.
"Iya, ayah tunggu." Jawab ayah.
Aku mengikuti Yena dan pria itu masuk ke dalam hotel di samping restoran. Di ruang lobi hotel tiba-tiba lampu hias jatuh dan menyita perhatian pengunjung termasuk aku.
Aku sadar saat dengar pegawai hotel bicara, "Bagaimana bisa lampu hias yang terpasang kuat, lepas begitu saja."
Aku segera mengalihkan pandanganku ke Yena. Aku benar-benar tidak habis pikir. Entah dari mana Sanja muncul dan terlihat mencegat Yena dan pria itu. Dia lagi-lagi hadir, selalu ada di mana-mana seperti malaikat saja. Tanpa membuang waktu, aku menghampiri mereka.
(Bersambung)
"Bukannya kamu kerja? Kok malah ada di sini." Tanyaku.
"Aku sudah selesai kerja." Jawab Sanja.
"Siapa yang mengundang kamu di sini?" Sambung Hita.
"Aku yang undang. Aku bilang ke Sanja, kalau tiba di gerbang langsung masuk saja." Jawab Aya.
"Kamu punya nomor HP Sanja?" Tanyaku ke Aya.
"Iya, aku minta langsung sama HPmu yang ditinggal sendirian di mobil saat melayat di rumah Andi dulu." Jawab Aya.
Aku kesal. Tapi bingung harus bicara apa.
"Aku cuma sebentar di sini." Jelas Sanja.
"Ikut aku, Sanja." Ucap Aya sambil berjalan menjauhi kami.
Melihat Aya dan Sanja pergi ke samping rumah di luar dari pandangan kami, aku penasaran dan menghampirinya diam-diam. Lalu mengintip mereka.
"Aku ingin kau beritahu caraya?" Ucap Aya ke Sanja.
Terlihat Sanja mengalihkan pandangannya dari wajah Aya.
"Siapa di sana?" Tanya Aya yang menyadari keberadaanku padahal dia membelakangiku.
Aku menghampiri mereka.
"Apa yang kalian bicarakan?" Tanyaku.
"Tidak penting." Jawab Aya.
"Aku bertanya sama Sanja." Sambungku.
"Kami membicarakan tentang ayah Aya." Jawab Sanja.
Aya terlihat kesal. Saat aku ingin bertanya lagi Aya mendahuluiku.
"Ini bukan urusanmu." Ucap Aya.
Kali ini aku yang dibuat kesal. Aku memilih pergi meninggalkan mereka.
"Lina mau pergi ke mana?" Tanya Sintia.
"Kamu juga punya nomor HPnya Sanja!" Tanyaku balik.
"Iya, tapi aku minta langsung sama Sanja." Jawab Sintia tambah aku kesal.
"Kenapa kalian tidak menghargai aku sebagai pacarnya. Kan bisa minta lewat aku dulu." Balasku emosi.
"Kenapa gak ada yang minta nomorku." Sambung Hita yang aku abaikan.
Aku melanjutkan pergi menuju pagar. Sampai di muka pagar aku menoleh kebelakang. Terlihat Sanja berbincang dengan mereka bukan menghentikanku pergi. Aku benar-benar kesal dan keluar pagar. Aku menelpon ayah untuk minta jemput. Kemudian aku sadar. Buat apa cemburu, aku jadian dengan Sanja melalui cara yang aneh, kami bukan pasangan sesungguhnya.
"Katakan apa yang membuatmu kesal. Biar aku perbaiki." Ucap Sanja. Tiba-tiba muncul di sampingku.
"Tidak ada." Balasku mulai tidak emosi lagi.
"Apa yang kamu bicarakan sama Hita dan Sintia tadi?" Tanyaku tidak bisa menahan penasaran.
"Dia tanya kenapa aku muncul tiba-tiba sebelum kecelakaan tadi." Balas Sanja.
"Apa jawabanmu?" Tanyaku.
"Aku lewat di sana." Jawab Sanja.
"Kamu yang kalahkan Jin Hita malam tadi. Lalu membuat Jinnya kesal dan mencelakakan Hita." Ucapku menduga.
"Kalau kamu diam berarti iya. Kamu bukan hanya menyelamatkan Hita tapi juga membunuh Jinnya? Hita terlihat tidak panik lagi setelah kejadian itu. Mungkin dia tidak melihat jinnya lagi." Tanyaku. Kali ini Sanja tidak bisa mengelak lagi.
"Itu mobil ayahmu kan." Bicara Sanja, bikin aku tidak mendapatkan jawaban yang pasti darinya untuk kesekian kali.
"Terima kasih, Sanja. Udah jaga anak om sampai om tiba." Sapa Ayah.
"Sama-sama om." Jawab Sanja sambil membukakan pintu mobil untukku.
Mau tidak mau aku segera masuk.
"Kita makan siang dulu." Kata Ayah.
"Iya." Jawabku Singkat.
Saat aku dan ayah makan di restoran, aku melihat Yena sedang makan bersama seorang pria dewasa. Awalnya aku pikir itu ayahnya. Tapi ketika melihat pergelangan tangan Yena dipegang erat hingga membuat ekspresi Yena terlihat menahan sakit, aku merasakan ada sesuatu yang aneh. Apalagi saat mereka keluar dari restoran dan Yena terlihat terpaksa mengikuti pria itu.
"Ayah, aku pergi sebentar. Mau lihat teman." Izinku.
"Iya, ayah tunggu." Jawab ayah.
Aku mengikuti Yena dan pria itu masuk ke dalam hotel di samping restoran. Di ruang lobi hotel tiba-tiba lampu hias jatuh dan menyita perhatian pengunjung termasuk aku.
Aku sadar saat dengar pegawai hotel bicara, "Bagaimana bisa lampu hias yang terpasang kuat, lepas begitu saja."
Aku segera mengalihkan pandanganku ke Yena. Aku benar-benar tidak habis pikir. Entah dari mana Sanja muncul dan terlihat mencegat Yena dan pria itu. Dia lagi-lagi hadir, selalu ada di mana-mana seperti malaikat saja. Tanpa membuang waktu, aku menghampiri mereka.
(Bersambung)
Posting Komentar
Posting Komentar