Mendengar Suara Tak Berwujud (Part 2)
Malam harinya. Aku belajar dengan Yena. Tiba-tiba ada suara berisik di luar rumahku.
"Apa itu?" tanyanya kaget.
"Kalau bukan kucing, tikus, atau cecak. Bisa juga anjing." jawabku santai.
"Emang halaman rumahmu kebun binatang." Sindirnya sambil tetap melihat di balik jendela.
"Itu anak tetanggamu?" tanyanya langsung buatku kaget. Aku langsung berdiri melihatnya. Tapi tidak ada apa-apa.
"Becandamu gak lucu. Tetanggaku gak punya anak tau?" Jawabku.
"Iya, aku becanda." ucapnya, tapi bisa ku lihat wajahnya yang cemas.
Besok paginya karena libur. Aku dan temanku lari pagi bersama. Dia kembali aneh. Saat lewat depan TK. Dia malah mainin permainan di sana, dari ayunan hingga perosotan.
Agak aneh menurutku karena kami sudah SMA. Aku agak malu dibuatnya karena banyak laki-laki yang lihat kami.
"Ayo kita lanjutin jalannya." Ucapku.
Dia gak menghiraukanku. Aku ajak dia paksa. Dia malah menangis.
"Masa kecilmu kurang bahagia ya." Marahku.
Tetap menangis.
"Diam." bentakku.
Aku kaya ibu marahi anaknya. Aku benar benar tidak habis pikir. Aku juga ikut gila.
"Berhenti ya nangisnya. Nanth aku berikan permen." Ucapku seakan menganggap dia anak kecil. Padahal dia seusiaku.
Anehnya lagi dia diam.
"Benar. Beli in aku permen." ujarnya.
(Bersambung)
"Apa itu?" tanyanya kaget.
"Kalau bukan kucing, tikus, atau cecak. Bisa juga anjing." jawabku santai.
"Emang halaman rumahmu kebun binatang." Sindirnya sambil tetap melihat di balik jendela.
"Itu anak tetanggamu?" tanyanya langsung buatku kaget. Aku langsung berdiri melihatnya. Tapi tidak ada apa-apa.
"Becandamu gak lucu. Tetanggaku gak punya anak tau?" Jawabku.
"Iya, aku becanda." ucapnya, tapi bisa ku lihat wajahnya yang cemas.
Besok paginya karena libur. Aku dan temanku lari pagi bersama. Dia kembali aneh. Saat lewat depan TK. Dia malah mainin permainan di sana, dari ayunan hingga perosotan.
Agak aneh menurutku karena kami sudah SMA. Aku agak malu dibuatnya karena banyak laki-laki yang lihat kami.
"Ayo kita lanjutin jalannya." Ucapku.
Dia gak menghiraukanku. Aku ajak dia paksa. Dia malah menangis.
"Masa kecilmu kurang bahagia ya." Marahku.
Tetap menangis.
"Diam." bentakku.
Aku kaya ibu marahi anaknya. Aku benar benar tidak habis pikir. Aku juga ikut gila.
"Berhenti ya nangisnya. Nanth aku berikan permen." Ucapku seakan menganggap dia anak kecil. Padahal dia seusiaku.
Anehnya lagi dia diam.
"Benar. Beli in aku permen." ujarnya.
(Bersambung)
Posting Komentar
Posting Komentar