Kemampuan Tidak Biasa (Part 8)

Kemampuan Tidak Biasa (Part 8)

Sebenarnya aku tidak mau melakukan ini, mencecar Sanja dengan berbagai pertanyaan. Aku harusnya diam sebagai wujud terima kasihku. Karena aku tahu dia pasti yang menolongku. Membuat mantanku, Iwan berhenti menyakitiku. Tapi rasa penasaranku menghilangkan semua itu.
"Apa yang kamu tunggu? bantuan jawaban dari teman hantumu itu?" Tanyaku menduga dengan nada serius.
Sanja yang di sampingku beralih kehadapanku.
"Iwan takut karena lihat ayahmu mungkin!" Jawab Sanja.
Aku segera menoleh ke belakang. Benar saja ayahku baru keluar dari dalam rumah.
"Ayo masuk. Ayah pasti udah nyelesain tugas kantornya." Ucapku.

Di depan ayah, aku memperkenalkan Sanja.
"Ayah, ini Sanja."
"Selamat malam om. Senang bisa bertemu dengan om. Maaf jika saya ganggu." Sapa Sanja sambil mengulurkan tangannya dan langsung disambut ayah.
"Silahkan duduk." Perintah Ayah.
Ayah dan Sanja duduk sedangkanku berdiri.
"Perasaan, ini pertama kalinya kamu memperkenalkan pacarmu ke ayah." Ucap ayah ke aku.
"Sanja yang pinta ayah." Balasku.
"Kamu datang di sini mau melamar anak om!"
"Yang benar saja ayah, kami baru pacaran." Potongku.
"Mau kenalan sama om saja. Saya baru mulai bikin usaha. Belum bisa bikin rumah buat anak om. Jadi belum bisa bikin rumah tangga bersama anak om." Terang Sanja.
Ayah terlihat tersenyum.
"Kapan kamu buka usaha, kamu gak bilang!" Tanyaku ke Sanja.
"Semenjak kita pacaran. Aku sudah memikirkan idenya saat sebelum lulus. Baru jalan sekarang. Kamu gak tanya jadi aku gak bilang." Jawab Sanja.
"Lina, bikin minuman buat Sanja." Perintah Ayah.
"Ba baik." Aku malah gugup sampai bikinku gagap, malu rasanya.
Aku segera ke dapur. Apa Sanja serius denganku? Tidak mungkin, diakan tidak pernah nembak aku.

Cukup lama aku bikin minuman. Aku tidak pernah merasa segugup ini.
Saat aku tiba di teras. Ayah berdiri.
"Ayah sudah cukup tahu tentang Sanja. Ayah mau pergi ke dalam lagi nyelesain pekerjaan. Silahkan temani Sanja." Perintah ayah kemudian pergi.
Aku lalu duduk dengan secangkir minuman di tangan.
"Kamu suka kopi atau teh?" Tanyaku ke Sanja.
"Aku suka teh!" Jawabnya.
"Yah, aku bikinnya kopi." Balasku.
"Kalau gitu aku suka kopi." Lanjutnya bikin aku tersenyum.
"Kamu bicarain apa aja ke ayah?" Tanyaku.
"Ayahmu baik. Dia rela ninggalin pekerjaannya sebentar demi anaknya." Balas Sanja.
"Tapi tetap ayah selalu sibuk." Sambungku.
"Eh, ih tuh kan pertanyaanku gak dijawab lagi." Lanjutku.
"Kamu bisa tanya ke ayahmu langsung." Jawab Sanja.

"Sebenarnya pertanyaanku di telpon tadi bukan pertanyaan yang ku maksud." Ucapku.
Sanja menoleh ke arah lain. Gerak-geriknya terlihat khawatir. Apa dia mendapatkan kabar dari teman hantunya itu. Pikirku.

"Wah udah jam 10 malam. Kata ayahmu jam segitu waktu bertamu udah habis. Kalau gitu aku pulang. Kamu dapat tanyakan nanti pertanyaan yang kamu maksud. Jadi kita bisa bertemu lagi." Balasnya sambil melihat jam tangan.
Spontan aku juga melihat jam tanganku, masih jam setengah 10, kok dia mau pergi?
"Minuman yang kubuat gak dihabisin." Ucapku.
"Oh iya lupa." Dia lalu menghabiskan kopinya.

Saat kami sampai depan pagar, sekelompok pengendara motor datang dengan membawa senjata tajam.
Meski di dalam pagar, aku tetap takut dan segera menarik tangan Sanja. Tiba-tiba tangannya berubah dingin seketika. Aku segera mengalihkan pandanganku ke kelompok pengendara itu. Satu persatu tangan mereka kesakitan dan melepas senjatanya.
"Sial, pagarnya tidak terkunci." Ucap Sanja.
Dia melepaskan tanganku lalu menuju pagar. Dia keluar pagar dan menahan pagar agar tetap tertutup. Kelompok orang itu mendekati Sanja.
"Apa yang kamu lakukan?" Tanyaku kepada Sanja.
"Menjauh dari pagar. Aku akan hadapi mereka." Perintahnya dengan yakin dapat mengalahkan mereka semua.
"A a agh." Sanja memegang kepalanya. Kenapa dia kesakitan sendiri? Pikirku seketika.
Kelompok orang itu semakin mendekat. Tapi, aku cuma terdiam terpaku.

Kenapa? Kenapa Sanja tidak melawan seperti tadi. Kelompok itu dengan brutal memukuli Sanja.
"Tolooong!" teriakku.
Hitungan detik dan menit terasa amat lama saat itu. Para tetangga mulai keluar. Dengan cepatnya kelompok itu pergi.
Aku perlahan menghampiri Sanja. Kepalanya berdarah, tangannya juga. Dia memar.
Aku tidak percaya. Di mana perginya keanehannya itu. Tak ku sadari air mataku menetes.

(Bersambung)

Download Wallpaper