Teriakan Yang Mengejutkan (Part 11)

Teriakan Yang Mengejutkan (Part 11)

Rasanya sangat kesal. Ditinggal Sanja tanpa pamit gitu. Di dalam mobil bersama Sintia dan Aya, aku hanya termenung melihat ke jendela.

"Lina, kita mau pake jalan pintas nih, jadi gak lewat jalan umum seperti biasanya. Bagaimana menurutmu?" Tanya Aya.
"Jalan umum aja. Jangan pake jalan yang gak kita kenal." Jawabku.
"Yah, kita udah di jalan pintas." Sambung Sintia.
Mereka kompak bikin aku kesal. Karena aku lagi gak minat marah, aku diami aja mereka.
"Lina, kok kamu gak marah sih?" Tanya Aya.
"Gak mau marah nanti wajahku kelihatan cepat tua." Alasanku.
"Konflik rumah tangga lagi?" Sambung Sintia.
"Kami masih pacaran. Belum nikah. Jangan pakai istilah rumah tangga lagi." Ucapku pakai nada lemah.

Entah karena jodoh atau apa, di jalan pintas aku melihat Sanja duduk di kursi yang disediakan di bawah pohon lengkap dengan mejanya.
"Kiri... kiri." Teriakku seketika.
Sintia segera meminggirkan mobilnya.
Aku segera keluar mobil, kemudian lewat jendela di samping Aya aku bilang, "Kalian berdua pulang duluan saja."
"Nanti orang tuamu khawatir. Anak gadis diturunin sendirian di tengah perjalanan, kan bahaya, ditambah ini juga tempat asing." Balas Sintia.
"Aku sama Sanja." Jawabku.
Aya menoleh ke belakang, "Benar ada Sanja, kalau gitu tanggung jawab kita beralih ke Sanja. Ayo pulang."
"Kalau ada apa-apa kabari kami!" Sambung Sintia. Melihat aku tersenyum Sintia kemudian menjalankan mobilnya.
Aku segera menuju ke arah Sanja, melihat ada empat kursi yang disediakan aku duduk di hadapan Sanja.

"Sanja, kamu kenapa tinggalin aku tanpa alasan gitu?" Tanyaku langsung.
"Kamu Lina. Ada apa?" Tanyanya balik.
"Lagi-lagi konsentrasimu terpecah." Ucapku.
"Maaf waktu itu. Aku ada keperluan mendadak." Balasnya.
"Wajahmu kayaknya sedih. Kalau punya beban, dibagi-bagi." Sambungku.
Sanja cuma diam.
"Tumben kamu gak bicara sendiri, padahal tempat ini sepi." Tanyaku mencoba mencari tahu masalah Sanja.
"Kayanya, aku akan tinggalkan kebiasaan bicara sendiri itu." Balasnya seakan memberitahuku tidak secara langsung.
"Apa karena teman hantumu menghilang." Sambungku.
"Bukan, tapi karena sekarang aku punya teman bicara." Jawabnya seakan mengalihkan isu.
"Makhluk halus yang membunuh manusia, mereka disebut setankan?" Ucapku.
"Makhluk halus tidak mungkin bisa membunuh manusia, kan beda alam." Balasnya.
"Bukan secara langsung. Tapi lewat memperdayai, mengganggu, mempengaruhi. " Balasku.
"Mungkin saja."
"Apa ketika dia jadi setan, kamu harus membunuhnya?" Tanyaku menyampaikan dugaan.

Pembincangan kami kemudian berhenti. Karena tiba-tiba ada suara teriakan dari rumah seberang jalan. Membuat para warga berdatangan.
Aku dan Sanja menghampiri karena penasaran. Kami berusaha melihat secara langsung dengan berusaha masuk ke dalam rumah tanpa pagar tapi memilik pintu luas. Menembus paksa kerumunan warga, hingga kami berada di depan.
Terlihat lampu yang menyala terang, gadis muda yang mengamuk dan sedang dipegangi pria dewasa, seorang ibu yang terluka, dan pisau berdarah yang tergeletak di lantai.
"Dia kerasukan?" Tanyaku kepada warga.
"Sepertinya begitu. Gadis itu polos dan pendiam tapi berubah beringas melukai ibu kandungnya. Tidak seperti dirinya." Jawab warga di samping kiriku.
Tiba-tiba gadis itu tenang. Aku menoleh ke kanan. Sanja memang terlihat cuma diam. Tapi aku yakin dia melakukan sesuatu.

Sanja memegangi jantungnya dan menunduk seketika.
Aku langsung bertanya, "Kamu kenapa Sanja? Sakit."
Saat bersamaan. Si gadis kembali mengamuk.
"Sanja, ayo pergi. Ini bukan urusanmu." Bujukku khawatir Sanja mengalami serangan jantung. Jika rohnya dikalahkan maka tubuhnya pasti juga akan mati seketika. Dugaan liarku muncul.
"Aku tidak apa." Jawab Sanja yang kembali berdiri.
Tiba-tiba listrik mati dan ruangan tamu itu gelap seketika. Walaupun cuma sebentar dan kemudian nyala lagi. Itu membuat warga yang menyaksikan merasa aneh, ditambah si gadis yang pingsan tiba-tiba.

(Bersambung)

Download Wallpaper