Teror Pohon Angker Sekolah (Part 1)

Teror Pohon Angker Sekolah (Part 1)

Namaku Enli, aku gadis kelas 1 SMA yang dibesarkan hanya oleh ibu, bersama saudara kembarku Enja, pemuda ngeselin tapi amat menyayangiku sebagai adiknya. Kata Ibu, wajah Ayah mirip dengan kak Enja.

Ayah meninggal saat kami dalam kandungan ibu. Membuat kami tumbuh tanpa seorang ayah. Sungguh berat, tapi inilah yang harus kami terima.

Aku dan kak Enja berada di sekolah yang berbeda dan saling menutupi hubungan keluarga. Di kota kami kembar pengantin adalah hal tabu bahkan tidak pernah ada. Jadi kami sepakat tidak memberitahukannya ke orang lain tanpa sepengetahuan ibu.

Menjelang makan malam, ibu menyuruhku memasak.
"Ibu, akukan udah bisa masak. Kok malah disuruh belajar masak lagi!" Keluhku.
"Bukan belajar masak lagi, tapi bantu ibu."

Selesai menyiapkan masakan aku disuruh lagi memanggil kak Enja.
"Kak, makanannya udah siap." Teriakku di luar kamar mandi.

Di ruang makan ibu tanya, "Enja, cuciannya sudah."
"Iya bu. Semuanya." Jawab kak Enja.
Kak Enja memang bertugas mencuci pakaian kami, kecuali pakaian dalam.
"Nanti besok ibu yang jemur... Bagaimana sekolah kalian?" Tanya ibu.
"Teman-teman aneh bu, masa mereka lihat sosok lain yang menyerupai aku." Jawab kak Enja.
Ekspresi ibu terlihat cemas.
"Penglihatanku kayaknya buruk bu. Tadi di sekolah aku lihat siswa lain, yang tidak bisa dilihat orang-orang." Jawabku.
"Kalau kamu bisa melihat jelas. Itu artinya mata kamu baik-baik saja. Belajarlah membedakan yang mana makhluk hidup dan yang bukan?" Jelas ibu membingungkanku.
"Maksud ibu?"
"Jangan ajak bicara, orang yang tidak kamu kenal." Jelas ibu juga agak kebingungan, tapi aku mengerti kata-kata yang ini.

Keesokan harinya, karena sekolah kak Enja, SMK 1 merupakan tuan rumah perlombaan dan sekolahku, SMA 3 menjadi tamu. Jadi aku bersama teman-teman pergi ke sana.

Sesampainya di sana. Aku berusaha mencari keberadaan kak Enja. Aku ingin tahu bagaimana kakak di sekolahnya.

Aku melihat dari kejauhan kak Enja duduk sendiri di halaman sekolah. Ternyata kakak gak punya teman. Membuatku sedih. Tiba-tiba ada sekelompok siswa mengambil buku yang sedang kakak baca dan melemparkannya ke selokan. Aku kesal, apalagi kak Enja tidak melawan. Siswa-siswa itu pergi dan kakak berjalan untuk mengambil bukunya. Aku menghampirinya untuk bantu kakak, tapi datang seorang siswi yang mengambilkan buku kakak. Aku sedikit tersenyum.

"Ketua, teman-teman nungguin tuh. Malah lihat orang pacaran, sambil senyum-senyum gak jelas." Ucap siswa yang satu sekolah denganku, membuat ku kaget.
Aku ketua kelas, dan aku lebih sering dipanggil ketua dari pada namaku sendiri.

Aku mengabsen teman-teman yang berbaris.
"Buna mana? gak hadir lagi." Tanyaku.
"Ada tuh ketua, biasa jadi penunggu pohon." Tunjuk siswa ke pohon.
Terlihat Buna sedang duduk santai di bawah pohon besar.
"Panggil dia ke sini!" Perintahku.
"Masa kami yang harus repot, kamu dong, kan ketuanya." Jawab siswi yang sulit di atur.
Bikin aku geregetan.
Di tambah siswa dari sekolah lain menggangguku.
"Lagi ngabsen ya? Tulis juga namaku di hatimu."
"Apa sih aku lagi sibuk." Keluhku malah polpenku diambil.
"Kalau mau polpennya kembali, tukar sama nomor HPmu." Balasnya.
Tiba-tiba kak Enja datang dan mengambil polpen itu dan menyerahkannya ke aku.
"Kamu godain dan jahilin siswi sekolah lain, yang sopan dong. Bikin malu sekolah tahu." Marah kak Enja ke siswa tersebut. Siswa itu pergi begitu saja.

Aku segera pergi menghampiri Buna.
"Aku lagi ngabsen kenapa kamu gak baris."
"Gak usah terlalu formal juga. Santai aja, Enli. Lihat mereka pada bubar sebelum kamu bubarkan." Jawab Buna.
Aku melihat ke belakang dan mereka menyebar. Bikin aku garuk-garuk kepala.

Perlombaan pertama dimulai. Antara kak Enja dan Buna dalam pertandingan bola basket satu lawan satu. Perlombaan aneh ini ide dari panitia yang pengen tampil beda.

Aku menyaksikan di pinggir lapangan.
Kak Enja perwakilan tuan rumah memainkan bola pertama dan melewati Buna yang hanya diam, lalu mencetak satu gol di ring untuk SMK 1. Siswi-siswi bersorak memekikan telinga.
"Buna, apa yang kamu lakukan? ini bukan kontes patung." Teriakku.
"Percuma ketua. Buna si misterius itu sudah dipastikan gagal menyumbangkan satu medali untuk sekolah kita." Ucap siswa di sampingku.

Aku memasuki lapangan dan menghentikan pertandingan. Aku menghampiri Buna.
"Ayolah Buna, ini saat yang tepat untuk membuktikan kepada mereka kamu bisa mengharumkan nama sekolah. Daripada mereka yang cuma jadi penonton di sana." Ucapku sambil nunjuk ke arah siswi yang bikin telingaku sakit.
Buna terlihat tersenyum. Aku kembali ke pinggir lapangan.

Kali ini Buna yang megang bola. Kak Enja bersiap ingin merebut saat peluit berbunyi. Hanya lemparan dari jarak jauh tanpa berpindah tempat, Buna berhasil memasukan bola ke ring. Bikin aku tercengang.

Skor satu sama dan ini penentuan. Kak Enja yang memegang bola, memainkan dengan baik. Sedangkan Buna tidak lagi diam. Dia mencegah kak Enja bahkan dapat merebut bolanya, lalu memasukan ke ring. SMA 3 menang. Tapi itu tidak membuatku bahagia melihat kak Enja yang kecewa.

Aku menghampiri Buna, memelankan jalanku saat melewati Kak Enja, "Maaf ya kak!" Ucapku pelan.
"Kamu berbakat bikin orang semangat." balas kak Enja sambil tersenyum.

"Kamu hebat, apa kamu sering latihan." Ucapku langsung saat di dekat Buna.
"Aku hanya beruntung." Jawabnya singkat dan meninggalkanku.

Aku menoleh ke arah kak Enja yang pergi meninggalkan lapangan. Siswa satu sekolahnya melemparkan bola basket, dan mengenai pundak kak Enja dari belakang. Tapi kak Enja malah tetap jalan tidak menghiraukan.

Aku menghampiri siswa nakal itu.
"Apa yang kamu lakukan, dia sudah berusaha. Walaupun kalah seharusnya tetap kamu hormati kerja kerasnya." Ucapku marah.
"Kamu, siswi sekolah lain. Ngapain ikut campur." Jawabnya sambil mendorongku.
Tiba-tiba dia di dorong balik, "Hei, seenaknya aja dorong-dorong ketua kami. Mau cari masalah." Marah siswa yang satu sekolah denganku.
Aku segera melerai, dan menghentikan temanku itu, "Hentikan, aku yang salah." Ucapku sambil menarik tangannya.
"Kamu mau ajak ribut, hah!" Balas siswa nakal itu.
Tiba-tiba ada siswi yang tadi mendekati kak Enja.
"Kalian mau berantem. Udah pesan belum kamar sel di penjara!" Ucapnya membuat mereka tenang.

Saat siswa nakal itu ingin pergi, tiba-tiba bola basket terlempar dari belakangku dan mengenai kepalanya.
Aku segera menoleh ke belakang, tapi tidak ada satu orangpun. Cuma pohon besar tempat Buna tadi duduk.
Saat aku kembali menoleh ke depan, para siswa dan siswi pada ketakutan, bahkan siswa nakal itu berlari pergi.

Aku menghampiri pohon mistis itu. Dan saat aku di dekatnya.

(Bersambung)

Download Wallpaper